30 tahun berkarya. 20 album studio. Jutaan Slankers. Potret mini Slank terpampang dalam satu persembahan kolosal di akhir tahun: 'Konser 30 tahun Slank - Nggak Ada Matinya'. Persembahan terbesar dari Slank untuk Indonesia ini berlangsung di Gelora Bung Karno, 13 Desember 2013. [caption id="attachment_299158" align="aligncenter" width="300" caption="Tiket, Gelang, dan Setlist Konser 30 tahun Slank"][/caption] Jalan Panjang Menuju Ulang Tahun Ke-30 Cikal bakal berdirinya Slank bermula dari sebuah grup bernama Cikini Stones Complex (CSC) yang dibentuk oleh Bimbim dan kawan-kawan pada tahun 1980. Band ini memainkan lagu-lagu The Rolling Stones. Kejenuhanlah yang mengantar Bimbim untuk meneruskan embrio bermusiknya ini dengan menggaet saudaranya, Denny dan Erwan untuk membentuk Red Evil, yang kemudian berganti nama menjadi Slank. Slank adalah nama yang berasal dari celoteh warga yang menganggap mereka selenge'an. Kata tersebut akhirnya dipelintir dengan mengambil aksen dan ejaan dari istilah "selenge'an" tersebut menjadi "Slank". Sebuah momen di bulan Desember 1983 itulah yang kelak akan mengubah nasib Slank untuk selama-lamanya. Dikenal dengan sebutan "Formasi 13", Slank dengan formasi Kaka, Indra, Pay, Bongki, dan Bimbim menggebrak industri musik Indonesia dengan album perdana mereka, 'Suit... Suit.. He... He... (Gadis Sexy)'. Album yang dirilis pada tahun 1990 tersebut berhasil mendulang sukses dan memutar mesin kreativitas mereka di album-album legendaris mereka berikutnya, 'Kampungan' (1991), 'Piss!' (1993), 'Generasi Biru' (1995), dan 'Minoritas' (1996). Diselingi kesedihan akibat adiksi narkotika dan perpisahan personel, Slank menjalani tahun 1996 dalam era tergelap. 'Lagi Sedih' (1996) menjadi album yang menunjukkan bahwa frustasi berkepanjangan dapat dihentikan oleh sebuah 'aksi penyelamatan' seorang Slankers yang mengancam akan membunuh Bimbim apabila membubarkan Slank. Tak tanggung-tanggung, surat bernada ancaman itu ditulis dengan darah! Album 'Lagi Sedih' menjadi transisi menuju album 'Tujuh' (1997) dan 'Mata Hati Reformasi' (1998). Reynold yang menjadi additional player di album 'Lagi Sedih' digantikan oleh kehadiran Abdee dan Ridho sebagai gitaris. Ivanka yang sudah berperan sebagai bassis di album tersebut meneruskan kerjasamanya dengan Slank. Kerjasama tersebut berlangsung tahun demi tahun. Bergulir seolah tanpa lelah, menuai satu demi satu album studio yang mengantarkan Slank menuju ke posisi yang lebih tinggi di industri musik Indonesia, dengan semangat yang lebih kuat. Jargon 'Piss' Hingga 'Slank Nggak Ada Matinya' Bercermin dari masa lalu, Slank berhasil mempertahankan misi pendirian band. Salah satu misi Slank adalah mengangkat lirik dan lagu bertema sosial yang mengabarkan pesan perdamaian, kritik sosial, dan solidaritas. Slank berhasil memasyarakatkan jargon 'Piss' yang kemudian bermetamorfosis menjadi 'Peace, Love, Unity, and Respect' atau 'PLUR' yang diperkenalkan pada album yang berjudul sama di tahun 2004. Selanjutnya, perlahan tapi pasti Slank memperkenalkan 'Slankissme' di album yang berjudul sama yang dirilis pada tahun 2006. 'Slankissme' mengandung tiga muatan makna: sebagai paham ('Slankisme'), wujud cinta kasih ('Slank Kiss Me'), dan jalan hidup ('Slank Is Me'). Makna itu disarikan dalam pedoman untuk Slankers yang bernama '13 Ajaran Nggak Sempurna Slank' sebagai berikut:
1. Kita harus kritis; 2. Berjiwa sosial; 3. Penuh solidaritas; 4. Saling setia; 5. Selalu merdeka; 6. Hidup sederhana; 7. Mencintai alam; 8. Manusiawi; 9. Berani untuk beda; 10. Menjunjung persahabatan; 11. Punya angan/mimpi yang tinggi; 12. Menjadi diri sendiri; dan 13. Membuka otak dan mata hati kita.
Slank menggenapi jargon tersebut dengan rilisan album ke-18 mereka, 'Jurus Tandur' (2010). 'Jurus Tandur' adalah akronim dari 'Maju Terus Pantang Mundur'. Slank meyakini, bahwa yang perlu ditumbuhkembangkan di dalam pemikiran dan perilaku Slankers bukan hanya idealisme semata, melainkan semangat untuk maju dan bergerak, bekerja, dan berkarya. Lagu-lagu yang menyemangati Slankers memang banyak muncul di era 2000-an. Tercatat ada lagu 'Mars Slankers', 'Lo Harus Grak', 'Jurus Tandur', atau 'SBY (Sosial Betawi Yoi)' yang berisi lirik penyemangat untuk Slankers. Pendek kata, stigma buruk yang melekat tentang Slank dan Slankers terbantahkan dengan semangat yang dijaga bersama oleh Slank dan Slankers. Film tentang Slank juga berhasil digarap dengan baik oleh Garin Nugroho, Dosy Omar, dan Fajar Bustomi. Film tersebut masing-masing berjudul 'Generasi Biru' (2009), 'Metamorfoblus' (2010), dan 'Slank Nggak Ada Matinya' (2013). Ketiga film tersebut mengisahkan perjalanan Slank dari sisi lain yang jarang ditangkap oleh musisi Indonesia. Unsur seni diketengahkan pada karya Garin, dokumenter pada karya Dosy, dan biopic pada karya Fajar. Penggarapan film dilakukan dengan ketelitian dan riset sesuai era yang dipilih sebagai setting cerita. Konser 30 tahun Slank: Nggak Ada Matinya Jumat, 13 Desember 2013, Gelora Bung Karno menjadi saksi sejarah bagi Slank dan Slankers. Untuk pertama kalinya, Slank dan Slankers dipersatukan dalam stadion raksasa Indonesia dalam momen konser tunggal. Jauh-jauh hari, promotor konser, Megapro Communication dan sponsor utama konser, Clavo Premio menyatakan kesiapannya bersama Slank untuk menggelar konser akbar tersebut. Konser dalam rangka perayaan ulang tahun Slank Ke-30, bertajuk 'Slank Nggak Ada Matinya' tersebut menunjukkan eksistensi Slank di jagad industri musik Indonesia yang semakin tak terbantahkan. [caption id="attachment_299157" align="aligncenter" width="300" caption="Konser 30 Tahun Slank"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H