Kemampuan komunikasi merupakan keterampilan dasar yang sangat penting untuk dikuasai anak sejak usia dini. Komunikasi yang baik dapat membantu mereka dalam menyampaikan ide atau perasaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan mendukung keberhasilan di berbagai aspek kehidupan.Â
Selain itu kemampuan komunikasi memegang peranan penting dalam proses pembelajaran, hal ini dijelaskan oleh (Luthfiah, 2008) bahwa keterampilan komunikasi sangat memberikan pengaruh terhadap komunikasi antar sesama makhluk sosial, jika keterampilan berbicara kita rendah maka akan menimbulkan kesalah pahaman bagi lawan bicara ataupun pendengar sehingga dapat menimbulkan masalah.Â
Masalah yang sering ditemui dalam proses pembelajaran pada umumnya adalah adanya komunikasi yang tidak efektif baik antara guru dan siswa, atau antara siswa dan siswa. Berhubungan akan hal tersebut solusi yang tepat adalah menggunakan model pembelajaran yang tepat oleh para guru.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat mendukung pengembangan kemampuan komunikasi anak adalah model pembelajaran role playing. Model ini memungkinkan anak untuk memerankan berbagai karakter atau situasi dalam skenario tertentu, seperti menjadi dokter, guru, atau pelanggan di toko. Melalui peran ini, anak diajak untuk berlatih berbicara, mendengarkan, serta merespons. Selain itu, model pembelajaran role playing juga memberikan suasana belajar yang menyenangkan, sehingga anak lebih bersemangat untuk belajar.
Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana model pembelajaran role playing dapat menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi anak, mengapa model ini cocok diterapkan dalam pembelajaran, serta langkah-langkah sederhana yang dapat diikuti guru untuk menerapkannya dalam aktivitas pembelajaran. Dengan pendekatan yang tepat, role playing bukan hanya sekedar permainan, tetapi juga sarana belajar yang berdampak besar pada perkembangan komunikasi anak.
Role playing atau bermain peran adalah salah satu model pembelajaran dimana kita seolah-olah menjadi orang lain, yang disertai dengan dialog dan ekspresi serta didasari oleh imajinasi. Menurut Wardana (2014), role-playing pada dasarnya adalah kegiatan mendramatisasi perilaku-perilaku yang berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial.Â
Selain itu, menurut Dharmawan, dkk. (2014), model pembelajaran role playing adalah model pembelajaran yang dirancang untuk membantu siswa memahami materi dengan mengembangkan kemampuan imajinasi dan penghayatan. Dalam model ini, siswa memerankan tokoh tertentu untuk menghidupkan skenario pembelajaran. Biasanya, aktivitas ini melibatkan lebih dari satu peserta, tergantung pada peran yang dimainkan.Â
Sementara itu, Fitriani, dkk. (2019) menjelaskan bahwa role playing merupakan model pembelajaran yang mengintegrasikan proses belajar dengan aktivitas bermain, sehingga menciptakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi siswa. Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran role playing atau bermain peran adalah model pembelajaran yang mengintegrasikan pembelajaran dalam bentuk drama, yang berfokus pada masalah sosial di sekitar siswa dan melibatkan keterampilan berdialog mereka. Dengan model pembelajaran role playing tersebut, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi anak,
Wahyuningsi (2019) menjelaskan bahwa permainan peran penting dalam pendekatan komunikatif karena memberikan peserta didik kesempatan untuk berlatih berkomunikasi dalam berbagai konteks sosial dan peran sosial. Bermain peran adalah kegiatan belajar yang sangat fleksibel dengan banyak variasi dan imajinasi. Hal ini membantu siswa menggunakan bahasa dengan baik dalam banyak aspek kehidupan mereka.Â
Model pembelajaran bermain peran adalah metode yang memungkinkan anak-anak untuk secara aktif melatih keterampilan berbicara, mendengarkan, dan merespons dalam situasi nyata. Ketika anak-anak diberi peran atau adegan tertentu, mereka didorong untuk berimajinasi, memahami sudut pandang orang lain, dan melatih diri mereka dalam membuat presentasi ide-ide.Â
Proses ini membantu dalam pengembangan rasa percaya diri dalam kemampuan mereka untuk mengekspresikan diri dalam bentuk komunikasi lisan maupun non-lisan.