Mohon tunggu...
Didin Abramovich Alfaizin
Didin Abramovich Alfaizin Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat layar laptop

Bukan tukang kritik, hanya penyampai ide. Penyuka anime. Punya impian menganggrekkan lorong depan rumah. Salam literasi dari langit suram Makassar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kulit Kacang

23 Februari 2023   08:55 Diperbarui: 23 Februari 2023   08:58 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kalian masih terus menjadikan kisah keluargaku sebagai topik utama di setiap pembicaraan. Di warung-warung kopi, toko kelontong, penjual sayur ibu-ibu, dan di mana seluas wilayah kampung tempat tinggal kami" Nada suaraku semakin meninggi. Dan aku kembali bersujud.

Kalian, manusia yang seolah tak pernah berbuat salah, membunuhku secara perlahan, menguras kewarasanku hingga tahap di mana aku sudah tak lagi mengenal kedua orang tuaku. Hanya menyisakan ruang yang tak lebih besar dari lemari pakaian. Di situ aku bernapas sedikit, takut udara akan habis. Di situ pula aku kembali mengenal sahabatku sejak kecil, iman yang tertinggal di sudut gelap jiwaku. Aku curiga dia yang menyimpan sepotong lembar putih itu, lalu memamerkannya di tengah ketidak berdayaanku.

Ini mungkin sujud terakhirku. Sepucuk surat telah kusisipkan di bawah sajadah. Surat yang bertitik banyak noda dari darah amisku. Tak ada merah di sana, semua hitam seperti kisah hidupku yang masih berumur jagung. Mungkin nanti akan ada pengertian dari mereka, tentang keputusan meninggalkan dunia yang tak lagi indah buatku.

Di tengah kelam yang membekap kedua mataku, lembar putih itu kembali. Kali ini tak lagi tertawa, namun samar terdengar dia berbicara.

"Kamu harus berjuang, Nak."

"Tuhan masih mengizinkanmu untuk memperbaiki kesalahan."

Lembar putih itu menghilang dan berganti ruang yang berkotak hijau dan beraroma obat-obatan. Aku telah terbaring seminggu lalu di kamar ICU.

Terima kasih Tuhan untuk kesempatan kedua ini.

*Pernah diterbitkan di kumpulan cerpen "Pendar Asmaraloka"... 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun