Mohon tunggu...
Didi Kurnia Sandi
Didi Kurnia Sandi Mohon Tunggu... Freelancer - Sarjana Ilmu Politik, Departemen Hubungan Internasional, Universitas Andalas

Sarjana Ilmu Politik, Departemen Hubungan Internasional, Universitas Andalas angkatan 2018. Kelahiran Kerinci, Jambi. Aktif menulis tulisan opini di koran.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Code of Conduct in the South China Sea Sebagai Kunci Mendapatkan Kedaulatan Absolut di Laut Natuna Utara

28 Mei 2024   21:29 Diperbarui: 28 Mei 2024   22:12 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Code of Conduct in the South China Sea Sebagai Kunci Mendapatakan Kedaulatan Absolut di Laut Natuna Utara

Laut Tiongkok Selatan secara geografis berada di lokasi yang sangat strategis sebagai jalur maritim dunia dan memiliki sumber daya alam yang melimpah, sehingga tak mengherankan apabila sengketa sering terjadi di wilayah ini. Sengketa Laut Tiongkok Selatan berawal ketika Perdana Menteri Tiongkok Zhou Enlai mengeluarkan kebijakan nine-dash line pada bulan Agustus 1951. Nine-dash line atau klaim sembilan garis putus-putus merupakan kebijakan yang menyatakan kepemilikan Tiongkok terhadap 90% wilayah Laut Tiongkok Selatan hanya dengan berlandaskan landasan historis saja. Sengketa Laut Tiongkok Selatan melibatkan enam claimant states secara langsung, yaitu Tiongkok, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei, sedangkan Indonesia berstatus non-claimant state.

Meskipun berstatus non-claimant state, Indonesia terus berperan aktif dalam mencari jalan tengah guna menyelesaikan permasalah ini. Indonesia mulai menginisiasi Workshop on Managing Potential Conflict in The South China Sea pada tahun 1990. Workshop inilah yang nantinya menghasilkan kesepakatan DoC (Declaration on Conduct of Parties in the South China Sea) pada tahun 2002 sebagai bentuk yang lebih baik dari lokakarya tersebut. Namun, DoC tersebut belum cukup kuat untuk mengikat Tiongkok agar mematuhi poin-poin DoC karena tidak adanya sanksi yang jelas. Untuk menyempurnakan kekurangan dari DoC, negara-negara ASEAN berusaha melakukan perundingan dengan Tiongkok untuk merumuskan Code of Conduct in the South China Sea (CoC).

Peran aktif Indonesia dalam negosiasi CoC membuat pemerintah Tiongkok geram. Akibatnya, tindakan Indonesia tersebut malah berbalik menjadi ancaman bagi Indonesia. Niat hati mau menjaga kestabilan kawasan Asia Tenggara dan membatu negara sesama anggota ASEAN, Indonesia malah mulai terseret ke dalam sengketa tersebut. Hal ini terlihat pada tahun 2016, Tiongkok terlihat memprovokasi Indonesia dengan cara melakukan illegal fishing yang dikawal kapal coast guard di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna. Dilansir Cnnindonesia, hal ini dibenarkan oleh anggota Komisi I DPR RI pada waktu itu, Willy Aditya. Menurutnya, apa yang telah dilakukan oleh Coast Guard Tiongkok yang mengawal nelayan untuk masuk ke dalam wilayah NKRI adalah upaya provokasi.

Provokasi ini bertujuan agar konsentrasi Indonesia dalam mendorong disepakatinya CoC menjadi terganggu. Buktinya, setelah provokasi tersebut Indonesia memutuskan untuk lebih fokus mengurusi penamaan Laut Natuna Utara ketimbang mengurusi CoC pada tahun 2017. Penamaan Laut Natuna Utara ini secara tegas ditolak oleh Tiongkok dikarenakan tumpang tindih dengan klaim nine-dash line. Meskipun begitu, langkah presiden Joko Widodo dalam merespon provokasi tersebut adalah tindakan yang sangatlah baik karena hal tersebut menjadi salah satu alasan Tiongkok mulai melakukan pendekatan yang lebih maju terhadap CoC. Tiongkok mulai meningkatkan kerjasama dengan ASEAN dan juga secara resmi menyepakati framework of the Code of Conduct in the South China Sea pada pertengahan 2017.

Melalui kesepakatan kerangka kerja (framework) CoC ini, Indonesia melalui ASEAN berhasil mendorong disepakatinya Single Draft Negotiating Text (SDNT) pada tahun 2018. Melalui draft SDNT, setiap negara berkomitmen untuk menyelesaikan negosiasi CoC dalam tiga tahun, lebih tepatnya dari tahun 2019 hingga 2021. Namun, negosiasi SDNT tersebut masih belum berhasil mencapai kesepakatan dikarenakan negara-negara lebih fokus mengurusi urusan dalam negeri akibat pandemi Covid-19 ketimbang mengurusi SDNT. Pasca pemulihan Covid-19 pun, negosiasi SDNT masih jarang terdengar beritanya hingga kini (2024).

Carl Thayer dalam artikelnya di thediplomat.com menjelaskan bahwa Code of Conduct in the South China Sea (CoC) adalah seperangkat aturan yang bersifat mengikat secara hukum dan berisikan kesepakatan-kesepakatan yang mengatur secara legal pedoman dalam mengelola sengketa Laut Tiongkok Selatan. Selaras dengan penjelasan Thayer, penulis melihat bahwa untuk menjaga kedaulatan Laut Natuna Utara, Indonesia benar-benar membutuhkan seperangkat aturan yang mengikat untuk meredam klaim sepihak nine-dash line Tiongkok. Dengan adanya CoC, segala aktivitas di Laut Tiongkok Selatan akan diatur oleh seperangkat aturan saja. Dengan begitu, setiap adanya tindakan klaim sepihak di Laut Tiongkok Selatan tidak akan diakui secara Internasional, bahkan bisa diberikan sanksi bila melanggar kesepakatan yang telah ditandatangani.

Penulis meyakini bahwa butiran-butiran kesepakatan yang ada di dalam CoC tidak akan jauh berbeda dengan isi UNCLOS 1982 sebagai Hukum Laut Internasional yang berlaku saat ini. Memang benar, Tiongkok tidak terlalu mengakui UNCLOS 1982 karena merasa nine-dash line sudah ada sebelum UNCLOS 1982 diresmikan. Penulis berharap salah satu isi butiran perjanjian CoC tersebut ialah mendorong Tiongkok untuk mengakui UNCLOS 1982 sebagai pedoman Hukum Laut yang diakui secara Internasional. Namun, tidak semudah itu memaksa Tiongkok untuk menandatangani CoC karena hal tersebut sama saja meminta mereka untuk membatalkan kebijakan nine-dash line yang telah mereka terapkan sejak tahun 1951.

Penulis tidak mempunyai kapasitas dalam mendesak pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu. Tetapi jika diberi kesempatan, penulis hendak menyarankan pemerintah Indonesia untuk mengikutsertakan lembaga-lembaga Internasional yang mempunyai kapasitas dalam membantu keberhasilan negosiasi CoC, seperti PBB, International Court of Justice (ICJ) dan lembaga Internasional lainnya. Hal ini mengingat kekuatan Tiongkok belakangan ini yang begitu kuat, Indonesia dan negara ASEAN lainnya tidak akan mampu “menjinakkan” Tiongkok sendirian.

Indonesia harus membawa persoalan ini ke Sidang Majelis Umum PBB dan terus menggugat Tiongkok untuk menghentikan kebijakan nine-dash line ke ICJ agar Tiongkok mau menandatangani CoC dan mengakui UNCLOS 1982. Dengan adanya CoC dan UNCLOS 1982, Indonesia akan benar-benar mendapatkan kedaulatan absolutnya di Laut Natuna Utara. Selama belum ada aturan yang mampu mengikat Tiongkok untuk membatalkan nine-dash line, selama itulah kedaulatan Laut Natuna Utara akan terus terusik oleh pihak asing, terutama Tiongkok.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun