Mohon tunggu...
Didin Emfahrudin
Didin Emfahrudin Mohon Tunggu... Novelis - Writer, Trainer, Entrepreneur

Penenun aksara yang senantiasa ingin berguna bagi semua makhluk Allah SWT, layaknya Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Sebuah Pengakuan Terlarang: Pion-pion KPU RI Pedusunan

5 Desember 2020   22:47 Diperbarui: 5 Desember 2020   22:57 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

(baca lengkap agar tak gagal faham)

Semenjak saya mulai memperoleh hak suara di momentum-momentum pemilihan umum. Kira-kira di tahun 2009. Belum pernah sama sekali, sampai hari ini saya "rela" mencoblos. Memberikan hak suara saya pada politisi atau calon pejabat publik di tingkatan apapun dan manapun. 

Mulai dari panggilan mencoblos di momen PILKADES, PILBUP, PILGUB, PILEG hingga PILPRES. Tak pernah saya "sudi" datang meski sudah menjadi rahasia umum dan kultur. Bahwa mencoblos calon pejabat itu ada "ganti bensin" -nya. Lumrah disebut shodaqoh calon pejabat pada rakyat.

Barangkali bermuara dari fakta "abu-abu" itulah. Yang sedari dulu membuat mindset saya tentang mencoblos itu bergejolak. Bahwa, apakah demokrasi kapital akan terus  ada di bumi Indonesia. Atau memang budaya "shodaqoh" calon pejabat ke rakyat ini adalah budaya yang wajar(lah). Seperti era para raja Nusantara yang gemar berbagi dikala masa raja penerus tiba ke dunia.

Namun di tahun 2020 ini,  terasa sangat berbeda. Apalagi semenjak saya "uzlah" di dusun kelahiran. Seorang Ketua RW menawari saya menjadi anggota KPPS. Pioner terbawah KPU RI. Ada rasa ego. Masak saya harus mau sih.

Jangankan jadi panitia pemilihan. Memilih saja saya ogah. Apalagi kelas politik dusun. Tawaran menjadi pelaku demokrasi kecamatan-kabupaten saja saya kurang menggubris kala itu. 

Entah dapat "hidayah" apa. Saya pun mengiyakan akhirnya. Menjadi anggota KPPS. KELOMPOK PENYELENGGARA PEMUNGUTAN SUARA. Kenapa harus kata "pemungutan" yah, yang di pakai KPU. Seolah suara kita-kita ini sampah saja. Tapi soal bahasa kita bahas di lain waktu saja deh.

Kembali ke KPPS. Sebuah panggilan hati barangkali. "Mas, kita kekurangan pemuda yang bisa dan mau buat jadi KPPS," ujar Pak RW. Okelah. Saya jalani. Disela-sela aktivitas saya sebagai writerpreneur. Kebetulan tiga tahun belakangan. 

Saya memang mulai ingin merasakan atmosfir masyarakat di dusun kelahiran. Ada rasa haru ketika bisa bermanfaat untuk orang terdekat di bumi rahim kita. Terutama ketika ilmu kamu mendapat sambutan dan amanah. Ketika jabat hangat warga desa berbagi senyum-senyum tulus mereka.

Saya akhirnya belajar banyak tatkala menjadi anggota KPPS pedusunan. Meski saya tak pernah mencoblos apalagi panitia coblosan negara. Pengalaman saya hanya mencoblos dan mem-panitiai PEMILIHAN KETUA OSIS & PRESIDEN BEM KAMPUS.

Saya meyakini. Pejabat, tokoh masyarakat atau pendidik paling ikhlas Indonesia itu ada di level RT-RW. Saya pula meyakini. Pasukan KPU RI paling ikhlas dan legawa demi negara itu level KPPS. Tugas mereka ternyata cukup padat tak hanya hari H pencoblosan belaka. Tapi tau sendiri, mereka-mereka bergerak tanpa peduli dibayar berapa.

Pengalaman menulis ratusan surat panggilan kepada pemilih. Secara manual 'pulpen' di era digital ini. OMG. Mengetuk pintu ke pintu rumah warga. Saya kira, komisioner (Pil-Pil) level kabupaten, provinsi hingga pusat tak ada yang merasakan ghirrah  menjadi pejuang demokrasi untuk negara semacam tugas anggota KPPS di dusun-dusun dan desa-desa.

Apa sih maksud saya menulis kisah tak penting ini. Bukan. Salah jika anda menilai saya ingin eksis dan di hormati. Menjadi penulis dengan NOVEL yang dibaca warga ASEAN tentu sudah lebih dari cukup buat saya.

Saya hanya berbagi refleksi pesan dan sejumput rekomendasi. Buat muda-mudi Indonesia, aktivis idealis, remaja apatis. Kalau tidak kita yang menurunkan ego, idealisme dan tangan. Lalu siapa  yang meneruskan cita dalam sila ke 4 PANCASILA, "Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan."

Dan buat KPU RI serta lembaga negara terkait (Pil-Pilan) ditingkatan apapun. Saya rasa orang desa pun sudah siap mengetik surat pemilih dengan fasilitas teknologi tercanggih. 

Bahkan mengelola acara (pil-pil) dengan cara warga memilih hanya bermodal ponsel pintar mereka masing-masing sekalipun. ASALKEN!  konsep rekapan online terpadu via aplikasi bukan cuma menjadi 'mainan' dari pemilik kepentingan, para calon pejabat dan oligarki politikus di balik layar belaka.

Buat PILKADA Lamongan 2020. Saya telah ikhlas mencoblos dan mem-panitiai ANDA. CABUP!

Lamongan, 5 Desember 2020

Salam satu asa, Indonesia.

Dari orang biasa, di sudut desa.

MUHAMMAD FAKHRUDIN,

bernama pena Didin Emfahrudin

Note : Regards for KPPS Se-Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun