Mohon tunggu...
Didik Wiratno
Didik Wiratno Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jurnalis

Tukang mancing suka naik gunung

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kebuntuan Hukum Bank Centris dalam Pusaran BLBI

2 Agustus 2024   11:00 Diperbarui: 2 Agustus 2024   11:20 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemerintah dibentuk karena ada rakyat yang mempercayainya untuk memimpin maka pemerintah harus mengayomi rakyat agar tercipta kedamaian, sejahtera,  adil dan makmur. Untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah maka perlu pembagian tugas yang kita kenal sebagai trias politika yaitu Eksekutif, Legeslatif dan Yudikatif.

Semua itu diupayakan supaya ada kontrol antara satu dengan yang lainnya, tidak tumpang tindih dalam menjalankan pemerintahan dan tidak bertumpu pada satu kekuasaan sehingga tercipta
pemerintahan yang efektif dan nyaman bagi semua pihak yaitu rakyat dan pemerintahan.

Kebuntuan hukum dalam penanganan kasus Bank Centris Internasional adalah salah satu bukti  bahwa ketiga fungsi tersebut tidak berjalan dengan baik dan masih tumpang tindih. Pemerintah tidak boleh membuat dua keputusan yang berbeda terhadap satu kasus yang sama.

Fakta yang terjadi Bank Centris Internasional diadili oleh dua lembaga pemerintah yaitu dengan adanya keputusan Pengadilan di satu pihak,  namun di lain pihak muncul keputusan PUPN dalam perkara yang sama. Inilah yang membuat tidak adanya kepastian hukum.

Kasus Bank Centris bermula dari adanya perjanjian jual beli antara Bank Indonesia dengan Bank Centris Internasional yang dituangkan dalam akta 46 tanggal 9 januari 1998. Dalam perjanjian tersebut Bank Centris menjual promes nasabah (tagihan nasabah Bank Centris) senilai 492 miliar rupiah dan menyerahkan jaminan lahan seluas 452 hektar.

Kesepakatannya Bank Indonesia harus memindahbukukan sejumlah uang yang diperjanjikan ke rekening PT BCI 523.551.0016. BI juga tidak diperbolehkan menagih nasabah Bank Centris karena sudah ada jaminan yang telah dipasang hak tanggungan atas nama Bank Indonesia.

Namun, tanpa melibatkan Bank Centris, Bank Indonesia justru menjual cessie PT BCI kepada BPPN dengan akta no 39 tahun 1999 dibayar dengan surat hutang dari pemerintah kepada BI sebesar 629 miliar rupiah.

Atas rekomendasi dari Bank Indonesia, BPPN kemudian membekukan secara sepihak Bank Centris  pada tanggal 4 April 1998 ketika perjanjian dengan Akta No. 46 masih berlangsung sampai dengan Bulan Desember 1998, dan belum ada penyelesaian sampai dengan hari ini.

Dikemudian hari akta 39 tersebut dijadikan dasar oleh BPPN menggugat dan menagih PT BCI dengan SK penetapan hutang nomor 49 serta surat paksa no 216. Namun dalam proses di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Perkara No.350/Pdt.G/2000/PN.JKT.SEL tahun 2000, dengan bukti bukti hasil audit BPK terhadap Bank Centris Internasional di BI terbukti pelimpahan cessie sebesar 629 tersebut adalah cessie milik PT Centris International Bank (CIB) dengan no rekening 523.551.000 bukan cessie PT BCI dengan nomor rekening 523.551.0016

Dua amar putusan PN dan PT tidak menyebutkan siapa yang berkewajiban. Dalam pertimbangan hukumnya tertulis "bila Bank Centris Internasional wanprestasi, silahkan sita jaminannya yang sudah berkekuatan hukum tetap".

PUPN sebagai kepanjangan tangan dari BPPN seharusnya mengetahui bahwa proses pengadilan sedang berlangsung dan ada jaminan dalam perkara tersebut, bukan malah mengeluarakan sendiri keputusan paksa bayar untuk menagih Bank Centris dan pribadi pemegang sahamnya.

Surat Keputusan No. 49 tentang penetapan hutang dan surat paksa bayar No. 216/PUPNC.10.00/2021  terbit pada tahun 2021 dan sudah dibatalkan dan diperintahkan dicabut oleh PTUN sesuai putusan No. 428/G/2022/PTUN.JKT dan putusan No. 202/B/2023/PT.TUN.JKT.

Namun PUPN, Satgas BLBI dan KPKNL tetap melakukan pemblokiran, penyitaan dan melelang aset pribadi Andri Tedjadharma, selaku pemegang saham Bank Centris.

Andri Tedjadharma menegaskan, PUPN dan KPKNL telah melakukan perbuatan melawan
hukum dengan menuduh dirinya  sebagai penanggung hutang padahal tidak ada satupun amar putusan pengadilan menyatakan ia sebagai penanggung hutang.

"Di negara yang mengakui hukum sebagai panglima tertinggi, lembaga yang didaulat untuk menyatakan seseorang penanggung hutang adalah pengadilan. Karena itu saya gugat mereka yang telah menyita aset pribadi saya dengan serampangan", tegas Andri.

Saat ini gugatan atas perbuatan melawan hukum Kemenkeu cq PUPN cq KPKNL (tergugat I) dan Bank Indonesia (tergugat II) sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 171/Pdt.G/2024/PN.JKT.PST.

Dalam persidangan yang telah memasuki sidang kesebelas muncul kontradiksi antara tergugat I dan tergugat II terkait keberadaan jaminan lahan 452 hektar yang dipersoalkan. Kuasa hukum BI, Asep menyatakan Bank Indonesia sudah menyerahkan jaminan tersebut ke BPPN pada saat pengalihan hak tagih. Sementara, Kepala KPKNL Jakarta I, Roffi Edy Purnomo dalam surat resminya bernomor S-3048/KNL.0701/2023 poin 2a kepada Andri Tedjadharma menyatakan menerima pengurusan piutang negara dari Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan tidak disertai barang jaminan.

"Saya telah dizolimi perbuatan yang sewenang-wenang selama 26 tahun tanpa
penyelesaian dan ini bisa terjadi pada semua orang tanpa terkecuali setap saat apabila penegakan hukum tidak dijalankan dengan baik dan adil", tutup Andri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun