Seolah aku benar-benar terpapar virus corona.
“Tidak.”
Mereka kelihatan takut dan ragu. Akupun terus meyakinkan mereka. Seharusnya mereka mempercayai bocah berumur 8 tahun, tapi ternyata ketakutan lebih besar dari kepercayaan mereka terhadapku.
“Usir saja dia. Kami tak ingin keluarga kami tertular virus berbahaya itu.”
Semua orang berteriak. Teriakan mereka mengiringi langkahku meninggalkan rumah kami. Rumah kenanganku bersama ibu. Aku tunduk, dengan air mata yang terus mengalir, aku bisa menebak tak ada satupun raut wajah yang terlihat mengasihani diriku. Benar saja, saat aku sedikit mengangkat kepala, raut wajah mereka bahkan lebih dari yang aku bayangkan. Seolah ingin aku mati.
Hari sudah sore. Dengan perut kosong tanpa sadar aku kembali pada tempatku semula. Tempat tetesan keringatku mengering. Lampu merah yang awalnya ramai, sekarang menjadi sepi. Hanya aku sendiri yang berada di tempat ini. Tanpa suara, dan pastinya tanpa ibu.
Tapi disela-sela kesedihanku, cahaya senja bersinar. Seolah memberi harapan. Aku berusaha tersenyum. Bukankah itu tandanya akan ada cahaya setelah badai? Sungguh November yang mengenaskan.