Mohon tunggu...
Usman Didi Khamdani
Usman Didi Khamdani Mohon Tunggu... Programmer - Menulislah dengan benar. Namun jika tulisan kita adalah hoaks belaka, lebih baik jangan menulis

Kompasianer Brebes | KBC-43

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kucing Hitam

7 Maret 2020   21:18 Diperbarui: 8 Maret 2020   15:33 1042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen: Edgar Allan Poe

BESOK AKU MATI. Besok aku mati, dan hari ini aku ingin mengabari dunia apa yang terjadi dan semoga itu membebaskan jiwaku dari kecemasan yang begitu menghimpit.

Dengar! Dengarlah, dan kau akan tahu betapa aku tersiksa.

Sewaktu kecil aku punya satu naluri alami yang menuntunku untuk mencintai hewan-hewan---segala jenis hewan, khususnya hewan-hewan yang kita sebut hewan-hewan piaraan, hewan-hewan yang belajar hidup bersama manusia dan menjaga rumahnya bersama-sama. 

Ada sesuatu dalam cinta kasih hewan-hewan itu yang mengajarkan pada hati manusia yang telah belajar dari pengalaman betapa tidak pasti dan berubah-ubahnya cinta kasih manusia itu.

Aku masih begitu muda saat menikah. Kau akan mengerti kesenangan apa yang kurasakan mendapati istriku peduli pada kecintaanku pada hewan-hewan. Segera diapun membawakan kami berbagai hewan piaraan dari jenis yang paling favorit. Kami punya burung-burung, beberapa ikan mas, seekor anjing bagus dan seekor kucing.

Kucing tersebut adalah seekor hewan yang cantik, berukuran luarbiasa dan begitu hitam. Aku menamai kucing itu Pluto, dan ia adalah hewan piaraan yang paling kusuka. Aku sendiri yang memberinya makan, dan ia mengikutiku ke seluruh penjuru rumah. Bahkan sulit untukku menghentikannya mengikutiku hingga ke jalan-jalan.

Siapa yang tidak pernah, sekian kali, mendapati dirinya berbuat salah, berbuat banyak hal jahat tanpa alasan apapun kecuali ia tahu ia keliru? Tidakkah kita manusia pada laju pusaran waktu, pernah tersesat melanggar aturan padahal kita tahu itu menjadi aturan?

Persahabatan kami berlangsung begitu akrab, hingga bertahun-tahun, meski, bagaimanapun, sifatku menjadi begitu berubah. Aku mulai begitu banyak minum anggur dan minuman-minuman keras lainnya. 

Seiring hari-hari berlalu sikapku berubah buruk; aku menjadi cepat marah; aku lupa bagaimana tersenyum dan tertawa. Istriku---ya, dan hewan-hewan piaraanku, juga, seluruhnya kecuali kucing itu---tertekan merasakan perubahan sifatku itu.

Suatu malam aku pulang begitu larut dari restoran, di mana aku sekarang melewatkan banyak dan banyak waktu untuk minum. Berjalan dengan langkah sempoyongan, aku berusaha keras mencapai rumah. Saat aku masuk aku melihat---atau kupikir aku melihat---Pluto, kucing itu, berusaha menyingkir dari jalanku, menghindariku. 

Perbuatan ini, oleh seekor hewan yang kupikir masih mencintaiku, membuatku marah tanpa alasan. Jiwaku serasa melayang dari tubuhku. Aku mengambil sebuah pisau kecil dari mantelku dan membukanya. Lalu aku raih leher hewan malang itu dan dengan satu gerakan cepat aku congkel satu matanya yang penuh ketakutan!

Perlahan kucing itu menjauh. Lubang bekas matanya itu menjadi sesuatu yang tidak cantik untuk dipandang, sungguh; tapi kucing itupun tak lama nampak menderita kesakitan. Mestinya, tentu ia lari menjauhiku ketakutan saat aku mendekat. 

Kenapa ia tak lari? Ini membuatku sulit untuk marah. Aku merasakan tumbuh dalam diriku satu perasaan baru. Siapa yang tidak pernah, sekian kali, mendapati dirinya berbuat salah, berbuat banyak hal jahat tanpa alasan apapun kecuali ia tahu ia keliru? Tidakkah kita manusia pada laju pusaran waktu, pernah tersesat melanggar aturan padahal kita tahu itu menjadi aturan?

Suatu hari, dalam kebekuan hati, aku kalungkan sebuah rantai yang keras ke leher kucing itu, dan kuseret ia ke gudang di bawah rumah. Kugantung ia pada salah satu tiang kayu di atas kepalaku. Aku mengantungnya di sana sampai ia tewas. 

Aku mengantungnya di sana dengan tangisan di mata, aku menggantungnya sebab kutahu dia mencintaiku, sebab aku marasa dia tidak memberiku alasan untuk melukainya, sebab kutahu perbuatanku sungguh sebuah kesalahan yang sangat besar, sebuah dosa yang begitu biadab yang akan menempatkan jiwaku selamanya di luar jangkauan kasih Tuhan!

Malamnya, saat kuberanjak tidur, aku dengar lewat jendelaku yang terbuka jeritan tetangga-tetanggaku. Aku melompat dari tempat tidur dan mendapati seluruh bagian rumah dipenuhi api. Dengan begitu susah payah istriku dan aku menyelamatkan diri. 

Dan saat kami sampai di luar rumah, yang dapat kami lakukan hanyalah berdiri dan menyaksikannya terbakar ambruk ke tanah. Aku teringat kucing itu saat menyaksikannya terbakar, kucing yang mayatnya kutinggalkan menggantung di gudang. Nampaknya kucing itulah yang berada di balik misteri terbakarnya rumah sebagai tebusanku atas perbuatan jahatku, sebagai balas dendamnya terhadapku.

Bulan-bulan lewat, dan aku tidak dapat menyingkirkan pikiran tentang kucing itu dari ingatanku. Suatu malam aku duduk di restoran, minum, seperti biasa. Di pojokan aku lihat sesosok kelam yang tidak aku lihat sebelumnya. 

Aku mendekat untuk melihat apa itu pastinya. Itu adalah seekor kucing, seekor kucing yang hampir sangat mirip Pluto. Aku menyentuhnya dengan tanganku dan membelainya, membelaikan tanganku dengan lembut di sepanjang punggungnya. Kucing itu bangkit dan menepiskan punggungnya dari tanganku.

Tiba-tiba kusadari bahwa aku menginginkan kucing itu. Aku menawarkan untuk membelinya pada penjaga restoran, tapi dia menyatakan dia tidak pernah melihat hewan itu sebelumnya. Saat kutinggalkan restoran, ia mengikutiku, dan kubiarkan ia melakukannya. Iapun menjadi hewan piaraan istriku dan diriku.

Paginya setelah aku membawanya pulang, bagaimanapun, aku mendapati kucing itu, mirip Pluto, punya hanya satu mata. Bagaimana mungkin aku tidak memperhatikan ini semalam? Kenyataan ini justeru membuat istriku semakin menyayangi kucing itu. Tapi aku, sendiri, menjadi merasa benci. Tapi kebencianku terhadap hewan itu justeru seperti menambah kecintannya padaku. 

Ia mengikutiku, mengikutiku kemanapun, selalu. Saat aku duduk, ia merebahkan diri di bawah kursiku. Saat aku bangun ia menyelinap ke kakiku dan hampir membuatku jatuh. Kemanapun aku pergi, ia selalu mengikuti. Saat malam aku memimpikannya. Dan akupun mulai membenci kucing itu!

Suatu hari istriku memanggilku dari gudang bawah tanah bekas rumah di mana kami sekarang terpaksa tinggal. Saat aku menuruni tangga, kucing itu, mengikutiku seperti biasa, berlari-lari di bawah kakiku dan hampir membuatku jatuh.

Dalam kemarahan yang tiba-tiba, aku ambil sebuah pisau dan menyerang dengan ganas kucing itu. Dengan cepat istriku menjulurkan tangannya dan mencekal tanganku. Ini hanya menambah kemarahanku dan, tanpa berpikir, aku turun dan menusukkan mata pisau ke jantungnya! Dia jatuh ke lantai dan tewas tanpa suara.

Aku habiskan beberapa saat mencari-cari kucing itu, tapi ia telah lenyap. Dan aku masih punya hal-hal lain untuk dikerjakan, yang kutahu aku harus melakukan sesuatu dengan mayat itu, dan segera. 

Tiba-tiba aku teringat sebuah tempat dekat dinding batu di gudang di mana dinding itu sengaja dibangun untuk menutupinya, sebuah tungku perapian yang tidak lagi terpakai. Bagian dinding itu tidak begitu kuat dibangun, dan akupun dapat dengan mudah meruntuhkan batu-batu itu. 

Di sebaliknya terdapat, seingatku di sana seharusnya, sebuah lubang yang cukup besar untuk memasukkan tubuh. Dengan susah payah aku masukkan mayat itu dan dengan hati-hati mengembalikan batu-batu itu ke tempatnya. Aku senang melihat sangat mustahil bagi siapapun untuk mengetahui batu-batu itu pernah berpindah entah satupun.

Hari-hari berlalu. Masih juga tak ada kucing. Beberapa orang datang dan menanyakan tentang istriku; tapi aku meladeninya ringan. Hingga suatu hari beberapa petugas kepolisian datang. Yakin mereka tidak dapat menemukan apa-apa, aku menyilakan mereka masuk dan mengiringi mereka menyelidiki.

Terakhir mereka memeriksa gudang bawah tanah itu sudut demi sudut. Aku memperhatikan mereka dengan tenang, dan, seperti yang kuduga, mereka tak melihat apa-apa. Tapi saat mereka beranjak menaiki tangga kembali, aku merasakan diriku digerakkan oleh suatu kekuatan entah apa dari dalam diri untuk memberitahu mereka, untuk membuat mereka tahu, aku telah memenangkan pertempuran.

"Dinding-dinding bangunan ini," kataku, "begitu kokoh dibangun; sebuah rumah tua yang bagus." Dan seraya berkata aku tunjuk dengan tongkatku dinding itu di mana di sebaliknya berada mayat istriku. Tiba-tiba kurasakan hawa dingin mengitari tengkukku saat kami dengar keluar dari dinding itu sebuah tangisan menyayat.

Untuk sejenak petugas-petugas itu diam saling pandang. Lalu segera mereka mulai membongkar batu-batu itu, dan dalam waktu singkat mereka melihat di hadapan mereka mayat istriku, hitam oleh darah kering dan berbau busuk. Pada kepala mayat, yang satu matanya penuh dengan api, yang mulutnya lebar menganga berlumuran darah, duduk kucing itu, meraungkan dendamnya!

* dialihbahasakan dari The Black Cat, sebuah cerita dalam booklet antologi cerita Edgar Allan Poe: Storyteller yang diterbitkan oleh radio Voice of America

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun