Sampai saat ini, saya masih tidak bisa setuju dengan pemikiran dan perhitungan adanya gaji ke-13. Bukan berarti karena sebagai karyawan (swasta) saya tidak pernah mendapatkan gaji ke-13, karena di perusahaan tempat saya bekerja memang tidak mengeluarkan gaji ke-13. Ketidaksetujuan saya, karena memang perhitungan gaji ke-13, menurut saya tidak fair adanya. Secara kasat mata, perhitungan gaji ke-13 memang dapat diterima adanya. Di mana kalkulasinya adalah, misalkan gaji yang diterima dalam 1 bulan adalah Rp 3 juta. Asumsi 1 bulan adalah 4 minggu. Jadi, gaji 1 minggu = Rp 3 juta dibagi 4, yaitu Rp 750 ribu. Dalam 1 tahun kita bekerja 12 bulan, artinya kita dibayar 12 x Rp 3 juta, atau Rp 36 juta. Sementara perhitungan minggu dalam 1 tahun ada 52 kali. Artinya, dalam 1 tahun kita semestinya dibayar 52 x Rp 750 ribu, atau Rp 39 juta. Jadi, ada selisih Rp 3 juta (setara dengan gaji 1 bulan) yang belum dan mesti dibayar sebagai gaji ke-13. Ada 2 alasan pokok mengapa saya tidak setuju dengan perhitungan gaji ke-13 di atas. Pertama, sebagai karyawan atau pegawai dengan perjanjian gaji dibayar bulanan, itu sama seperti kita membayar internet dengan cara kita mengambil paket. Misalnya kita mengambil paket volume intenet 2 GB per bulan seharga Rp 50 ribu, maka habis atau lebih jatah volume sebesar 2 GB kita selama 1 bulan, kita mesti membayar Rp 50 ribu. Jika lebih, biasanya akan "hangus" dengan sendirinya seiring masa aktif pemakaian internetnya berakhir. Atau, jika mengambil paket yang unlimitted Rp 150 ribu per bulan, maka sedikit atau banyak pemakaian volume internet kita, kita mesti membayar Rp 150 ribu. Beda jika kita membayar internet secara "eceran". Maka untuk pemakaian volume sebesar 100 MB dengan untuk pemakaian 1 GB, tentu akan berbeda pembayarannya. Jadi, karena perjanjian gaji yang kita terima adalah bulanan, maka semestinya tidak masalah apakah dalam satu bulan itu ada 4 minggu atau ada 4 1/2 minggu atau bahkan ada 5 minggu masa kerja. Gaji kita dihitung secara bulanan, bukan mingguan atau harian. Gaji kita dihitung secara paket, bukan eceran. Kedua, okelah kalau masih ngotot mau menghitung valid masa kerja kita selama satu 1 tahun. Maka semestinya kita jangan menghitungnya berdasarkan minggu, tapi hari, atau bahkan jam. Ambil simpel hitung berdasarkan hari. Masih dengan contoh gaji 1 bulan Rp 3 juta. Jika asumsi 1 bulan sama dengan 30 hari dengan masa efektif kerja 26 hari (6 hari kerja per minggu; 1 minggu = 7 hari), maka gaji 1 hari = Rp 3 juta dibagi 26, yaitu Rp 115.385. Gaji yang kita terima selama 1 tahun adalah Rp 36 juta atau setara untuk gaji selama 312 hari kerja. Nah, silahkan buka kalender. Hitung masa kerja kita yang sebenarnya selama 1 tahun setelah dikurangi libur mingguan + libur tanggal merah + libur cuti + libur-libur lainnya. Adakah jumlah hari masuk kerja kita ada 312 hari? Manakah yang benar? Kekurangan atau kelebihan penerimaan gaji? Atau telah impas? Dengan kedua alasan di atas, bagi saya, maka tuntutan dan pemberian gaji ke-13 terhadap pejabat-pejabat dan pegawai-pegawai negeri yang dibayar dengan anggaran pendapatan negara yang salah satu sumbernya adalah pajak dari rakyat, jelas kurang jelas adanya alias hanya mengada-ada. Dasar penghitungan gaji ke-13 di atas bagi saya, hanya memperhitungkan 1 variabel, yaitu waktu (dalam hal ini minggu), tanpa memperhitungan variabel lainnya yaitu libur dan cuti. Lain halnya dengan THR yang jelas-jelas difungsikan untuk memberikan tunjangan atas pengeluaran ekstra di masa hari raya. Mbok yo, kalau memang mau memberikan tunjangan lebih, cari alasan yang lebih normatif dan bisa dipertangungjawabkan adanya. Kalau memang dengan gaji yang telah diberikan dirasa kurang, ya naikkan saja jumlah per bulannya. Bukan dengan pemberian gaji ke-13 dengan perhitungan seperti di atas, yang jelas-jelas itu keliru dan terkesan hanya menghambur-hamburkan uang negara. Bagaimana menurut Anda? Atau, jangan-jangan dasar pemberian gaji ke-13 tidak seperti yang saya sebutkan di atas? So, what? Monggo yang mau berkomentar dan atau meluruskan ... Ralat dan Tambahan: Setelah melalui serangkaian diskusi dengan beberapa teman di halaman Facebook saya tentang opini di atas, ada beberapa ralat dan tambahan yang kiranya perlu saya sampaikan. Bahwa apa yang menjadi dasar atau argumentasi pemberian Gaji ke-13 oleh Pemerintah, bukanlah kalkulasi kuantitatif sebagaimana saya paparkan pada awal tulisan di atas, namun, seperti saya duga juga dan saya sampaikan di akhir tulisan, Gaji ke-13 tersebut adalah sebagai subsidi atau tunjangan untuk "meningkatkan kesejahteraan Pegawai Negeri, Pejabat Negara, dan Penerima Pensiun/Tunjangan" sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2010. Namun, bahwa opini tentang kalkulasi kuantitatif tentang Gaji ke-13 atau yang oleh sebagian orang yang bekerja di sektor swasta disebut dengan THR, memang telah ada dan berkembang di masyarakat kita. Saya bukanlah orang yang berada pada posisi yang mengeluarkan atau mempunyai wewenang atau kebijakan untuk menentukan gaji atau THR atau semacamnya, namun, seperti saya sebut di awal tulisan, saya pun seorang karyawan dengan posisi penerima. Namun, tentang kebijakan THR, saya tetap menghargai bahwa itu merupakan pendapatan yang diterima karyawan atau pegawai murni di luar gaji. Seperti namanya, THR tetap merupakan tunjangan. Sehingga, jika ada yang ngotot tetap harus menerima THR karena itu sebenarnya gaji atau haknya yang "terlewat" berdasarkan kalkulasi kuantitatif di atas, saya tetap tidak setuju. Jika THR disebut sebagai hak kita sebagai karyawan, ya saya setuju, tapi dalam argumentasi bahwa perusahaan memang mempunyai kewajiban untuk memberikan kelayakan bagi para karyawannya, termasuk kelayakan dalam merayakan hari raya. Kembali ke soal Gaji ke-13 yang dikeluarkan Pemerintah, terlepas dari argumentasinya, maka penyebutan istilah "Gaji ke-13" tetap dirasa tidak normatif dengan kaidah kebahasaan yang ada. Disebutkan dalam KBBI, yang disebut gaji adalah 1 upah kerja yg dibayar dalam waktu yang tetap; 2 balas jasa yang diterima pekerja dalam bentuk uang berdasarkan waktu tertentu. Jadi, gaji mesti merujuk pada suatu kurun atau waktu tertentu di mana seorang pekerja bekerja. Jika gaji ke-1 merujuk pada gaji untuk bulan pertama dalam tahun berjalan (bisa Januari, Juli atau bulan yang ditentukan sebagai bulan pertama), dan gaji ke-12 adalah merujuk pada gaji untuk bulan yang kedua belasnya, maka gaji ke-13 ...? Lebih arif jika penyebutan gaji ke-13 adalah menggunakan istilah tunjangan atau bonus atau subsidi sebagaimana sifatnya yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah tersebut (seperti halnya THR atau bonus akhir tahun atau tunjangan kesehatan, tunjangan keluarga ..). Karena ini tentu tidak terkesan mengada-ada. Karena memang demikian adanya. Gaji punya persyaratan. Sedangkan bonus, tunjangan atau subsidi bisa bersifat cuma-cuma. Kalau gaji yang diberikan secara cuma-cuma bukankah itu namanya gaji buta?Sebenarnya yang mau saya garisbawahi dari opini di atas adalah tentang kebijakan yang semestinya rasional. Bukan saya tidak setuju dengan itikad pemerintah untuk menyejahterakan jajaran dan atau pegawainya. Saya malah senang jika gaji atau pendapatan yang diterima oleh pejabat atau pegawai negeri bisa mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya, karena memang semestinya demikian. Karena penyebutan dan pengistilahan sesuatu bisa berdampak pada definisi dan pengertian yang berbeda. Seperti "gaji" atau "bulan ke tiga belas". Yang pada satu sisi, akan menimbulkan kecurigaan-kecurigaan yang semestinya tidak akan terjadi jika penggunaan istilahnya tidak rancu atau keliru. Gaji ke-13 akan menimbulkan pengertian gaji yang diberikan untuk pekerjaan yang dilakukan pada bulan yang ke-13. Berbeda jika istilahnya (seperti) Gaji Tambahan Tahunan 2011, atau Tunjangan Pendapatan Tahunan 2011.Tapi, ngomong-ngomong, apa memang benar-benar diperlukan juga adanya "Gaji ke-13" tersebut? Apakah gaji reguler + segala macam tunjangan yang diterima setiap bulannya, benar-benar belum mencukupi, terutama buat para pejabat negara? ;)Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI