Mungkin puasa Ramadhan merupakan ibadah yang paling berat bagi umat Islam. Bagaimana tidak berat? Dari pagi hingga sore hari, kebutuhan-kebutuhan dasar untuk bertahan hidup: makan dan minum setidaknya, mesti ditahan kurang lebih dua belas jam atau sehari penuh.Â
Belum lagi pada malam hari, meski tidak diwajibkan sebagaimana menahan makan dan minum pada siang hari, pada malam harinya umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah seperti dengan melakukan shalat tarawih dan witir.Â
Dan hal ini mesti dijalani satu bulan penuh, dari awal hingga akhir Ramadhan. Maka wajar kiranya, jika Allah pun mengiringi perintah berpuasa, dengan janji-janji pahala yang begitu besar.Â
Segala amal dilipatgandakan pahalanya. Bahkan tidurnya orang yang sedang berpuasa, akan dihitung sebagai ibadah pula. Belum lagi bonus lailatul-qadar, yang bahkan disebutkan pahala beribadah pada malam lailatur-qadar lebih besar daripada pahala beribadah seribu bulan.
Namun, puasa Ramadhan bukanlah soal untuk mendapatkan segala pahala yang ada. Puasa Ramadhan adalah salah satu tahapan yang mesti dilalui untuk mencapai derajat ketakwaan. Puasa merupakan salah satu ujian ketakwaan. Karenanya, ibadah puasa Ramadhan, tidaklah diperuntukkan untuk semua orang.Â
Allah tidak menyeru puasa Ramadahan sebagaimana seruan untuk memakan makanan yang baik yang Ia sampaikan untuk seluruh umat manusia (Alquran 2:168). Puasa Ramadhan, Allah serukan hanya kepada orang-orang yang (telah) beriman. Karena hanya orang-orang yang telah mencapai level berimanlah yang dapat menjalankan ibadah puasa Ramadhan.Â
Takwa: Menjadi Hamba yang Patuh Sepenuhnya
Beriman berarti  (mau) mempercayai Allah, mempercayai apa yang ditetapkan oleh-Nya. Sedangkan takwa adalah posisi di mana manusia sebagai seorang yang beriman, dapat berserah diri sepenuhnya kepada Allah, menjalankan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.
Keimanan dan ketakwaan adalah persoalan bagaimana kita dapat menundukkan ego kemanusiaan kita terhadap-Nya. Di mana seringkali banyak hal yang (seperti) bertentangan dengan ego kita, dengan akal pikiran kita, namun saat itu kita mesti mempercayai dan menerimanya dengan sepenuhnya.Â
Beriman adalah mengakui bahwa ketidakmampuan kita menerima hal-hal yang tidak bisa diterima oleh akal kita, semata karena keterbatasan akal kita untuk memahami, untuk menerimanya. Bahwa di atas kebenaran akal kita, ada kebenaran hakiki yang tidak bisa kita bantah, yaitu ketetapan, perintah dan larangan-Nya yang telah termaktub dalam kitab suci-Nya ataupun disampaikan lewat para nabi dan rasul sebagai utusan-Nya.
Toh, bukan kemudian kita tidak bisa berbuat apa-apa. Justeru Allah memberikan akal kepada kita, agar kita mampu untuk terus berusaha memahami apa-apa yang tersampaikan kepada kita.Â
Akal adalah alat yang diberikan kepada kita untuk memahami perintah dan larangan-Nya, untuk menerjemahkan tanda-tanda yang Ia berikan baik di dalam kitab suci ataupun alam semesta ini demi kemaslahan kehidupan kita sendiri.Â
Akal merupakan sebuah anugerah yang harus dapat kita pertangungjawabkan pula. Bagaimana kita menggunakan dan mengelola akal kita dengan benar. Akal yang semestinya dapat tunduk kepada keimanan dan ketakwaan. Bukan sebaliknya.
Ketika manusia telah benar-benar dapat beriman dan bertakwa, sesungguhnya dia telah dapat memberi vaksin terhadap dirinya sendiri yang melindunginya dari egoisme yang seringkali mengekang dan membuatnya tidak nyaman, menghadirkan ketakutan-ketakutan.Â
Ketika kita tidak dapat menundukkan akal dan hawa nafsu kita, yang kita rasakan adalah keinginan-keinginan yang terus menerus dan tidak pernah ada habisnya.Â
Tak ada batas yang akan dapat kita capai. Semakin kita menemukan jawaban atas sesuatu dengan akal kita, semakin akal kita akan menyeret kita ke pertanyaan-pertanyaan, ke persoalan-persoalan lebih pelik berikutnya. Keimanan dan ketakwaan itulah semestinya batas yang kita miliki.
Keimanan dan ketakwaan akan menjadi counter dari segala apa yang kita lakukan, kita persepsikan dengan akal pikiran kita. Bukan sebaliknya.
Ibadah puasa Ramadhan memang dapat dijadikan latihan untuk menguji keimanan dan ketakwaan kita. Bagaimana kita mengendalikan akal dan ego kita, bagaimana kita mengendalikan keinginan-keinginan kita, untuk tunduk dan patuh terhadap-Nya.
Semoga kita termasuk orang yang beriman dan dapat menyelesaikan ibadah Ramadhan, dapat lulus dengan mencapai predikat takwa yang sebenar-benarnya. Amin.
Baca artikel-artikel KBC-43 menarik lainnya:
Belajar Menjaga Kepekaan Sosial dari "Nasi Anjing"
Cara Mengamankan Android, WhatsApp, dan Akun Media Sosial Kita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H