Maaf, sudah bertahun-tahun blog kompasiana saya terabaikan karena berbagai kesibukan. (alasan) Yang pasti, saya ingin memulai menulis kembali hal-hal sederhana yang barangkali punya manfaat bagi pembaca. Hari Sabtu (15/9) ini, saya kebetulan berada di Gedung Indonesia Menggugat, Kota Bandung. Gedung ini menjadi landmark Kota Bandung karena kekuatan sejarahnya. Di sana, Soekarno muda membacakan pledoinya berjudul "Indonesia Menggugat" yang menggelorakan semangat merdeka. Meski hasilnya tetap dipenjara, pledoinya sunguh fenomenal. Gedung landraad, gedung pengadilan tempat Soekarno diperiksa kasusnya terkait aktivitas politik dalam Partai Nasional Indonesia, kini menjadi gedung sejarah. Kerap dipakai berbagai kegiatan, baik seni hingga politik, konon berharap mewarisi semangat dari pidato pembelaan Soekarno: Demi Masa Depan yang Baru! Namun, Sabtu ini saya di sana untuk tujuan yang lebih santai: belajar menulis perjalanan. Istilah asingnya travel writing. Genre penulisan ini mulai marak sejak keberadaan backpacker atau pelancong alakadar yang mulai sadar kekuatan mereka yakni berbagi pengalaman selama mengunjungi tempat baru yang belum ada pada destinasi wisata konvensional. Itulah sebabnya dalam beberapa tahun terakhir bermunculan buku-buku panduan wisata ke suatu daerah, baik di Indonesia, atau luar negeri. Di sana ada cerita atau deskripsi tujuan yang diharapkan membuat pembacanya ngiler kemudian kepingin ke sana. Kesempatan belajar menulis perjalanan datang berkat acara Festival Media yang digelar Aliansi Jurnalis Independen yang sedang merayakan ulang tahun ke-18. Kebetulan Gedung Indonesia Menggugat (GIM) dipakai sebagai tempat. Lokakarnya, pameran, dan seminar menjadi suguhan bagi sesama jurnalis dan masyarakat umum. Salah satu lokakarya, ya soal menulis perjalanan. [caption id="attachment_212558" align="alignleft" width="800" caption="Sekilas suasana di Festival Media"][/caption] Bertindak selaku pemberi materi, Ahmad Yunus, jurnalis yang menghabiskan satu tahun naik motor berputar-putar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, lantas kepulauan Maluku. Ekspedisi tersebut dilakoni bersama wartawan lainnya, Farid Gaban, selama tahun 2009-2010 bernama Zamrud Khatulistiwa bertujuan untuk memperkenalkan Indonesia dengan segala kekayaan budaya dan kemajemukan masyarakatnya. Salah satunya adalah buku yang ditulis Yunus berjudul "Meraba Indonesia" berisi tulisan perjalanan, foto-foto panorama kepulauan Nusantara yang jarang dilihat. Mereka semua indah. Sebagai jurnalis, saya tidak melihat alasan untuk melewatkan kesempatan ini. Tidak ada salahnya belajar hal yang baru. Dia berkesempatan melanglang buana dan saya berkesempatan untuk belajar. Jadi, berikut sedikit intisari yang saya tangkap dari pemaparan. Saya tidak mengikuti seluruhnya karena ada telepon yang harus diangkat sehingga keluar ruangan terlalu lama (duh). Dunia baru Bila dibandingkan, sebetulnya tidak ada yang berbeda antara presentasi dengan membuat berita. Butuh lead tulisan yang kuat, memberi janji, dan membikin penasaran untuk terus mengikuti. Yunus dengan mudah melakukannya. Tanpa berkata semacam "travel writing itu enak, loh" atau "ayo kita jalan-jalan sambil menulis," dia hanya memutar video. Judulnya "Cerita Caci". Awalnya, sempat terlintas caci yang menjadi kata dasar caci maki. Ini film soal orang saling mengumpat atau bagaimana? UNTUNGNYA, saya salah. Video tersebut ternyata menggambarkan Tarian Caci, sebuah tarian tradisional dari Nusa Tenggara Timur. Potongan adegan pertarungan cambuk dengan penuturan ketua adat yang menjelaskan maknanya keluar silih berganti. Di sela itu, terlihat lanskap pedesaan yang alami dan unik (dari kaca mata saya). Musik latar belakangnya yang bertempo sedang cukup membangun suasana. Film pendek itu pun berakhir dan di kepala saya muncul satu komentar. "Kepengen ke sanaaaaa" Video tersebut sukses membangun mood peserta untuk mengikuti pelatihan soal penulisan perjalanan. Dia pun menerangkan beberapa hal soal menulis perjalanan, terutama sebagian pengalaman berpetualang berkat ekspedisi Zamrud Khatulistiwa. Saat ini pun dia tengah menggarap proyek kebudayaan di Pulau Sulawesi. Beberapa hal yang sempat disebut dalam pelatihan itu adalah manfaat dari menulis perjalanan yakni mampu membuka pikiran pelakunya. Menyadari bahwa ada dunia lain dari yang sebelumnya dijalani. Ada keindahan yang masih alami, masih perawan di pelosok Indonesia, menanti dikunjungi. Belum lagi budaya, cara pandang mereka, hingga kearifan lokal. Agar peserta tidak terlalu terintimidasi dengan penjelasan yang rada berat, dia pun kembali ke penjelasan dasar bahwa penulisan perjalanan bisa dilakukan dengan fokus keunikan sebuah lokasi, budaya masyarakat, sejarah, atau ketokohan. Salah satu hal yang ditekankan, menulis perjalanan memang sebaiknya tidak dilakukan dalam posisi sebagai wisatawan. Bagi Yunus, datang sebagai wisatawan akan terbentuk jarak dengan sendirinya dengan masyarakat yang didatangi. Cara yang paling tepat adalah sebisa mungkin berbaur, ngobrol bersama, tidur di rumah warga, masak di dapur mereka, makan di sana. Dengan demikian, kita benar-benar menyelami apa yang mereka rasakan. Satu lagi, ujarnya, jauhkan dari pikiran menghakimi saat membuat tulisan perjalanan. Bila kita berasal dari perkotaan yang beranggapan datang dari tempat yang "maju" ke lokasi yang dianggap terbelakang, kita dengan sendiri sudah membunuh tulisan. Tidak ada empati. Salah satu tips yang dibagi adalah memanfaatkan kamera. Yunus memulai pendekatan ke sebuah masyarakat dari anak-anak. Dia biasanya memfoto anak-anak yang sedang bermain. Cara tersebut efektif untuk mengundang anak-anak berkumpul kemudian minta difoto. Biasanya orang dewasa-nya lebih mudah didekati setelah mereka melihat keakraban itu. Dalam merencanakan sebuah tulisan perjalanan, Yunus meminta peserta tidak menganggapnya seperti wisatawan yang sekadar berkemas barang, berangkat, tiba, potret-potret, kemudian pulang. Perjalanan pun harus direncanakan dengan matang dan baik. "Riset itu penting," kata Yunus. Tentunya, riset yang dimaksud bukanlah belajar dengan setumpukan buku di perpustakaan sampai larut malam. Kapan jalan2nya? hehehe Yang dimaksud adalah kita setidaknya punya pengetahuan tentang lokasi yang dituju. Karena, bisa jadi kita menemukan tempat yang tandus, sepi, dan tanpa geliat masyarakat apa pun padahal tempat itu dulunya punya peran vital seperti bandar atau peran sejarah. Informasi yang diketahui terakhir itu hanya bisa didapatkan melalui riset. NAMUN, here comes the tricky part. Yunus meminta penulis perjalanan membuang pengetahuan yang dibaca sebelumnya jauh-jauh saat mereka tiba di sana. Maksudnya, pengetahuan itu penting tapi jangan sampai membuat kita terbatasi dan terkungkung dalam menikmati hal yang baru di sana. Datanglah dengan gelas yang kosong, kalau menggunakan kalimat bijak. Salah satu bagian penting dari pelatihan itu, Yunus mendorong semua yang berminat untuk segera berangkat dan menghasilkan hasil dalam bentuk tulisan, foto, maupun video. Kemajuan teknologi sekarang memungkinkan perangkat perekam video maupun kamera bisa didapatkan dengan harga terjangkau tanpa mengorbankan kualitas. Hal itulah yang seharusnya disyukuri dan dimanfaatkan untuk semakin mendorong penulis perjalanan mengabadikan dalam berbagai format. Dari sisi teknis, Yunus juga meminta penulis untuk membiasakan diri segera mencatat apa yang dia dapatkan di sana. Untuk itulah alat pencatat, bisa buku tulis, blackberry (fenomena umum di dunia kewartawanan), atau alat lainnya harus disiapkan. Bila menunggu pulang ke rumah kemudian menulis, dikhawatirkan kita sudah kehilangan "suasana WOW" dibandingkan saat berada di sana. Salah satu pengalaman yang dibagi adalah membuat tulisan di atas kapal yang dihantam ombak atau di keramaian pasar yang dilakoni. Bagi sebagian besar orang, termasuk saya sebagai jurnalis, itu adalah keahlian yang harus dipelajari. Dan sulit. Perkembangan media sosial juga seharusnya dimanfaatkan. Salah satu pengalaman dalam Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa, perjalanan yang diunggah ke facebook atau situs resminya ternyata mendapatkan respon yang luar biasa. Sosial media bisa menjangkau semua orang tanpa memandang jarak, orang Indonesia di luar negeri bahkan kepingin datang dan bermain di tempat yang sudah mereka kunjungi. Sayangnya, pelatihan tidak saya ikuti sampai rampung. Namun, sepenggal waktu di sana cukup menyegarkan saya dari rutinitas kerja. Acungan jempol harus diberikan kepada pemateri yang cukup mengompori peserta agar pergi menjelajah Indonesia dan membaginya kepada sesama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H