Mohon tunggu...
Usman Didi Khamdani
Usman Didi Khamdani Mohon Tunggu... Programmer - Menulislah dengan benar. Namun jika tulisan kita adalah hoaks belaka, lebih baik jangan menulis

Kompasianer Brebes | KBC-43

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dilema Belajar di Rumah

29 Maret 2020   07:00 Diperbarui: 29 Maret 2020   14:29 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu sektor yang paling terdampak dari adanya wabah COVID-19 saat ini adalah pendidikan. Bukan hanya di Indonesia, namun di semua negara yang terserang wabah, pemerintahnya mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan sementara proses kegiatan belajar-mengajar yang bersifat langsung baik di sekolah atau kampus. 

Di negara-negara yang telah didukung dengan sistem dan infrastruktur yang memadai, maka kegiatan belajar-mengajar dialihkan secara online dengan menyelenggarakan kelas online di mana guru atau dosen masih dapat saling bertatap muka secara virtual dengan para siswa atau mahasiswanya. 

Sementara di negara-negara yang belum sepenuhnya siap dengan penyelenggaraan kelas online, seperti di Indonesia, mau tidak mau para pendidik menyiasatinya dengan memberikan materi-materi pelajaran untuk dikerjakan anak-anak didiknya di rumah agar mereka tetap bisa menimba ilmu. Pelaksanaan kelas online hanya terbatas pada pendidikan tinggi, atau pada sekolah-sekolah elit atau internasional yang rata-rata dikelola oleh swasta.

Akses Internet

Meski kegiatan belajar-mengajar tidak dilakukan secara online, namun dalam pelaksanaanya, banyak materi atau tugas yang perlu diambil atau diperdalam oleh para siswa bersifat online alias melalui internet. 

Internet memang bukan sesuatu yang asing lagi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Dengan kecanggihan teknologi yang ada sekarang, akses internet dapat dilakukan tidak hanya melalui komputer atau laptop yang mungkin masih tergolong mewah namun juga perangkat lainnya seperti ponsel yang tentu banyak dimiliki. 

Toh, hal ini pun tidak serta merta membuat kegiatan belajar di rumah, yang memerlukan akses internet, menjadi mudah. Terutama di daerah-daerah pedesaan, pengetahuan dan kegaiatan orang-orang tentang internet pada ponsel biasanya hanya sebatas bersosialita: chatting, fesbukan, tik-tokan, dan kegiatan-kegiatan lain melalui sosial media. 

Rata-rata mereka tidak pernah bersentuhan dengan email di ponselnya, karena login ke media sosial pun hampir semua bisa dilakukan dengan menggunakan nomor ponsel. Googling dan browsing  pun sekedarnya saja, bahkan mungkin tidak pernah. Mereka lebih banyak mengakses internet melalui aplikasi. 

Padahal, email, googling dan browsing-lah yang biasanya sangat dibutukan untuk mendukung kegiatan belajar jarak jauh. 

Untuk mengakses email dan melakukan googling atapun browsing, biasanya mereka pergi ke warnet. Terutama karena di warnet bisa juga untuk melakukan penge-print-an data yang diperlukan, hal yang tidak bisa dilakukan di rumah karena ketiadaan mesin printer. Belum lagi jika ternyata ketersediaan ponsel di rumah terbatas, tidak dimiliki oleh semua anggota keluarga.

Pada kegiatan belajar jarak jauh sekarang ini, warnet ternyata masih merupakan tempat yang dirasa paling tepat bagi sebagian siswa untuk melaksanakannya. Seperti saat mereka mendapatkan PR dari sekolah sebelumnya. Dan seperti biasa, para siswa pun pergi ke warnet secara bersama-sama dengan teman-temannya yang lain. Selain untuk menghindari kejenuhan ngenet sendirian, dengan adanya teman-teman, dapat juga untuk saling berdiskusi tentang materi dan tugas yang dihadapi.

Hal yang semestinya tidak terjadi. Karena dengan demikian, dengan terus perginya anak-anak ke warnet untuk mengerjakan tugas dari sekolah, sama artinya dengan tetap menciptakan kerumunan. Bukankah yang sebenarnya menjadi dasar pelaksanaan kegiatan belajar di rumah itu sendiri adalah untuk menghindari terciptanya kerumunan dan atau interaksi dengan banyak orang di mana peluang penyebaran COVID-19 akan semakin besar?

Keterbatasan Waktu

Selain persoalan internet di atas yang lebih cenderung dialami oleh siswa sekolah menengah ke atas, kendala lain pada pelaksanaan belajar di rumah adalah keterbatasan waktu. Hal terakhir ini cenderung dialami oleh siswa sekolah dasar ke bawah.

Keterbatasan waktu di sini tentu bukan keterbatasan waktu yang dimiliki oleh siswa, namun keterbatasan waktu orang tua siswa yang berfungsi sebagai pembimbing atau pendamping. 

Jika di perkotaan, banyak juga orang tua yang tinggal di rumah di saat-saat sekarang ini dengan adanya kebijakan work from home atau WFH juga bagi mereka, sehingga sembari bekerja mereka bisa juga membantu anak dalam proses belajarnya di rumah, tidak demikian yang dialami oleh para orang tua yang ada di pedesaan.

Dengan rata-rata profesi yang dijalani di luar sektor perkantoran, dari pedagang hingga buruh yang rata-rata penghasilannya juga harian, di mana jika mereka tidak bekerja maka tidak ada penghasilan yang akan mereka dapatkan untuk menutupi kebutuhannya, waktu untuk membimbing atau mendampingi anak pun hampir tidak ada. Dan ini pun dialami juga oleh mereka yang ada di perkotaan yang tidak bisa melaksanakan WFH dan terpaksa tetap bekerja.

Tapi bukankah orangtua itu ada dua dan salah satunya biasanya tetap tinggal di rumah? 

Benar, biasanya mencari nafkah dilakukan oleh ayah sebagai penanggung jawab ekonomi keluarga dan ibu akan tetap tinggal di rumah. Namun, tidak kemudian berarti bahwa di rumah ibu pun mempunyai banyak waktu luang. Bahkan pekerjaan rumah yang dilakukan oleh ibu bisa membutuhkan waktu yang lebih banyak daripada waktu yang dibutuhkan oleh ayah untuk bekerja. 

Dengan adanya anak berkegiatan belajar di rumah, mau tidak mau, bisa tidak bisa ibu atau orang tua harus bisa membagi waktunya, karena pada prakteknya, ia harus menggantikan peran guru bagi anaknya selama jam belajar sekolahnya di rumah. 

Dari menerima materi dan tugas yang diberikan oleh guru melalui WhatsApp lalu menyampaikannya kepada anak yang mana ia pun harus selalu siaga, karena bisa jadi anak juga tidak atau kurang memahami materi dan tugas yang ada yang mesti dapat diterangkannya kembali atau dikonsultasikan kepada guru. Belum lagi selama kegiatan belajar di rumah, ia pun mesti merekam aktifitas si anak untuk kemudian dilaporkan kepada guru beserta hasil tugas atau pencapaian si anak.

Memang tidak semua guru atau sekolah menerapkan sistem seperti di atas dalam pelaksanaan belajar di rumah. Ada juga yang telah memberikan materi dan tugas yang akan dikerjakan anak selama belajar di rumah sebelumnya yang kemudian baru dikumpulkan atau dilaporkan nanti ketika telah masuk sekolah kembali. Namun, fungsi peran pengganti sebagai guru tetap dijalankan oleh orang tua. 

Terbatasnya Kuota Internet dan Ponsel yang Lemot

Harga kuota internet yang bagi sebagian orang masih cukup mahal, menjadi kendala pula dalam melaksanakan proses belajar di rumah. Jika biasanya kuota 2GB bisa digunakan untuk berinternet selama 1 bulan, maka sekarang kuota 2GB hanya cukup untuk 1 minggu atau beberapa hari saja. Belum lagi tidak semua orang juga bisa membeli ponsel yang ramah untuk berinternet secara cepat dan berlama-lama. Keterbatasan RAM dan memory internal menjadi kendala utama. Belum lagi sinyal internet yang kadang seperti lilin ditiup angin. 

Kedua kendala ini, tidak hanya dialami oleh para siswa dan orang tua, namun juga para guru. Dengan komunikasi yang semakin intens dengan para siswa dan orang tua, tentu dengan beban data yang mesti dikirim dan diterima secara bertubi-tubi, para guru pun sangat memerlukan kuota yang mencukupi dan jaringan internet yang lancar serta ponsel yang handal. 

Toh, mereka pun mengalami nasib yang sama. Bahkan ada guru yang sampai menghentikan penerimaan laporan kegiatan belajar siswa secara harian, ditangguhkan atau diganti dengan laporan manual yang akan diterima nanti saat kegiatan belajar di sekolah dilaksanakan kembali, dikarenakan ponselnya yang menjadi sering hang.

Merdeka Belajar

Tidak bermaksud mensyukuri musibah, namun saya rasa, keadaan sekarang ini, semestinya bisa menjadi waktu yang baik pula bagi para pengampu kebijakan pendidikan di negeri ini. Pelaksanaan belajar di rumah sekarang ini semestinya bisa menjadi simulasi untuk menguji sistem yang sedari awal Mas Nadiem menjadi menteri pendidikan kerap digaungkan, yaitu sistem pendidikan yang berpijak pada filosofi "merdeka belajar" di mana (proses) belajar semestinya bisa merdeka, baik merdeka bagi siswa maupun guru, tidak terkecuali, juga bagi orang tua.

Bagaimana sistem "merdeka belajar" itu, saya sendiri belum dapat menerka penerapannya nanti bakal seperti apa. Blended learning, seperti yang tertulis di situs LPMP DKI Jakarta--kemungkinan--menjadi model pembelajaran dalam sistem "merdeka belajar". Blended learning adalah model pembelajaran yang mengkombinasikan model pembelajaran tatap muka dengan model pembelajaran jarak jauh secara online. 

Di mana tujuan "merdeka belajar" itu sendiri adalah agar para guru, peserta didik, serta orang tua bisa mendapat suasana yang bahagia. "Merdeka belajar itu bahwa proses pendidikan  harus menciptakan suasana-suasana yang membahagiakan."

Benar, saat ini memang mungkin masih terlalu dini. Mungkin sistem yang ada baru sekedar rancangan atau bahkan wacana.

Apapun dan bagaimanapun, dari kenyataan yang tergambar di atas, bahwa pelaksanaan proses belajar di rumah saat ini, memang menyisakan dilema. Penerapan pembelajaran jarak jauh ternyata belum dapat dijalankan dengan optimal. 

Ya, dalam kondisi bencana sekarang ini yang siapapun tentu tidak pernah punya bayangan apalagi perencanaan terhadapnya, menuntut kesempurnaan pelaksanaan kebijakan tentu adalah hal yang tidak bijak. Namun, bahwa telah terjadi persoalan dan persoalan tersebut pun harus diselesaikan, tentu ini pun adalah realita yang tidak bisa tidak kita indahkan. Agar kesulitan yang sudah dialami karena wabah sekarang ini tidak bertambah dengan adanya persoalan baru lagi.  

Alih-alih memberikan solusi, jangan sampai penerapan sistem belajar di rumah justeru akan semakin menjadi beban baik bagi orang tua, siswa ataupun guru. Terlebih, jika pembelajaran jarak jauh memang akan benar-benar diterapkan kemudian sebagai salah satu model dalam sistem pendidikan kita. Saatnyalah sekarang segala kekurangan, baik sistem maupun infrastruktur, segera dibenahi. Salam!

Referensi:

Baca juga tulisan KBC-43 menarik lainnya:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun