Mohon tunggu...
DIDIK FADILAH
DIDIK FADILAH Mohon Tunggu... Lainnya - a life-long learner

“Ikatlah ilmu dengan tulisan”.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Obrolan Santai Tentang Kenaikan PPN Jadi 12%

21 Desember 2024   17:36 Diperbarui: 21 Desember 2024   17:36 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar dihasilkan Oleh Artificial Intelligence

 

Di sebuah kafe yang cukup ramai, saya duduk bersama Pak Anton, seorang  konsultan pajak.

“Pak, saya mau tanya soal rencana kenaikan PPN jadi 12% mulai Januari 2025. Ini beneran bakal naik, ya?” Saya mulai bertanya.

Pak Anton mengangguk. “Betul. Berdasarkan peraturan yang sudah disahkan, per 1 Januari 2025, PPN akan naik dari 11% menjadi 12%. Pemerintah sudah menetapkannya sejak beberapa tahun lalu sebagai bagian dari reformasi perpajakan.”

Saya termenung sejenak. “Waduh, terus terang, saya lagi galau nih, Pak. Saya lagi pertimbangkan beli motor baru. Kalau saya tunggu sampai tahun depan, berarti harganya bakal naik, dong?”

Pak Antontersenyum kecil. “Kenaikan PPN memang berpotensi bikin harga barang, termasuk kendaraan bermotor, jadi lebih mahal. Tapi kita harus lihat juga dampaknya secara keseluruhan.”

Saya jadi penasaran. “Bisa minta tolong jelasin pak. Saya ingin tahu pengaruhnya, khususnya buat buat saya, tapi juga buat masyarakat secara umum.”

Pak Anton mulai menjelaskan. “PPN, atau Pajak Pertambahan Nilai, adalah pajak yang dikenakan pada konsumsi barang dan jasa. Saat ini, PPN di Indonesia 11%, tapi sesuai dengan roadmap reformasi pajak, pemerintah menaikkan tarifnya secara bertahap hingga 12% tahun depan.”

Saya mengangguk dan bertanya lagi. “Kenapa dinaikkan, Pak? Kan sudah tinggi.”

Pak Anton menjelaskan. “Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendukung program pembangunan. Pajak adalah sumber utama pendapatan pemerintah, dan dengan kenaikan ini, pemerintah berharap bisa membiayai berbagai program, seperti infrastruktur dan pendidikan.”

Saya menghela napas panjang. “Tapi efeknya ke masyarakat gimana? Bakal banyak yang keberatan, dong?”

“Benar,” ujar Pak Anton. “Kenaikan PPN akan berdampak langsung pada daya beli masyarakat. Harga barang akan meningkat, yang artinya beban bagi konsumen bertambah.”

Saya sedikit bingung. “Saya sekarang pakai motor lama. Saya butuh motor baru buat ngurangin biaya perawatan. Tapi saya ragu, beli sekarang atau nanti?”

Pak Anton tersenyum. “Kalau rencananya beli motor, Desember ini memang waktu yang lebih baik. Karena kenaikan PPN akan langsung memengaruhi harga motor tahun depan. Misalnya, kalau harga motornya Rp 20 juta, dengan PPN 12% kamu bakal bayar pajak Rp 2,4 juta, dibandingkan Rp 2,2 juta saat ini.”

Saya mengangguk. “Berarti selisihnya Rp 200 ribu. Nggak terlalu besar, sih.”

“Tapi jangan lupa ada biaya opsen pajak daerah juga,” tambah Pak Anton. “Beberapa daerah menaikkan pajak kendaraan bermotor untuk menutupi pendapatan daerah yang berkurang akibat inflasi atau kebutuhan anggaran daerah.”

Saya mengerutkan kening. “Jadi bukan cuma kenaikan PPN aja, ya?”

“Betul,” jawab Pak Anton. “Jadi, kalau kamu merasa harganya masih terjangkau sekarang, mungkin lebih baik beli sebelum kenaikan. Tapi, pertimbangkan juga apakah kebutuhanmu mendesak atau masih bisa ditunda.”

Saya tambah penasaran, "Pak, kalau harga naik gara-gara PPN, efeknya buat masyarakat bakal gimana?”

Pak Anton mengambil jeda sejenak sebelum menjawab. “Efeknya akan terasa pada daya beli, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Barang-barang yang bukan kebutuhan pokok bisa mengalami penurunan permintaan karena orang lebih memilih menghemat.”

Saya mengangguk pelan. “Itu berarti ekonomi bisa melambat, ya?”

“Tidak selalu,” kata Pak Anton. “Kalau penerimaan pajak yang meningkat digunakan pemerintah untuk hal produktif, seperti membangun infrastruktur atau subsidi pendidikan, dampaknya bisa positif dalam jangka panjang. Tapi memang, untuk jangka pendek, masyarakat akan merasakan beban lebih berat.”

Saya sedikit merenung. “Jadi, ini semacam pil pahit, ya? Harus kita telan sekarang supaya manfaatnya terasa nanti?”

Pak Anton melanjutkan. “Bisa dibilang begitu. Tapi, sebagai individu, kita perlu cerdas mengambil keputusan. Misalnya, kalau ada kebutuhan besar seperti membeli motor, kita harus lihat kapan waktu terbaik untuk membelinya. Kalau bisa lebih hemat sekarang, kenapa harus menunda?”

Saya menghela napas. “Oke, Pak. Berarti saya harus buat keputusan segera. Kalau saya tunggu tahun depan, kenaikan PPN dan opsen bisa bikin biaya makin mahal.”

Pak Anton mengangguk setuju. “Tepat. Tapi, ingat, jangan hanya fokus pada pajaknya. Pastikan juga keuangan kita cukup stabil untuk mencicil atau membayar tunai motor itu tanpa mengorbankan kebutuhan lain.”

Saya tersenyum lega. “Oke, Pak. Obrolan ini ngebantu banget buat saya yang bingung soal pajak.”

Pak Anton tertawa kecil. “Pajak itu sebenarnya nggak serumit yang dibayangkan, asal kita mau belajar dan  bertanya. Kalau ada pertanyaan lagi, jangan ragu, ya.”

Saya mengangguk dan beranjak dari tempat duduk kemudian menyalaminya, "Makasih Pak."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun