Mohon tunggu...
Didin Jalaludin
Didin Jalaludin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia

Mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia, angkatan 2021. Minat dan perhatian terhadap berbagai hal mendorong saya untuk turut mengukir sejarah dan karya dalam sebuah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kultur Pinokio di Perguruan Tinggi

15 Agustus 2023   19:28 Diperbarui: 15 Agustus 2023   19:33 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persaingan yang semakin ketat antar manusia mendorong setiap individu untuk terus meningkatkan kualifikasi diri. Bayang-bayang tuntutan di masa mendatang yang terus meningkat mendorong manusia untuk senantiasa dapat menyesuaikan diri. Tidak ada alasan untuk berdiam diri, kesejahteraan hidup harus dibeli oleh perjuangan yang sepadan. Tentu bukanlah proses yang mudah, fase demi fase kehidupan manusia dipenuhi oleh berbagai kesibukan yang penuh dengan tekanan, salah satunya adalah menempa diri dalam berbagai jenjang pendidikan. 

Tahap demi tahap dilewati dengan upaya terbaik guna menggapai mimpi besar kesejahteraan hidup. Bahkan, andai kata pencapaian gelar akademik tertinggi tidak terbatas pada gelar Doktor, maka tidak ada kekhawatiran bahwa jenjang pendidikan selanjutnya akan sepi peminat. Individu-individu yang memiliki dahaga ilmu, dan tak merasa puas, atau bahkan tidak ingin tertinggal langkah oleh orang lain akan terus berupaya menggapai puncak tertinggi, sekalipun puncak itu bertunas lagi.

Sekilas tidaka ada poin negatif dalam upaya manusia untuk meningkatkan kualifikasi diri. Namun, kenyataan bahwa semakin ketatnya persaingan antara manusia beriringan dengan potensi kecurangan tak dapat ditutup-tutupi. Bukan hanya dengan persaingan yang sehat, tidak sedikit orang yang memilih jalan pintas guna mencapai tujuannya. 

Akibatnya, produk-produk persaingan yang ketat tidak selamanya memiliki kualifikasi diri yang baik. Menghambat orang lain untuk berkembang, mencontek, menggunakan jasa pengerjaan tugas dan skripsi adalah beberapa bukti perilaku persaingan tak sehat yang terjadi dalam dunia pendidikan, di perguruan tinggi. Proses pendidikan tampaknya tak mampu membendung perilaku tercela seperti demikian, meski tentunya dalam proses pendidikan senantiasa mengajarkan hal-hal positif.

Kini, pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tampaknya bukan hanya memberikan warna kehidupan. Inovasi-inovasi teknologi juga tak luput membawa segudang potensi kecurangan yang memfasilitasi tindak persaingan tak sehat dalam dunia pendidikan, di perguruan tinggi. Beberapa perilaku tercela di antara perilaku lainnya yang belum terungkap melibatkan teknologi. Tentu tidaka ada pelaku tindak kecurangan seperti demikian yang dengan senang hati langsung mengakui perbuatannya. Ya, tidak dapat dipungkiri di perguruan tinggi banyak aktor-aktor yang berperan sebagai tokoh pembohong.

Nilai ulangan yang tinggi, penyelesaian tugas yang cepat, dan skripsi yang seolah mampu membeli gelar sarjana tampaknya masih menjadi patokan utama keberhasilan seseorang dalam proses pendidikan di perguruan tinggi. Padahal yang terperting dari sebuah perjuangan, dan dari upaya meningkatkan kualifikasi diri adalah proses. Proses adalah bekal sesungguhnya yang dapat melahirkan kompetensi diri, sehingga dapat menjadi bekal yang sangat berharga untuk melanjutkan kehidupan. 

Coretan angkat seratus, fail yang penuh dengan tugas yang sudah selesai, dan skripsi yang tebal dengan judul yang indah akan menjadi sia-sia jika kita tidak memahami, mengetahui, dan merasakan bagaimana proses untuk mendapatkannya.

Perilaku-perilaku persaingan tak sehat dengan hanya mementingkan hasil tentu tidak boleh dibiarkan. Fenomena banyaknya sarjana setingkat S1, S2, bahkan S3 yang hanya menjadi penyapu jalan di India harus menjadi cerminan yang dapat menyadarkan kita akan pentingnya kualifikasi diri dibandingkan dengan hanya sebatas gelar yang tinggi. India tidak kekurangan jenjang pendidikan, akan tetapi tidak sedikit produk-produk dari jenjang pendidikan tersebut tak memiliki kualifikasi diri yang baik. 

Akibatnya, produk-produk dari setiap jenjang pendidikan tersebut tak mampu bersaing dengan ketatnya persaingan di dunia kerja. Tentu kebutuhan di dunia kerja bukanlah seberapa tebal skripsi, seberapa indah judul skripsi, dan seberapa banyak nilai seratus yang didapatkan, akan tetapi kualifikasi diri yang baik, yang dapat dibuktikan dan dipertanggung jawabkan.

Kunci utama yang mampu membuka gerbang potensi kesejahteraan dengan modal kualifikasi diri yang baik adalah proses. Dalam proses terdapat pengalaman, baik berupa keberhasilan maupun kegagalan, kedua hal tersebut adalah unsur utama yang dapat melahirkan kualifikasi diri yang  baik.

Lalu, jangan pernah ragu untuk keluar dari zona nyaman, bersainglah dengan ketat dan sehat. Tekanan-tekanan membangun yang dapat kamu lalui dengan baik adalah tangga kualifikasi diri yang dapat terus meningkat. Kualifikasi diri tidak akan menjadi suatu hal yang sia-sia. Bahkan jika belum terpakai sekalipun, kualifikasi diri akan menjadi perisai otomatis yang membantu untuk menghadapi tuntutan-tuntutan hidup yang terus meningkat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun