Mohon tunggu...
Usman Didi Khamdani
Usman Didi Khamdani Mohon Tunggu... Programmer - Menulislah dengan benar. Namun jika tulisan kita adalah hoaks belaka, lebih baik jangan menulis

Kompasianer Brebes | KBC-43

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Ketika Kebesaran Sang Tokoh Tenggelam dalam Kesuraman Film

18 Juni 2020   02:18 Diperbarui: 18 Juni 2020   02:09 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Istirahatlah Kata-kata @TVRINasional

Menyaksikan kembali film Istirihatlah Kata-Kata yang kali Selasa malam tanggal 16 Juni 2020 kemarin ditayangkan di TVRI, terus terang saya masih belum dapat menangkap apa yang ingin disampaikan lewat film tersebut.

Sebagai sebuah biopik yang bercerita tentang (penggalan) perjalanan hidup penyair legendaris yang juga seorang aktivis reformasi, Wiji Thukul, yang begitu terkenal dengan sajak "Peringatan"-nya, terus terang saya agak kecewa dengan film tersebut. Saya tidak dapat menemukan sosok setangguh puisi-puisi yang ditulisnya.

Terlepas dari kepiawaian para pemain dalam memerankan tokoh-tokoh dalam film tersebut, film tersebut justeru seperti memberi gambaran suram tentang nasib Thukul.

Kesunyian dan kesendirian yang terus berulang dihadirkan sepanjang film memberi gambaran tentang "kekalahan" Thukul. Yang secara pikologis, setelah menonton film tersebut orang bisa saja menjadi ciut nyalinya untuk terjun menjadi aktivis ataupun untuk menyuarakan kebenaran.

Benar, nasib aktivis seperti Thukul yang hidup di bawah tekanan rezim yang begitu mencengkeram, tentu suram adanya.

Toh film semestinya bisa saja tidak blak-blakan. Pada awal dulu sebelum film ini diedarkan, saya membayangkan film tersebut akan menggambarkan Thukul yang begitu tangguh, Thukul yang begitu perkasa. Sehingga dapat menularkan semangatnya kepada kita yang menontonnya. Namun ternyata, angle yang (ingin) dibidik sepertinya lain.

Ya, jika film tersebut bermaksud membangkitkan semangat penonton untuk meneladani keberanian Thukul, maka "peringatan" yang didapat oleh penonton sangat mungkin sebaliknya. Yang ada di benak penonton justeru mungkin adalah ketakutan membayangkan menjalani kehidupan seperti itu.

Film dibuka dengan adegan interogasi aparat tentara terhadap seorang anak dari Wiji Thukul yang masih kecil, menanyakan Thukul yang tak kunjung menampakkan diri. Selanjutnya film menggambarkan pelarian Thukul yang bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain.

Thukul yang selalu gelisah dan was-was disergap aparat. Sampai-sampai untuk sekedar memejamkan mata pun tidak sanggup. Thukul yang juga nampak begitu ketakutan saat berpapasan atau sedang ngobrol atau dekat dengan aparat.

Hingga kemudian film ditutup dengan adegan Sipon, istri Thukul, yang menangis mengadu kepada Thukul. Sipon yang begitu kelelahan menjalani nasib sebagai istri seorang aktivis.

Siapa orangnya yang sanggup membayangkan menjalani kehidupan yang begitu berat dan menakutkan tersebut?

Sekali lagi, barangkali benar. Babak-babak seperti yang diangkat dalam film tersebut benar dijalani Thukul dan Sipon dalam hidupnya. Betapa mereka pun tentu mengalami kegamangan dan kelelahan, bahkan ketakuatan. Hal yang sangat manusiawi. Namun, benarkah perlu blak-blakan adanya?

Mungkin saja Thukul dalam film tersebut hanya sebagai trigger, sebagai perantara. Barangkali apa yang ingin disajikan dalam film tersebut sebenarnya adalah gambaran tentang rezim Order Baru yang begitu ditakuti dan menggedor nyali mereka yang ingin menggugatnya. Atau, barangkali memang film tersebut hanya ingin bercerita tentang Thukul sebagai manusia biasa. Thukul yang sebenarnya sama dengan kita. Thukul yang sebenarnya bukan siapa-siapa.

Entahlah, hanya Tuhan dan mereka yang merencanakan film tersebut yang tahu apa sebenarnya yang ingin diharapkan dari kehadiran film tersebut, dengan menghadirkan Thukul dalam film tersebut.

Sebagai penonton, saya hanya ingin mengutarakan apa yang telah saya rasakan. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun