Mohon tunggu...
Usman Didi Khamdani
Usman Didi Khamdani Mohon Tunggu... Programmer - Menulislah dengan benar. Namun jika tulisan kita adalah hoaks belaka, lebih baik jangan menulis

Kompasianer Brebes | KBC-43

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bencana sebagai Akibat dari "Wong Jawa Ilang Jawane"

13 Mei 2020   03:27 Diperbarui: 13 Mei 2020   03:29 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bencana atau pageblug, bagi orang Jawa, memang sering dikait-kaitkan dengan kekhawatiran akan keadaan "wong jawa ilang jawane", orang (jawa) kehilangan jatidirinya.  Jatidiri bagi orang Jawa, erat kaitannya dengan konsep kosmologi Jawa, sebuah konsep yang mengatur hubungan dan kelerasan manusia baik dengan sesama maupun dengan alam semesta.

Dalam kosmologi Jawa, baik jagat ageng (makrokosmos) ataupun jagat alit (mikrokosmos), itu senantiasa mesti dijaga keseimbangannya. 

Makrokosmos atau jagat ageng yaitu suatu susunan keseluruhan atau kompleks yang dipandang dalam totalitasnya atau sebagai suatu keseluruhan yang aktif serta terstruktur. Arti lain dari makrokosmos adalah alam semesta sebagai sebuah keseluruhan atau sistem yang terpadu dan tunggal. Lawan dari makrokosmos adalah mikrokosmos atau jagat alit yaitu bagian kecil dari satu keseluruhan [1].

Kosmologi Jawa berangkat dari falsasah sedulur papat lima pancer, konsep yang mengacu kepada lahiriah manusia yang ditemani oleh sedulur papat, empat kerabat, yaitu kawah (air ketuban), getih (darah), puser (tali pusar), dan adi ari-ari (plasenta). Sedulur papat juga terwujud dalam kisah wayang kulit. Yakni, kelahiran Dasamuka, Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Wibisana. Tokoh-tokoh tersebut merupakan personifikasi doktrin kosmologi Jawa tentang empat jenis nafsu, yaitu: amarah (merah), aluamah (hitam), sufiah (kuning), dan mutmainah (putih) yang menyertai hidup manusia [2].

  1. Amarah. Dicirikan sebagai watak bengis, digambarkan sebagai api yang menggunakan saluran pintu telinga dan bersemayam di empedu. (Dasamuka)
  2. Aluamah. Dicirikan sebagai watak yang tidak pernah puas, menggunakan pintu mulut dan bertempat di usus. (Kumbakarna)
  3. Sufiyah. Dicirikan sebagai watak yang harus cepat/ keinginan besar, segera, menggunakan pintu mata, bertempat di limpa. (Sarpakenaka)
  4. Mutmainah. Dicirikan sebagai watak yang tenang, diam, menggunakan pintu hidung, bertempat di ginjal. (Wibisana)

Manusia sebagai Penjaga Keseimbangan Alam Semesta

Manusia sebagai mikrokosmos, mesti dapat senantiasa menjaga keempat elemen penting kehidupan tersebut dalam rangka juga menjaga kelerasannya dengan alam semesta, menjaga keseimbangan makrokosmos.

Itulah jatidiri manusia, dalam konsep kosmologi Jawa. Yaitu sebagai penjaga keseimbangan dan keselarasan jagat, baik jagat alit maupun jagat ageng.  Ketika manusia sudah tidak dapat lagi menjaga keseimbangan dan keselarasan, maka akan sulit diharapkan terciptanya keharmonisan.  Dan pada saatnya, bencanalah yang akan terjadi.

Ketika manusia hanya mengedepankan nafsu amarahnya, atau selalu merasa tidak puas, atau grusa-grusu, tergesa-gesa, dapat dipastikan dia tidak dapat mengendalikan diri. Ketika manusia sudah tidak dapat mengendalikan dirinya, tindakan-tindakannya pun menjadi sekenanya, mejadi semena-mena. Karenanya diperlukan ketenangan. Amarah, rasa tidak puas dan ketergesa-gesaan, harus dapat dikendalikan dengan ketenangan. Ketenangan berpikir. Ketepatan berpikir. Ketepatan dan ketenangan dalam mengatur rencana dan melaksanakan tindakan. Manusia harus dapat menjaga telinga, mulut dan matanya. Menjaga nafasnya.  Menjaga segala tindakan-tindakannya.

Itulah konsep kosmologi Jawa. Konsep spritual hidup yang telah dijaga, diyakini dan dilestarikan secara turun temurun hingga sekarang. Konsep yang menuntun manusia agar dapat arif menjalani hidup ini sehingga segala bencana dapat dihindari. Baik bencana karena ulah tangan manusia, atau bencana karena ketidakseimbangan alam.

Baca juga artikel-artiekl menarik KBC-43 lainnya:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun