Mohon tunggu...
Didik Ramdan
Didik Ramdan Mohon Tunggu... -

#Jangan terburu-buru untuk mati, karna kita belum menciptakan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Analisis Stigma Masyarakat terhadap Anak di Luar Nikah

11 Desember 2018   00:13 Diperbarui: 11 Desember 2018   07:22 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Analysis" Stigma Masyarakat Terhadap Nikah Dini

Banyak studi tentang anak di luar nikah sangat relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini.Seperti diketahui bahwa banyaknya pergaulan bebas di Indonesia ini yang menjadikan seorang wanita yang memiliki nilai harga diri rendah dan menimbulkan dampak yang perkepanjangan yaitu membawa aib dan walhasil lahirlah (anak di luar nikah ). Fokus pada pembahasan  ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang bentuk stigma anakdi luar nikah,mengrespon seorang anak di luar nikah dalam menanggapi bentuk stigma dari masyarakat, dan perilaku yang dikembangkan anak di luar nikah Untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Ada beberapa tentang Stigma dan respon perilaku anak terhadap lingkungan sosial, kemudian ada lima anak di luar nikah yang mendapatkan bentuk stigma yang didapatkan dari masyarkat misalnya saja bentuk stigma tersebut anak diluar nikah dikatakan sebagai anak haram atau anak zina dari bentuk tersebut anak bisa mengerespon stigma tersebut dengan memeberikan sikap yang biasa saja,berdiam diri,cuek tidak memperdulikan bentuk stigma yang di lontarkan dan ada juga melemparkan penilaian masyarakat,atau memperbaikki meluruskan penilaian masyarakat,adapun sikap atau perilaku yang dikembangkan oleh anak agar untuk tetap bersosialisasi dengan teman di lingkungan sosialnya. Banyak bentuk stigma yang di peroleh anak di luar nikah antara lain anak haram,anak zina atau anak dari hasil hubungan gelap,adapun respon yang ditimbul dalam permasalahan ini dan perilaku anak yang akan dikembangkan guna untuk bersosialisasi dengan teman di lingkungan sosialnya.

Oleh karena itu anak di luar nikah biasanya menjadikan dirinya sebagai individu  yang tertutup karena akibat banyak bentuk stigma yang anak dapatkan anak merubah pola hidupnya menjadi tidak seperti dirinya sendiri terkadang anak suka minder, takut akan sekelilingnya tidak ada penerimaan, terkadang anak hanya merespon bentuk stigma mungkin ini sudah takdir hidupnya sehingga anak tidak bisa berkembang lebih lanjut karena adanya status yang melekat pada dirinya.

Perkawinan atau di sebut juga dengan pernikahan merupakan perjanjian resmi antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi pasangan suami-istri dalam perkawinan yang sah, para Sosiolog berpendapat bahwa asal-usul pengelompokan keluarga bermula dari peristiwa perkawinan

Menurut Prof. Mr. Paul Scholten mengartikan sebuah perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara.

Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara sosial biologis, psikologis maupun secara sosial. Seseorang dengan melangsungkan sebuah perkawinan maka dengan sendirinya semua kebutuhan biologisnya bisa terpenuhi. Ia akan bisa menyalurkan kebutuhan seksnya dengan pasangan hidupnya. Sementara itu secara mental atau rohani mereka yang telah menikah lebih bisa mengendalikan emosinya dan mengendalikan nafsu seksnya.

Adapun tujuan perkawinan itu sendiri yaitu, pertama tujuan memperoleh ketenangan hidup yang penuh cinta dan kasih sayang, sakinah, mawaddah, warahmah. Tujuan mendapat sakinah, mawaddah, warahmah dapat djelaskan dalam Al - Qur'an Surat Ar-Rum ayat 21.

  1. Ayat di atas yang menjelaskan bahwa hubungan suami istri adalah hubungan cinta dan kasih sayang dan bahwa ikatan perkawinan pada dasarnya tidak dapat dibatasi hanya dengan pelayanan yang bersifat material dan biologis saja. Pemenuhan kebutuhan material, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lainnya hanya sebagai sarana untuk mencapai kebutuhan yang lebih mulia dan tinggi, yakni kebutuhan rohani,  cinta, kasih sayang, dan barakah dari Allah. Asumsinya, pelayanan yang bersifat material akan di ikuti dengan hubungan batin, yakni cinta dan kasih sayang.
  2. Untuk  memperoleh atau menjaga kehormatan yang dimana perkawinan merupakan guna menjaga kehormatan diri sendiri, anak dan keluarga.
  3. Untuk  mendapatkan keturunan dimana perkawinan bertujuan untuk mendapatkan keturunan yang shaleh, yang menyembah pada Allah dan mendo'akan kepada orang tua sepeninggalnya dan menyebut kebaikannya di kalangan manusia serta menjaga nama baik keluarga.
  4. Agar  menjaga diri dari sesuatu yang diharamkan, disini menjelaskan tujuan perkawinan ialah memelihara dari perbuatan zina dan semua perbuatan-perbuatan keji.

Dari keempat penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dengan dilangsungkannya perkawinan maka status sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat diakui sebagai pasangan suami-istri dan sah secara hukum. Dalam menanggapi pengertian dari tujuan perkawinan, masih banyak terdapat perilaku penyimpangan tujuan perkawinan itu sendiri, yakni merebaknya perkawinan semu (perkawinan yang tidak sah di mata agama dan negara), penyimpangan perkawinan yang mengarah pada pelanggaran moral seperti melakukan pelecehan seksual. Penyimpangan seksual merupakan bentuk perbuatan menyimpang dan melanggar norma dalam kehidupan masyarakat. Beberapa jenis penyimpangan seksual antara lain perzinahan, pelacuran,  incest, dan kekerasan seksual.

Dari sekian banyak kasus kehamilan yang terjadi di luar nikah, tidak semuanya berakhir dengan aborsi. Sebagian wanita dalam situasi serupa memilih untuk meneruskan kehamilan tanpa menikah. Walaupun demikian, pilihan ini juga membawa konsekuensi tersendiri, misalnya adanya sanksi sosial bagi anak yang dilahirkan tanpa seorang Ayah mendapatkan stigma masyarakat sering kali dianggap sebagai "anak haram", dan terutama bagi wanita sebagai Ibu, tanpa ada pasangan atau ikatan perkawinan yang sah. Perasaan malu yang menganggap dirinya sudah tidak berarti lagi dan merasa dikucilkan oleh keluarga dan lingkungan sekitar akan sangat dirasakan oleh Ibu dan anaknya yang dilahirkan tanpa adanya ikatan perkawinan sah. Karena tidak adanya status yang jelas, mereka sangat mungkin tersisihkan dalam lingkungan dan muncullah perasaan hidup terasa tidak berarti dan frustasi dengan kondisi seperti itu.

Wanita terkadang tidak selayaknya menjalani profesi ganda yakni menjadi seorang Ibu dan Ayah sekaligus didalam membesarkan anak atau menjadi orang tua tunggal, yaitu bekerja keras mencari nafkah yang dimana seharusnya posisi tersebut dikerjakan oleh kaum laki-laki dan menahan aib sendiri yang begitu besar meskipun berat menjalani kehidupannya. Wanita mengalami hal seperti ini biasanya cenderung tidak kuat dalam menahan rasa malu. Mereka hanya bisa berdiam diri dan merenungkan apa yang telah terjadi. Mereka sadar bahwa perbuatannya selama ini salah dan sangat berdosa, dimana anak yang dihasilkan tersebut tidak tahu apa-apa dalam permasalahan ini tetapi menjadi korbannya, misalnya anak itu dikucilkan oleh teman-temannya akibat status anak tersebut tidak jelas siapa Ayah kandung yang sebenarnya. Seringkali orang tua juga merasa risih atas musibah yang menimpa anaknya  yang selalu mendengar perkataan-perkataan negatif tentang dirinya. Wanita tersebut akan mengalami masa sulit dalam menghadapi masa-masa setelah anak tersebut tumbuh menjadi dewasa terutama dalam menjalankan peran sebagai orang tua tunggal.

Adapun dampak yang terjadi  pada perkembangan anak dalam asuhan orang tua tunggal adalah tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik sehingga anak kurang dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang berakibat  menjadi minder dan menarik diri apabila dalam kondisi ekonomi kebawah serta biasanya mendapat nutrisi yang  tidak seimbang sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan anak menjadi terganggu, kurang bisa menanamkan adat istiadat dan menjadi pemurung dalam keluarga, sehingga anak tidak memiliki sikap sopan santun dan tidak bisa meneruskan warisan budaya keluarga serta mengakibatkan kenakalan anak karena adanya ketidakselarasan di dalam keluarga. Pada bidang pendidikan, orang tua tunggal cenderung sibuk mencari nafkah sehingga pendidikan anak kurang maksimal dan tidak optimal. 

Dasar pendidikan agama pada anak biasanya juga cenderung kurang yang berakibat anak jauh dari nilai agama atau tidak mengerti agama. Seorang Ibu juga kurang bisa melindungi anaknya dari gangguan orang lain dan bila dalam jangka waktu lama maka akan menimbulkan kecemasan pada anak atau gangguan psikologis yang sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Banyak Ibu tunggal saat ini memutuskan untuk tidak menikah. Seperti yang telah disebutkan  sebelumnya, bahwa keluarga yang berstatus orang tua tunggal disebabkan oleh beberapa faktor.

Beberapa faktor yang ada itu mempengaruhi kematangan wanita sebagai sosok orang tua tunggal. Kematangan dalam segi fisik dan terutama psikologis menjadi faktor yang utama yang dibutuhkan untuk keberhasilan wanita sebagai single parent dalam membesarkan anaknya. Dalam hal ini, orang tua tunggal membutuhkan dukungan sosial yang bisa didapat dari keluarga, sanak saudara atau teman. Lebih baik lagi bila memiliki beberapa teman dengan latar belakang sesama orang tua tunggal.

Dengan demikian, bisa saling berbagi apa yang terjadi dan bagaimana harus mengatasinya. Sebenarnya, dukungan bisa saja didapat dari teman yang bukan orangtua tunggal, tetapi biasanya sesama orangtua tunggal akan lebih mudah memahami sehingga lebih senang berbagi. Bagi si anak, efek dari pengasuhan orang tua tunggal sangat tergantung pada pendekatan orang tua terhadap masalah-masalah kehidupan. Jika orang tua cukup positif (bisa memenuhi kebutuhan diri sendiri dan anak) tentu perkembangan anak juga baik. Orang tua tunggal yang bisa memberi jaminan rasa aman, cinta, dukungan, penghargaan dan semua dukungan moral, tentu perkembangan si anak akan sama baiknya dengan mereka yang memiliki kedua orang tua. Intinya, menjadi orang tua tunggal harus sadar akan segala kebutuhannya, menyesuaikan diri dan menerima diri mereka apa adanya. Baru setelah selesai dengan masalah pribadinya, mereka tentu bisa membantu orang lain (dalam hal ini anak) untuk memahami dan memenuhi kebutuhan si anak. Tidak menutup kemungkinan bagi single parents ini untuk memberikan motivasi kepada kaum muda dan wanita agar tidak terperangkap pada masalah yang sama.

Mohon maaf sebesar-besarnya bila kemudian hari tulisan ini memiliki kekurangan dan kekeliruan dari penulis, dan penulis sangat berterimakasih bila kemudian ada saran dan masukan untuk tulisan ini.. Semoga dengan tulisan ini pembaca juga lebih semangat lagi untuk membaca selebihnya turut berkontribusi pada negara walau sebatas tulisan.

Saya tulis pembahasan ini tanpa mengurangi rasa hormat saya pada pembaca..

Senin, 11 Desember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun