Dalam menghadapai suatu keadaan yang mengancam, seperti pandemi sekarang ini, kewaspadaan memang sangat diperlukan. Corona yang mengancam di mana-mana, memerlukan kewaspadaan, kehatian-hatian bagi kita agar kita tidak sampai terserang olehnya.
Bermacam-macam protokol telah disediakan dalam rangka kesiapsiagaan menghadapi ancaman corona. Dari protokol yang bersifat pribadi hingga berlaku untuk masyarakat luas.
Jika semua orang mau sadar dan mematuhi protokol-protokol yang ada, insya Allah, niscaya corona dapat segera sirna. Sayangnya, masih banyak orang yang mengabaikan protokol-protokol yang telah ditentukan atau justeru terus merasa waswas.Â
Tentang hal yang pertama, yaitu masih banyaknya orang yang tidak peduli dengan ancaman bahaya sebaran covid-19 yang disebabkan oleh virus corona, sudah jelas kiranya jika hal tersebut berimplikasi buruk terhadap protokol yang ada yang sebenarnya sudah dipatuhi dan dijalankan oleh orang-orang lainnya, hingga pada imbasnya sebaran covid-19 semakin meluas, dan protokol yang semula tidak terlalu ketat, mau tidak mau, lebih diketatkan, yang pada pelaksanaannya tentu semakin memberatkan semua orang. Â
Jika semula, ketika covid-19 belum begitu mewabah, semua orang mau patuh dan menahan diri untuk tidak berbuat semau gue, tentu keadaan tidak akan seburuk seperti sekarang. Tidak perlu adanya lockdown (atau apapun istilahnya) yang diberlakukan pemerintah. Hitungan 14 hari akan benar-benar efektif mencegah penyebaran covid-19. Namun, sekarang, jangankan 14 hari, entah berapa bulan lagi pandemi ini akan berakhir. Entah berapa lama lagi pemerintah akan melonggarkan kembali pembatasan-pembatasan yang ada.Â
Sebenarnya, kalau kita mau kaji kembali, protokol-protokol yang ada di awal-awal, yang masih bersifat ringan, bukanlah menutup ruang gerak bagi semua orang. Ketika corona baru mulai masuk ke Indonesia, sebenarnya yang dibatasi adalah hal-hal yang sekiranya dapat memicu kehadiran dan penyebarannya yang lebih banyak.Â
Seperti menghentikan atau menunda sementara kepergian ke luar negeri, atau membatasi diri, lebih berhati-hati dalam berinteraksi dengan orang-orang yang baru datang dari luar negeri. Sementara di lingkungan kita dianjurkan, ya, hanya dianjurkan, untuk lebih waspada menjaga diri dan lingkungan.Â
Namun, saat itu, banyak orang di Indonesia ini yang merasa sakti. Tak peduli bahaya yang mengancam, masih banyak pula yang bepergian sekedar plesiran ke luar negeri. Bahkan banyak yang mencibir dan mengolok-olok corona. Demikian terus berlangsung dengan tanpa kepedulian terhadap bahaya corona.Â
Hingga ancamannya tak dihiraukan. Sampai kemudian ia benar-benar melumpuhkan hampir semua aktifitas yang ada, dan memakan sekian banyak korban. Kantor-kantor, tempat-tempat usaha, tempat-tempat hiburan, tempat-tempat rekreasi, tempat-tempat berkesenian, bahkan pasar, supermarket dan tempat-tempat beribadah pun harus ditutup karenanya. Mudik pun dilarang. Bahkan, transportasi umum terancam dihentikan operasinya.
Sampai tulisan ini saya buat, setidaknya, dari data yang tercatat di laman Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Indonesia, covid19.go.id, sudah 6.760+185 kasus covid-19 yang terkonfirmasi, dengan 5.423 orang masih dalam perawatan, 747 orang dinyatakan sembuh dan 590 orang atau hampir 9% dari total kasus, yang sudah meninggal dunia.Â
Nasi sudah menjadi bubur. Dan mau tidak mau, kita harus mengikuti protokol-protokol yang ada, jika tidak mau corona akan terus merajalela.
Waswas
Tidak kalah buruknya dari pengabaian terhadap ancaman bahaya corona, sikap dan rasa waswas merupakan bahaya laten lain yang mengancam. Waswas yang nampak sebagai kewaspadaan tingkat tinggi, namun sebenarnya berbeda. Kewaspadaan akan menumbuhkan rasa aman, nyaman dan percaya diri. Sementara waswas cenderung menumbuhkan rasa negatif.Â
Misalnya saat hendak meninggalkan rumah untuk bepergian. Jika kita waspada atau berhati-hati, kita tentu akan memeriksa segala sesuatunya, seperti memastikan kompor tidak menyala dan pintu sudah terkunci rapat, "menitipkan" rumah kepada tetangga atau penjaga keamanan lingkungan, juga memastikan kendaraan dalam keadaan baik dan segala sesuatu yang akan kita perlukan dalam perjalanan sudah semuanya dibawa. Setelah itu pun kita akan merasa aman dan nyaman melakukan perjalanan.Â
Berbeda jika kita merasa waswas, meski kita sudah melakukan semua prosedur di atas, tetap kita akan merasa tidak nyaman dan aman meninggalkan rumah atau melakukan perjalanan. Kita dihantui oleh perasaan-perasaan yang negatif. Hingga kita menjadi takut dan mencurigai semua orang. Kita waswas kalau rumah kita dapat dirampok orang. Kita waswas kalau akan kekurangan sesuatu di perjalanan.
Dalam menghadapi pandemi sekarang ini, rasa waswas sebaiknya dibuang jauh-jauh dari hati kita. Karena rasa waswas inilah yang dulu membuat masker membumbung tinggi harganya bahkan hilang dari pasaran. Rasa waswas yang membuat orang menimbun barang. Rasa waswas yang membuat keharmonisan hubungan bertetangga, hubungan kekeluargaan, menjadi terancam.Â
Rasa waswas pula yang membuat perasaan dan pikiran kita terus bergejolak, membuat kita susah tidur, susah makan, hingga imunitas tubuh kita yang semestinya tetap terjaga, menjadi lemah yang pada kondisinya justru membahayakan bagi diri kita sendiri yang menjadi rentan dari serangan corona.
Bagi umat Islam, dalam Alquran surat Annas bahkan sudah diajarkan untuk selalu berdoa kepada Tuhan agar selalu dijaga dari kewaswasan di dalam dadanya.Â
Semoga kita selalu dapat waspada sekaligus dijauhkan dari rasa waswas. Semoga kita semua dapat segera melewati masa-masa sulit sekarang ini. Amin!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H