Bahaya virus Corona telah tersebar di Indonesia. Jumlah pasien yang di amankan para petugas medis sekitar 100 orang dalam satu tempat penyebaran.
Diharapkan bagi seluruh masyarakat yang berada di sekitar pasar untuk segera kembali ke rumah masing-masing. Dikarenakan kondisi pasar tersebut yang menjadi tempat penyebaran pertama virus corona.
Dengan hati-hati aku perhatikan siaran televisi itu, dengan harapan ibu bukanlah salah satu dari 100 orang yang tertular. Badanku lemas. Semakin lemas ketika wartawan menyebutkan identitas ibu, sebagai korban kedua tertular virus Corona. Ternyata aku benar-benar kehilangan ibuku untuk kedua kalinya. Tak ku sangka pertemuan kami begitu singkat.
Aku menangis sepanjang hari. Mau mati rasanya. Sosok ibu yang aku rindukan hanya sempat aku mendengar tangisnya tidak semoat mendengar tawanya. Tanpa sadar hari sudah pagi. Sepi yang terus menyelimutiku kali ini terasa berbeda. Aku benar-benar kehilangan.
Rasanya aku ingin ikut ibu, tertular dan dirawat. Pasti tak akan sakit karena aku bersama ibu. Tapi sayang hal itu tak akan terjadi. Saat aku ingin keluar untuk sekedar membuka pintu, aku baru teringat, ibu membawa kunci rumah kami.
Tapi mengapa aku tidak khawatir? Yaa aku hanya tinggal menunggu ibu pulang dan membawakan kami makanan sambil menyalakan televisi. Satu jam berlalu. Akupun sadar bahwa ibu tidak akan datang.
Kata orang, laki-laki tidak boleh menangis, tapi menurutku, itu hanya sebuah perkataan bukan sebuah kenyataan. Laki-laki juga manusia, dan akan menjadi lemah jika sedang kehilangan orang yang berharga. Aku menarik nafas dalam-dalam dan akhirnya inilah hidupku. Berakhir tragis, dan pergi ke surga dengan perut kosong.
Braakk
“Nak! Bangunlah!”
Sontak aku terbangun dari tidurku. Aku melihat tiga orang satpam masuk ke rumah dengan mendobrak pintu rumahku.
“Apakah kemarin kau pergi bersama ibumu ke pasar?” tanpa mendekat.