Pukul 06.48.
Salma mempercepat laju motornya. Kini motor menyusuri jalan Siti Armilah. Di belakang SMPN 3 Majalengka gadis itu membelokkan motornya. Menanti jalan sepi, ia kembali memacu motornya. Namun begitu hampir sampai di depan gerbang timur ia melihat mobil pembawa teman sekelasnya yang akan melaksanakan uji limbah di aliran sungai dekat rumah sakit sudah sampai di depan kantor Bimbel GO.
Gadis itu sedikit panik, jika ia haus berputar di jalur yang semestinya ia merasa terlalu lama. Dalam waktu seperempat sekon ia memutuskan  untuk turun dari motornya. Ketika Salma menoleh, ternyata di belakangnya tampak Haris juga behenti. Anak itu hanya sekitar satu meter di belakangnya.
"Haris! Tolong dong! Tolong ya!" kata Salma seraya menyerahkan kunci kontak motor.
"Sal?! Ini apa maksudnya."
"Tolong masukin motorku."
"Kan aku bawa motor."
"Kamu masuk dulu, ntar kamu balik lagi terus bawa motorku ke parkiran."
"Kenapa nggak sendiri Sal?"
"Sudahlah ... aku buru-buru... please yah! Tuuuh teman-temanku sudah siap jalan!" kata gadis itu seraya menunjuk tiga buah mobil elf yang sudah mulai berjalan.
"Tapi Sal!"
"Ris! Tenang... ntar aku traktir!"
Tak menunggu jawaban lagi dari Haris, Salma menyebarangi jalan raya kemudian berlari-lari kecil mengejar mobil yang mulai bergerak perlahan. Haris hanya bisa menggelengkan kepala, kemudian melihat kunci kontak motor Salma yang digenggamnya.
Pukul 15.00 , sekolah.
Anak-anak MIPA 5 sudah pulang dari praktek lapangan untuk wawancara dengan penduduk di sekitar aliran sungai, juga mengambil sampel air yang tercemar untuk di teliti.
Salma usai menjalankan shalat 'Ashar. Bersama Helga sahabatnya, mereka bergegas melintasi lapangan upacara untuk menghindari basah karena gerimis mulai turun. Sampai di depan kelas Helga masuk untuk mengambil tas, sementara Salma langsung menuju ke parkiran motor. Mata gadis itu melihat berkeliling. Motor yang tinggal beberapa buah itu tak ada satupun miliknya. Gadis itu menggeleng. Ia bergegas ke kelas.
"Kamu ketitipan kontak motor Hel?"
"Ooo ... yang tadi pagi sama Haris?"
"Iya."
"Tuh ada di mejamu!" kata Helga sambil menunjuk kontak motor di mejanya.
"Lho? Kok?!"
"Apa Sal?"
"Ini bukan kontak motorku."
"Motor siapa? Haris?"
Belum habis perbincangan, ada notifikasi WA masuk. Haris! Gumam Salma.
"Titip motorku ya Sal, motormu aku bawa. Besok aku kembalikan!"
"Iiih awas kamu Ris! Aku laporin kamu ke polisi!"
"Haha! Ayahku kan polisi Sal! Aku sudah lapor!"
Salma kesal. Ia baru sadar, bahwa ayah Haris memang polisi. Salma menutup HP-nya. Ia benar-benar kesal. Dengan muka cemberut ia mengambil kontak yang tergeletak di meja. Tak urung beberapa saat kemudian gadis itu telah menaiki motor Haris meninggalkan area sekolah.
Sampai di rumah seisi rumah heran. Semua menanyakan duduk perkara ia memakai motor orang lain. Dengan penuh emosi gadis itu menerangkan duduk perkaranya. Yang mendengarkan keterangan tak urung menanyakan yang lain hubungan antara dirinya dengan Haris.
Usai menjawab pertanyaan anggota keluarga, Salma mengirim WA ke Haris.
"Menyebalkan Ris! Aku disidang tahu!"
"Ya maafkan aku Sal, ntar kamu aku traktir deh! Tadi pagi kamu janji traktir, nanti kita saling nraktir ya!"
"Uuuh sebel!"
"Aku tunggu Sal."
"Tahu ah!"
***
Keesokan hari di area parkir.
Salma mendesah dalam. Di sana telah ada Haris yang sedang duduk menyandar di jok motor. Demi melihat Salma datang, Haris tersenyum. Salma diam sambil menytandar motor.
"Ini kuncimu! Mana punyaku?!" tanya Salma ketus sambil menyodorkan kontak. Haris menerimanya.
"Ini kontaknya. Emm.... kenapa marah Sal? Jangan ketus laaah....."
"Kenapa sih pakai nukar-nukar motor?"
"Mau tahu alasannya?"
"Apa?"
"Aku pengen nyuci motormu. Motornya gadis cantik."
"Nyuci motor? Iiiiiihhh!"
"Iya ... nyuci, salah gitu Sal? Motormu sekarang sudah kinclong! Itu aku yang nyuci .... Sebab kemarin kan Salma tahu sendiri kan, hujan. Motor kotor ...." kata Haris seraya melirik ke arah motornya sendiri.
Salma terhenyak. Ia melihat motor sendiri sudah bersih mengkilat, sementara motor Haris yang kemarin ia pakai masih penuh lumpur. Gadis itu menggeleng.
"Kamu pengen aku nyuci motormu?" tanya Salma sambil bersandar di motornya.
"Nggak, nggaaak! Jangan ... nggak lucu cewek nyuci motor!"
"Terima kasih!" kata Salma sambil bergegas meninggalkan Haris.
"Sal! Tunggu sebentar .... swear!"
"Apa?" tanya Salma berbalik.
"Kamu masih punya utang!"
"Apa?"
"Nraktir aku!"
"Nggak! Sudah impas!" kata Salma kembali berbalik meninggalkan Haris.
Bruk! Aaaa...!
Salma tak menyadari ketika berbalik ada orang di belakangnya. Gadis itu telah menubruknya. Seorang anak laki-laki terlanggar dirinya, motor yang dipegangnya jatuh. Salma kaget bukan kepalang. Wajahnya pucat dengan rasa bersalah yang besar. Secara refleks ia memegang stang motor kemudian mencoba menariknya.
"Sss... sudah, nggak usah De ... berat!" kata anak laki-laki itu. Salma mengenalnya. Dia anak kelas XII ketua OSIS.
"Maaf ya .... maaf" kata Salma meminta maaf.
"Iya nggak apa-apa." anak laki-laki membetulkan posisi motor yang sekarang sudah berdiri kembali. Sementara Haris hanya melihat dengan diam.
"Maaf, boleh parkir di sini ya?" kata anak laki-kali itu meminta ijin untuk memarkir motornya di antara motor Haris dan motor Salma.
"Iya, silakan... " kembali Salma yang menjawab.
"Maaf sudah mengganggu kalian berdua."
"Aaah enggak ..."
"Terima kasih." katanya sambil pergi berbalik meninggalkan keduanya.
Salma melihat anak laki-laki yang pergi. Melihat Salma melihat anak itu dengan pandangan terpana, Haris berdeham. Salma menoleh.
"Sal ....."
"Eh, iya .... Apa?"
"Jangan lama-lama melihat Ketua OSIS kita."
"Iiiih siapa juga yang ngeliatin lama-lama!"
"Aaah .... sudahlah. Ayolah ke kelas, urusan nraktir aku nanti saja!" ajak Haris.
Salma diam, namun ia kemudian meninggalkan parkiran. Sebelum itu, dengan sengaja sambil berjalan meraba jok motor sang Ketua OSIS.
Kak Arvino ...... ! Kata Salma dalam hati.
***
Bel akhir pulang sekolah.
