Mohon tunggu...
Usman Didi Khamdani
Usman Didi Khamdani Mohon Tunggu... Programmer - Menulislah dengan benar. Namun jika tulisan kita adalah hoaks belaka, lebih baik jangan menulis

Kompasianer Brebes | KBC-43

Selanjutnya

Tutup

Film

"Sang Penari", Ketika Rakyat Menjadi Tumbal Ambisi Kekuasaan

5 Oktober 2020   13:06 Diperbarui: 5 Oktober 2020   13:15 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sang Penari (2011) | dokpri

Setiap kali berada di bulan September dan Oktober, ingatan kolektif kita sebagai bangsa Indonesia akan selalu diteror kembali dengan peristiwa kelam tahun 1965.

Peristiwa kelam yang jika kita mau jujur, sebenarnya masih merupakan peristiwa abu-abu bagi kebanyakan kita terutama yang terlahir di era yang jauh setelah peristiwa tersebut terjadi atau yang tidak mengalami atau bersinggungan dengannya secara langsung. Karena informasi-irformasi yang sampai kepada kita tentang peritiwa tersebut pun terkadang simpang-siur adanya.

G30S/PKI

Ya, peristiwa yang saya maksud di atas adalah peristiwa G30S/PKI atau yang bagi sebagian orang sekarang ini menyebutnya hanya dengan G30S.

G30S atau G30S/PKI adalah sebuah peritiwa, yang kita sama-sama tahu, merujuk kepada sebuah gerakan yang dilancarkan pada tanggal 30 September 1965. Sebuah gerakan yang mencoba melakukan kudeta yang kemudian menyeret beberapa orang jendral menjadi korbannya. Sebuah gerakan yang selama masa Orde Baru didoktrinkan setiap tahunnya oleh penguasa kepada kita semua, rakyat Indonesia, dilakukan oleh orang-orang PKI.

Peristiwa G30S/PKI barangkali benar terjadi adanya. Namun, apa yang dilakukan rezim Orde Baru dengan propagandanya bisa jadi juga terlalu berlebihan.

Alih-alih melakukan doktrinisasi bahwa PKI dan semua simpatisannya merupakan daftar hitam yang harus dilenyapkan, banyak orang kemudian yang justeru bersimpati kepada PKI. Terutama di masa sekarang, ketika rezim Orde Baru tidak lagi berkuasa.

Ronggeng Dukuh Paruk

Kesimpangsiuran informasi tentang peristiwa 1965, karena selain apa yang didoktrinkan oleh Orde Baru melalui pemutaran film setiap tahunnya dan juga melalui pelajaran sejarah di sekolah, terdapat juga cerita-cerita lainnya sebagai kesaksian yang berlawanan dengan dokrin yang ada.

Setidaknya, tidak semua yang dituduh harus bertanggungjawab semuanya bersalah, terutama kebanyakan rakyat kecil yang justeru merupakan korban juga yang hanya ikut-ikutan saja atau terjebak mengikuti tanpa tahu dengan jelas apa yang diikutinya, ataupun tidak mempunyai pilihan lain selain harus mengikuti.

Salah satu cerita yang berlawanan atau agak menyimpang dengan doktin Orde Baru bisa kita dapatkan dari film Sang Penari (2011) yang berkisah tentang kehidupan ronggeng dan masyarakat di Dukuh Paruk[1].

Film yang juga merupakan adaptasi dari novel sejarah yang ditulis oleh Ahmad Tohari berjudul Ronggeng Dukuh Paruk yang pertama kali diterbutkan pada tahun 1982 sebagai sebuah trilogi: Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Sebelum Sang Penari, Ronggeng Dukuh Paruk sebelumnya pernah juga diangkat ke layar lebar dengan judul Darah dan Mahkota Ronggeng (1983).

Sebagaimana Ronggeng Dukuh Paruk, Sang Penari mengangkat dua tokoh utama, yaitu Srintil dan Rasus. Srintil dan Rasus merupakan dua bersaudara (sepupu) yang telah sejak kecil selalu bersama. Di kemudian hari mereka kemudian saling jatuh cinta. Toh, Rasus kemudian pergi meninggalkan Srintil yang bersikukuh untuk menjadi ronggeng.

Bagi Rasus, dengan Srintil menjadi ronggeng, berarti selesai sudah hubungan mereka berdua, Srintil tidak akan mungkin bersanding lagi dengannya karena dengan Srintil menjadi ronggeng berarti bukan hanya dipilih warga dukuh untuk menari, tetapi juga untuk menjadi "milik bersama". Rasus kemudian pergi ke kota untuk melamar menjadi tentara.

Kehidupan Rasus sebelum memutuskan menjadi tentara hanyalah seorang buruh tani, sebagaimana kebanyakan orang lainnya di Dukuh Paruk.

Dukuh Paruk merupakan sebuah daerah miskin. Penduduknya banyak yang kelaparan. Dalam kondisi tersebut, kehadiran kembali ronggeng yang diperankan Srintil--yang telah lama tidak ada semenjak ronggeng yang terakhir tewas bersama banyak orang lainnya di Dukuh Paruk termasuk kedua orangtua Srintil dalam sebuah tragedi tempe bongkrek di mana mereka mati keracunan tempe bongkrek yang dibuat oleh orangtua Srintil--merupakan berkah yang dinanti-nanti bagi masyarakat Dukuh Paruk karena dipercaya dapat menyelamatkan Dukuh Paruk dari kelaparan.  

Kemiskinan Dukuh Paruk pun membawa Bakar yang kini telah menjadi aktivis PKI kembali ke daerahnya. Dengan bujuk rayu dan propaganda kesejahteraan bersama, Bakar berhasil meraih hati masyarakat Dukuh Paruk untuk bergabung dengan PKI. Termasuk grup kesenian ronggeng Dukuh Paruk yang berhasil pula digaetnya dan dimanfaatkannya untuk dihadirkan dalam kampanye-kampanye untuk menarik massa lebih banyak lagi.

Orang-orang Dukuh Paruk yang hampir semuanya tidak berpendidikan dan buta huruf, tidak terkecuali Srintil, dapat dengan mudah diberdaya oleh Bakar.

Hingga G30S/PKI meletus di Jakarta. Dukuh Paruk yang kemudian telah ditandai oleh TNI sebagai "daerah merah", akhirnya pun terkena imbasnya. Orang-orang Dukuh Paruk yang tertulis dalam daftar anggota PKI yang telah dicatat oleh Bakar sebelumnya, pun diangkut semuanya. Termasuk Srintil. Srintil bersama sebagian penduduk Dukuh Paruk lainnya dibawa ke sebuah bangunan tua bekas pabrik tebu. 

Demikianlah. Melalui tulisan ini, bukan berarti saya menafikan kekejian yang pernah terjadi pada tahun 1965 ataupun kekejian lainnya pada tahun 1948. Namun, sikap gebyah uyah seperti yang dilakukan rezim Orde Baru dengan memberikan stigma terhadap semua orang yang terkait dengan PKI--termasuk dan terlebih anak dan keturunannya yang tidak tahu menahu apa-apa, saya rasa bukanlah sikap yang bijak, karena pada akhirnya dapat menimbulkan jalinan dendam baru yang tidak akan berkesudahan.

Pada akhirnya, PKI, sebagaimana partai-partai politik lainnya, hanyalah sebuah alat atau kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan, dengan memanfaatkan simpati rakyat untuk mendorong lajunya. Rakyat, yang sebagaimana masyarakat Dukuh Paruk, tidak tahu apa-apa tentang partai yang didorongnya, selain janji-janji kesejahteraan.

Begitu pun dengan komunis. Sebagaimana paham-paham lainnya, termasuk paham keagamaan, ia ibarat pisau yang akan selalu dapat melukai dan menjadi sumber bencana di tangan mereka yang salah memaknai dan menyalahgunakannya.

Selalu ada orang-orang korup dan tidak memiliki hati nurani di balik setiap anarki dan kekejian yang ada. Inilah yang selalu harus kita waspadai bersama. Selalu waspada dengan apa yang ditawarkan dan dijanjikan kepada kita. Darimana pun asalnya.

Jangan sampai sejarah terulang kembali. Jangan sampai kita, sebagai rakyat, kembali menjadi tumbal ambisi kekuasaan. Siapapun.

Salam. 

[1] meski beberapa klaim menyebutkan bahwa Dukuh Paruk merujuk kepada sebuah desa di Kabupaten Banyumas, Dukuh Paruk sejatinya hanyalah sebuah desa fiktif yang hanya ada di novel yang ditulis Ahmad Tohari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun