Dupin tengah berbicara tidak padaku, sepertinya, tapi pada dirinya sendiri. Matanya yang dingin nampak hanya melihat apa yang ada di dalam pikirannya. Sekarang dia berhenti dan menatap tajam padaku. Matanya sekarang terang dan berbinar. Dan aku mengerti bahwa memakai daya nalarnya yang luarbiasa untuk mencari jawaban atas pembunuhan berdarah itu memberi Dupin kesenangan besar!
Mulanya aku hanya dapat mengingat ini. Lalu kukatakan, “Dupin, jendela-jendela itu ada di lantai empat, jauh di atas tanah. Meski jendela yang terbuka ...”
“Ya. Itu adalah pertanyaan yang menarik: bagaimana pmbunuh itu turun dari jendela ke tanah? Sekali lagi aku yakin betul pembunuh itu sungguh pergi melalui jendela itu, semuanya tidak begitu sulit diketahui. Dan jawaban atas pertanyaan ini mengungkapkan padaku lebih banyak lagi mengenai siapa pembunuh itu!
“Saat kau dan aku pertama kali mendatangi rumah di Rue Morgue itu kita berkeliling rumah. Pada saat itu aku temukan sebuah tiang besi tipis, panjang yang terjulur dari atap bangunan ke tanah—sebuah tiang penangkal petir, diletakkan di sana untuk mengantarkan ke tanah arus listrik yang mungkin terpercik dari awan selagi badai musim panas yang buruk. Di sinilah, aku pikir, jalan bagi seseorang untuk menaiki ataupun menuruni tembok, dan lalu masuk atau keluar jendela. Dia harus begitu kuat. Meski tentu binatang-binatang dapat dengan mudah menaiki tiang itu, tidak semua orang dapat melakukannya—hanya orang dengan tenaga sangat khusus dan latihan khusus. Ini lebih menjelaskanku seperti apa pembunuh itu. Tapi aku masih punya pertanyaan: siapa?” (bersambung ke bag. 5)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H