Bahasa ibu sebagai native language merupakan bahasa yang pertama kali kita kenal dan kita akrabi untuk waktu sekian lama. Bahasa yang kita pergunakan sejak awal kita mengenal bahasa, untuk berkomunikasi dengan ibu kita, dengan keluarga dan masyarakat di sekitar kita.
Meski kita kemudian telah berpindah tempat dan menggunakan bahasa yang lain, bahasa ibu atau bahasa daerah kita, akan sangat sulit kita lupakan karena biasanya ia akan terus mendarahdaging. Tidak jarang kita pun berusaha mengenalkan dan mewariskannya kepada anak-anak kita, yang lahir dan tumbuh dalam bahasa yang berbeda.
Demikian halnya dalam menulis sastra atau puisi. Sebagai sebuah bentuk komunikasi, tidak jarang penyair pun menuliskan puisinya dengan menggunakan bahasa ibu, menggunakan bahasa daerah asalnya. Puisi yang saya maksud di sini tentu adalah puisi kontemporer, puisi yang kekinian. Sebab, jika kita bicara soal puisi tradisional atau sastra tradional, hampir tiap daerah telah mempunyai ragamnya sendiri-sendiri.Â
Seperti Aceh misalnya yang mempunyai mantera dan hadih maja [1], Minang atau Sumatera Barat yang mempunyai talibun dan pepatah-petitih [2], Sunda atau Jawa Barat yang mempunyai mantra dan sawer [3], Sulawesi Selatan yang bahkan tiap daerahnya mempunyai ragamnya sendiri [4] atau Jawa yang terkenal juga dengan berbagai ragam puisi atau sastra tradisionalnya seperti kakawin dan tembang [5].
Bermacam alasan penyair menuliskan puisinya dalam bahasa ibu. Ada yang hanya untuk sekedar klangenan atau bernostalgia, ada yang memang menganggap menulis puisi dalam bahasa ibu sama halnya juga dengan menulis puisi dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, berpuisi dengan menggunakan bahasa ibu tidak berbeda halnya dengan mencoba mengajak orang lain ngobrol menggunakan bahasa ibu. Ada juga yang melakukannya untuk mengenalkan puisi, membaurkan puisi ke dalam bahasa ibu, ada juga yang melakukannya sebagai bentuk penghormaan terhadap bahasa ibu.
Apapun alasannya, menulis puisi dalam bahasa ibu memang sudah bukan hal yang asing lagi saat ini. Di Kompasiana ini, sering juga kita dapati puisi yang ditulis menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerah.
Gampang-gampang Susah
Namun demikian, meski bahasa ibu begitu luwes untuk kita gunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, terutama secara verbal, menulis puisi dalam bahasa ibu ternyata gampang-gampang susah. Faktor kulina atau keterbiasaan menggunakan bahasa Indonesia dalam menulis puisi, seringkali membuat kita terjebak dalam menulis puisi menggunakan bahasa ibu. Puisi-puisi yang kita tulis seringkali masih belepotan, bercampuran dengan bahasa Indonesia.
Namun hal ini secara alami akan dapat normal dengan sendirinya seiring kita terus giat menulis puisi dalam bahasa ibu. Seperti saat kita baru pertama kali pindah ke suatu tempat yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa yang kita gunakan sebelumnya, tentu kita akan mengalami kecanggungan dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. Namun, lambat laun, bahkan dalam bermimpi pun kita akhirnya menggunakan bahasa baru tersebut.
Seperti pisau, kemampuan menulis puisi, dalam hal ini menulisnya dengan menggunakan bahasa ibu, akan semakin tajam seiring kita terus mengasahnya.
Pemberontakan
Dari sekian alasan penyair menulis puisi atau sastra dalam bahasa ibu, pemberontakan merupakan alasan yang cukup menarik. Pemberontakan atas marginalitas sastra daerah, sastra berbahasa ibu. Semangat ini setidaknya diusung oleh penyair-penyair Tegal yang memang gemar berpuisi dalam bahasa ibu. Secara serius bahkan mereka menerbitkan antologi-antologi puisi berbahasa Tegalan (bahasa jawa dalam dialek ngapak utara). Terakhir, bahkan muncul genre puisi kur 267 yang mengadaptasi puisi tradisional Jepang, haiku [6], sebagai puisi berpola suku kata 2, 6 dan 7 yang ditulis dalam bahasa ngapak Tegalan (silahkan klik tautan tentang kur 267 di bawah untuk mengetahuinya lebih lanjut).
Demikianlah. Puisi memang selalu menyajikan ruang yang tanpa batas. Ruang yang tidak mengurung dan membelenggu kita untuk hanya menuliskannya dalam satu bahasa. Puisi bebas untuk kita tuliskan menggunakan bahasa apapun.Â
Meski pada akhirnya, menggunakan bahasa apapun, puisi adalah jembatan dalam kita berkomunikasi dengan orang lain untuk menyeberangkan ide-ide dan gagasan-gagasan kita, suara-suara hati kita, agar dapat sampai kepada mereka. Tanpa pemahaman terhadap puisi kita, puisi kita hanya akan nampak gagah sebagai patung di musium, namun sejatinya menggigil sendirian saat orang-orang hanya begitu saja melewatinya.
Silahkan baca tulisan-tulisan KBC-43 menarik lainnya:
Kur 267: Genre Baru Puisi dalam Khasanah Sastra
Benarkah Kita Boleh Menulis Puisi Semau Kita Sendiri?
Reformasi = Repot Nasi (Puisi Tegalan)
Cara Mengamankan Android, WhatsApp, dan Akun Sosial Media Kita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H