Pernahkah Anda merasa seperti menjadi orang yang berbeda hanya karena berbicara dalam bahasa yang berbeda? Mungkin, saat berkomunikasi dalam bahasa asing, Anda merasa lebih percaya diri, atau merasa sedikit canggung. Atau mungkin, saat berbicara dalam bahasa ibu, Anda merasa lebih santai, lebih dekat dengan emosi dan kenangan masa kecil. Ternyata, ada alasan yang mendasari fenomena ini. Bahasa, lebih dari sekadar alat komunikasi, dapat memengaruhi cara kita berpikir, bahkan membentuk kepribadian kita.
Sebagai seseorang yang menguasai lebih dari satu bahasa, saya mulai menyadari bahwa saat berbicara dalam bahasa yang berbeda, saya merasakan perbedaan yang signifikan dalam cara saya berpikir dan bertindak. Fenomena ini bukan hanya saya alami sendiri, banyak orang yang fasih berbahasa lebih dari satu juga merasakan hal yang serupa. Mereka merasa berbeda ketika berbicara dalam bahasa yang berbeda, dan ini bukanlah kebetulan.
Bahasa Memengaruhi Pola Pikir Kita
Salah satu pemikiran yang menarik tentang hal ini datang dari Benjamin Lee Whorf, seorang ahli bahasa asal Amerika. Ia mengemukakan teori yang cukup kontroversial, yakni bahwa setiap bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga menyimpan kode-kode tertentu yang memengaruhi cara berpikir penggunanya. Dalam pandangan Whorf, bahasa tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi juga membentuk cara kita memandang dan memahami dunia.
Contoh dari teori Benjamin Lee Whorf yang menyatakan bahwa bahasa memengaruhi cara berpikir dapat dilihat melalui berbagai perbedaan struktur bahasa antara satu bahasa dengan bahasa lainnya. Misalnya, dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, terdapat perbedaan cara orang melihat waktu dan ruang, yang tercermin dalam struktur bahasa itu sendiri.
Misalnya dalam bahasa Indonesia, kita sering kali tidak membedakan secara jelas antara tenses dalam pembicaraan sehari-hari. Misalnya, dalam kalimat "Saya makan," tidak ada penanda waktu yang eksplisit (apakah itu sedang terjadi, sudah terjadi, atau akan terjadi). Ini menunjukkan bahwa orang Indonesia, dalam komunikasi sehari-hari, lebih fleksibel dalam memandang waktu sebagai suatu konsep yang tidak terlalu kaku, bergantung lebih pada konteks percakapan.
Namun, perbedaan cara berpikir ini bisa menjadi lebih jelas jika kita mempelajari bahasa yang lebih terstruktur dalam hal waktu, seperti bahasa Prancis atau Jerman, yang secara eksplisit membedakan antara waktu lampau yang sudah selesai, waktu lampau yang berkelanjutan, atau waktu yang akan datang, dan ini memengaruhi cara pembicara bahasa tersebut memandang peristiwa.
Contoh lain dari Benjamin Lee Whorf, dia menjelaskan perbedaan tata bahasa dalam bahasa Yunani dan bahasa Inggris. Dalam bahasa Yunani, kata kerja sering kali muncul di awal kalimat, sebelum subjek atau objek. Ini membuat kalimat terdengar lebih dinamis dan cepat, dan sering kali fokus pada aksi atau kejadian yang sedang berlangsung. Dalam bahasa Inggris, struktur kalimat lebih sering menekankan subjek terlebih dahulu, seperti "I eat the apple," yang membuat pernyataan lebih statis dan lebih berfokus pada subjek.
Struktur tata bahasa ini memengaruhi cara orang berpikir tentang kejadian. Orang yang berbicara bahasa Yunani mungkin lebih fokus pada aksi dan peristiwa itu sendiri, sementara orang yang berbicara bahasa Inggris mungkin lebih memusatkan perhatian pada subjek yang terlibat dalam kejadian tersebut. Ini menunjukkan bagaimana struktur bahasa tidak hanya mencerminkan realitas tetapi juga membentuk cara orang berpikir dan merasakan dunia di sekitarnya.
Kepribadian yang Berbeda dalam Setiap Bahasa
Misalnya pada saat saya berbicara dalam bahasa Inggris, merasa lebih terkendali, lebih rasional, dan lebih hati-hati dalam memilih kata-kata. Namun, ketika berbicara dalam bahasa ibu, misalnya bahasa Sunda, ada perasaan yang lebih bebas, lebih ekspresif, bahkan kadang-kadang lebih blak-blakan. Ini bukan hanya tentang kata-kata yang digunakan, tetapi juga tentang cara seseorang mengungkapkan dirinya.
Begitu juga dalam hal emosi. Saat berbicara dalam bahasa ibu, perasaan seperti kesedihan, kegembiraan, bahkan rasa marah, bisa terasa lebih intens. Berbicara dalam bahasa ini seolah-olah membuka kenangan dan emosi masa kecil yang sudah lama terkubur. Di sisi lain, saat berbicara dalam bahasa kedua, seseorang bisa merasa lebih terkendali dan rasional. Mungkin ini disebabkan oleh fakta bahwa saat menggunakan bahasa kedua, otak kita bekerja sedikit lebih lambat. Ada proses ekstra yang terjadi ketika kita mencerna kata-kata dan meresponsnya, memberi waktu lebih untuk berpikir sebelum bereaksi.