Suatu hari istriku memanggilku dari gudang bawah tanah bekas rumah di mana kami sekarang terpaksa tinggal. Saat aku menuruni tangga, kucing itu, mengikutiku seperti biasa, berlari-lari di bawah kakiku dan hampir membuatku jatuh.
Dalam kemarahan yang tiba-tiba, aku ambil sebuah pisau dan menyerang dengan ganas kucing itu. Dengan cepat istriku menjulurkan tangannya dan mencekal tanganku. Ini hanya menambah kemarahanku dan, tanpa berpikir, aku turun dan menusukkan mata pisau ke jantungnya! Dia jatuh ke lantai dan tewas tanpa suara.
Aku habiskan beberapa saat mencari-cari kucing itu, tapi ia telah lenyap. Dan aku masih punya hal-hal lain untuk dikerjakan, yang kutahu aku harus melakukan sesuatu dengan mayat itu, dan segera.Â
Tiba-tiba aku teringat sebuah tempat dekat dinding batu di gudang di mana dinding itu sengaja dibangun untuk menutupinya, sebuah tungku perapian yang tidak lagi terpakai. Bagian dinding itu tidak begitu kuat dibangun, dan akupun dapat dengan mudah meruntuhkan batu-batu itu.Â
Di sebaliknya terdapat, seingatku di sana seharusnya, sebuah lubang yang cukup besar untuk memasukkan tubuh. Dengan susah payah aku masukkan mayat itu dan dengan hati-hati mengembalikan batu-batu itu ke tempatnya. Aku senang melihat sangat mustahil bagi siapapun untuk mengetahui batu-batu itu pernah berpindah entah satupun.
Hari-hari berlalu. Masih juga tak ada kucing. Beberapa orang datang dan menanyakan tentang istriku; tapi aku meladeninya ringan. Hingga suatu hari beberapa petugas kepolisian datang. Yakin mereka tidak dapat menemukan apa-apa, aku menyilakan mereka masuk dan mengiringi mereka menyelidiki.
Terakhir mereka memeriksa gudang bawah tanah itu sudut demi sudut. Aku memperhatikan mereka dengan tenang, dan, seperti yang kuduga, mereka tak melihat apa-apa. Tapi saat mereka beranjak menaiki tangga kembali, aku merasakan diriku digerakkan oleh suatu kekuatan entah apa dari dalam diri untuk memberitahu mereka, untuk membuat mereka tahu, aku telah memenangkan pertempuran.
"Dinding-dinding bangunan ini," kataku, "begitu kokoh dibangun; sebuah rumah tua yang bagus." Dan seraya berkata aku tunjuk dengan tongkatku dinding itu di mana di sebaliknya berada mayat istriku. Tiba-tiba kurasakan hawa dingin mengitari tengkukku saat kami dengar keluar dari dinding itu sebuah tangisan menyayat.
Untuk sejenak petugas-petugas itu diam saling pandang. Lalu segera mereka mulai membongkar batu-batu itu, dan dalam waktu singkat mereka melihat di hadapan mereka mayat istriku, hitam oleh darah kering dan berbau busuk. Pada kepala mayat, yang satu matanya penuh dengan api, yang mulutnya lebar menganga berlumuran darah, duduk kucing itu, meraungkan dendamnya!
* dialihbahasakan dari The Black Cat, sebuah cerita dalam booklet antologi cerita Edgar Allan Poe: Storyteller yang diterbitkan oleh radio Voice of America
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H