Memang benar belakangan ini aku sering terlihat dalam balutan mukena, bermotif noda sisa keringat para pengharap keajaiban.
"Sujudmu lama dan sangat tenang Nak."
Mereka bersaksi kalau aku seperti itu ketika mengadu kehidupan yang rumit kepada Tuhan, padahal aku sedang berdamai dengan iman. Mencoba menempatkan dia kembali di tempat yang seharusnya. Memberikan jalan khusus sebagai pemberi nasehat untuk kebimbangan yang sering menghampiriku.
Kali ini puji-puji itu tak lagi menenangkanku. Aku hanya menertawakan ucapan manis berbunga mereka di dalam hati. Sujud itu bukan tanda aku hamba yang baik. Aku kotor, penuh dengan kemunafikan, pembohongan yang terus berlanjut hingga sekarang. Mungkin karena itu aku suka berlama-lama ketika sujud.
Di situ, aku menangis tanpa suara. Iya, tangisan itu terpendam dalam hati. Tertahan agar mereka tidak melihat kalau aku sedang tak baik saja. Aku kurang menyukai rasa simpati yang membuatku muak. Aku tak butuh rasa iba karena terlihat lemah. Tidak juga ingin Tuhan melihatku sedang mengeluh.
Olehnya, aku sujud yang lama karena di situ kubisikkan sebuah permintaan pada Tuhan. Perbaikilah hidupku di waktu yang sedikit ini, wahai Pemegang keteraturan semesta. Berilah cahaya bagiku yang telah memilih lorong gelap, berkecimpung dalam lumpur dosa yang tak hingga.
"Aku tidak mahir menjaga iman, ya Allah," lirihku nyaris tak bersuara.
Sempat kumembayangkan seandainya sujud hanya boleh dilakukan oleh orang dengan keimanan tinggi, maka seberani apakah diriku untuk terus mengunjungi Tuhan. Tapi, sujud itu tak membedakan siapa saja. Di situlah kumerasa Tuhan menawarkan wadah untuk mereka yang tak kuasa lagi memikul beban hidup yang makin berat.
"Maafkan aku Ibu, Ayah," Aku kembali berbisik, Â "anakmu yang hanya sebiji ini tak membuat kalian merasa bangga. Justru tiap hari hanya mendapat cibiran dan cemoohan para tetangga yang sibuk mengurus kehidupan keluarga kita."
Memang aku salah. Berulang kali aku mengakui dosa di setiap sujud yang lama itu. Menjual diri untuk meningkatkan derajat keluarga, tapi bukan berarti aku tak boleh menghirup udara yang sama kan?. Mencoba menikmati anugerah Tuhan.Â
"Aku meninggalkan kehitaman itu sudah lama sekali, mungkin jejaknya sudah berterbangan dan berhamburan di udara," teriakku sambil memaki takdir yang terus menghantui.