Setiap kali berada di bulan September dan Oktober, ingatan kolektif kita sebagai bangsa Indonesia akan selalu diteror kembali dengan peristiwa kelam tahun 1965.
Peristiwa kelam yang jika kita mau jujur, sebenarnya masih merupakan peristiwa abu-abu bagi kebanyakan kita terutama yang terlahir di era yang jauh setelah peristiwa tersebut terjadi atau yang tidak mengalami atau bersinggungan dengannya secara langsung. Karena informasi-irformasi yang sampai kepada kita tentang peritiwa tersebut pun terkadang simpang-siur adanya.
G30S/PKI
Ya, peristiwa yang saya maksud di atas adalah peristiwa G30S/PKI atau yang bagi sebagian orang sekarang ini menyebutnya hanya dengan G30S.
G30S atau G30S/PKI adalah sebuah peritiwa, yang kita sama-sama tahu, merujuk kepada sebuah gerakan yang dilancarkan pada tanggal 30 September 1965. Sebuah gerakan yang mencoba melakukan kudeta yang kemudian menyeret beberapa orang jendral menjadi korbannya. Sebuah gerakan yang selama masa Orde Baru didoktrinkan setiap tahunnya oleh penguasa kepada kita semua, rakyat Indonesia, dilakukan oleh orang-orang PKI.
Peristiwa G30S/PKI barangkali benar terjadi adanya. Namun, apa yang dilakukan rezim Orde Baru dengan propagandanya bisa jadi juga terlalu berlebihan.
Alih-alih melakukan doktrinisasi bahwa PKI dan semua simpatisannya merupakan daftar hitam yang harus dilenyapkan, banyak orang kemudian yang justeru bersimpati kepada PKI. Terutama di masa sekarang, ketika rezim Orde Baru tidak lagi berkuasa.
Ronggeng Dukuh Paruk
Kesimpangsiuran informasi tentang peristiwa 1965, karena selain apa yang didoktrinkan oleh Orde Baru melalui pemutaran film setiap tahunnya dan juga melalui pelajaran sejarah di sekolah, terdapat juga cerita-cerita lainnya sebagai kesaksian yang berlawanan dengan dokrin yang ada.
Setidaknya, tidak semua yang dituduh harus bertanggungjawab semuanya bersalah, terutama kebanyakan rakyat kecil yang justeru merupakan korban juga yang hanya ikut-ikutan saja atau terjebak mengikuti tanpa tahu dengan jelas apa yang diikutinya, ataupun tidak mempunyai pilihan lain selain harus mengikuti.
Salah satu cerita yang berlawanan atau agak menyimpang dengan doktin Orde Baru bisa kita dapatkan dari film Sang Penari (2011) yang berkisah tentang kehidupan ronggeng dan masyarakat di Dukuh Paruk[1].
Film yang juga merupakan adaptasi dari novel sejarah yang ditulis oleh Ahmad Tohari berjudul Ronggeng Dukuh Paruk yang pertama kali diterbutkan pada tahun 1982 sebagai sebuah trilogi: Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Sebelum Sang Penari, Ronggeng Dukuh Paruk sebelumnya pernah juga diangkat ke layar lebar dengan judul Darah dan Mahkota Ronggeng (1983).