Masih di kafe tempat biasa kami ngobrol, bersama Pak Anton, seorang konsultan pajak. Di depan kami, ada secangkir kopi hitam tanpa gula untuk saya dan cappuccino dengan buih tebal untuk Pak Anton. Sambil menikmati kopi, kami membaca berita di ponsel masing-masing.
"Pak Anton," saya memulai dengan nada bercanda, "ini berita apa lagi nih? Katanya PPh Pasal 21 buat sektor padat karya mau dibebaskan. Tapi, ya itu, cuma buat sektor padat karya. Jadi, saya cuma bisa jadi penonton, ya?"
Pak Anton tertawa kecil. "Iya, Mas. Kalau kamu sih nggak kena kebijakan ini. Tapi setidaknya, pekerja di sektor padat karya dapat angin segar."
Saya menyipitkan mata sambil menyeruput kopi hitam saya yang masih panas. "Jadi, gimana ceritanya ini, Pak? Kenapa pemerintah tiba-tiba jadi baik hati?"
Pak Anton tersenyum. "Ya, ceritanya begini. Mulai 2025, pemerintah bakal menanggung PPh Pasal 21 buat pekerja dengan gaji antara Rp 4,8 juta hingga Rp 10 juta di sektor padat karya. Tujuannya, untuk menjaga daya beli pekerja di tengah kenaikan PPN jadi 12%."
Saya memutar ponsel dan menunjukkannya ke Pak Anton. "Ini maksudnya stimulus ekonomi, ya? Pemerintah bikin satu kebijakan yang meringankan, tapi di sisi lain, kita tetap kena beban dari PPN yang naik. Jadi kayak orang kasih hadiah, tapi diam-diam ambil duit dari dompet kita."
Pak Anton tertawa terbahak-bahak. "Iya, mungkin analoginya seperti itu. Tapi, sebenarnya, kebijakan ini ada manfaatnya juga. Pekerja yang biasanya harus bayar PPh sekarang bisa punya ruang lebih untuk belanja atau nabung."
Saya mengangguk pelan. "Jadi, intinya, ada kompromi. Kita bayar lebih lewat PPN, tapi yang di sektor ini dapat keringanan pajak penghasilan."
"Betul," kata Pak Anton. "Tapi jangan lupa, ini khusus untuk sektor padat karya, seperti tekstil, furnitur, dan alas kaki. Selain pembebasan PPh, pemerintah juga kasih subsidi bunga kredit 5% buat perusahaan, diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja 50%, dan perpanjangan PPh final UMKM."
Saya mengerutkan kening. "Jadi, mereka dapat banyak insentif. Tapi, gimana kalau perusahaan tetap nggak bisa bertahan dan malah ada PHK?"
Pak Anton menghela napas sambil menyeruput cappuccino-nya. "Itu risiko yang selalu ada, Mas. Bahkan sekarang, sudah ada ribuan pekerja di sektor tekstil yang kena PHK sejak awal tahun. Kebijakan ini diharapkan bisa mengurangi dampaknya, tapi ya tetap tergantung implementasinya."
Saya kembali menatap ponsel, membaca berita lain. "Hmm, jadi ini seperti strategi bertahan di tengah badai ekonomi global. Tapi ya itu, nggak semua kebijakan langsung terasa hasilnya."
"Tepat sekali," ujar Pak Anton. "Makanya, pemerintah butuh waktu untuk lihat dampak kebijakan ini. Kalau berhasil, sektor padat karya bisa tetap produktif, dan daya beli masyarakat meningkat. Tapi, kalau nggak, ya dampaknya bisa negatif, terutama di jangka pendek."
Saya tertawa kecil sambil mengaduk kopi saya. "Jadi, ini kayak main tebak-tebakan aja, ya, Pak. Berhasil atau enggak, tergantung pelaksanaan dan faktor lainnya."
Pak Anton tersenyum. "Iya, betul. Tapi, yang penting, kita sebagai masyarakat harus terus mengamati dan mempersiapkan diri. Kalau kamu nggak kena kebijakan ini, ya cari cara lain untuk tetap stabil secara finansial."
Saya mengangguk. "Terima kasih, Pak. Obrolan ini selalu bikin kepala saya tambah pusing, tapi anehnya juga tercerahkan."
Kami tertawa bersama, melanjutkan minum kopi sambil sesekali bercanda tentang berita lain. Dalam keseriusan topik ekonomi, ternyata selalu ada ruang untuk humor dan tawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H