Salma mendekat ke jendela kelas. Dari situ ia melihat ke arah ruang satpam yang berjejeran dengan pintu keluar parkiran motor. Perhitungannya tepat. Beberapa saat yang lalu ia melihat Haris lewat di depan kelasnya, dan ia menduga tak berapa lama anak itu bakalan keluar. Dugaannya tepat. Ia melihat Haris melajukan motornya. Melihat anak itu sudah meninggalkan halaman sekolah, Salma bergegas keluar menuju parkiran motor.
Ketika memasuki area parkir, Salma berdebar. Dari arah utara ia melihat Arvino sedang menuju ke motornya. Yang membuat dirinya tak menentu adalah motornya bersebelahan. Ketika keduanya telah berdekatan, anak laki-laki itu memakai helm-nya.
"Hallo De...." tanyanya sambil duduk di jok motornya.
"Eh iya."
"Mau pulang?"
"Iya. Kakak biasanya pulang sore."
"Apa De?"
"Oh enggak .... Emm maaf, tadi aku ngomong apa ya?"
Salma benar-benar kaget ketika tak sadar meluncur kalimat itu dari bibirnya. Wajah Salma memerah menahan malu. Ia melihat sekilas anak lakai-laki di depannya tersenyum.
"Hari ini pengen rest, jadi nggak pulang sore. Baru nanti Sabtu sore, ada rapat persiapan pemilihan MT dan personal lainnya. OSIS lama harus lengser. Ini sudah terlambat sedikit. Usai UAS ada pelantikan pengurus baru."
"Oooo....."
Gadis itu tampak seperti kena hipnotis mendengar kalimat yang cukup panjang dari Arvino. Ia benar-benar seperti terpaku tak bisa berbuat apa-apa untuk memecah kebuntuan pikirannya.
"Salma Ghaisani ...." tiba-tiba Arvino memanggil dirinya sambil tersenyum.
"Kak Arvi tahu nama saya?" Salma kaget bukan main. Wajahnya berbinar-binar.
"Hehee....." Arvino tertawa tertahan.
"Dari mana Kak Arvi tahu?" tanya Salma dengan perasaan berbunga-bunga.
"Kan ada label nama di bajumu!"
"Och!"
Gadis itu menutup wajahnya menahan malu. Hingga beberapa lama Salma tak berani membuka wajahnya. Di depannya Arvino yang semula tersenyum, kini menggeleng. Ia tahu gadis di depannya sedang didera rasa malu yang cukup dalam.
"De Salma ..... sudah ..... sudah... nggak apa-apa."
"Enggak..." kata Salma yang kini wajahnya ditelungkupkan di jok motornya.
"Aku nggak apa-apa kok."
"Enggak, malu."
"Ya, ya sudah.. ini klarifikasi, atau lebih tepatnya dugaan. De Salma tahu namaku karena aku ketua OSIS. Ketua OSIS memang cukup dikenal seluruh siswa. Maklum. Anak-anak OSIS juga secara umum dikenal oleh yang lain. Maaf, omonganku kok jadi resmi gini."
"Salma ....."
"Ya..." kata Salma sambil masih menelungkupkan wajahnya di jok motor.
"Aku duluan."
"Ya."
"Lihat sini doong."
"Enggak."
"Oke kalau begitu aku duluan. Tapi ingat De, sepertinya aku pernah punya foto-foto kegiatan Sinergi OSIS Netima - Nesama. Di sana ada De Salma kan? "Aku punya fotomu lho!
"Apa?!" kini Salma kaget mendengar kalimat Arvino. Ia bangkit dari telungkupnya.
"Naaah.. gitu .... Alhamdulillah .... De ...."
"Mmmm Netima - Nesama?"
"Kenapa nggak jadi pengurus OSIS lagi di SMA?"
"Nggak ngerti? Kakak tahu tentang aku?"
"Tentang SMPN 3 Majalengka, Netima, dan partnernya SMP Negeri 1 Majalengka, Nesama."
"Ooo..."
"Dulu aku Ketua OSIS Nesama, sementara itu, di periode yang bersamaan, Netima dikomandoi Faisal Ali."
"Oooo benar, Kak Faisal XII MIPA 6."
"Iya MIPA 6. Dia adalah mitraku sejak SMP."
"Ooooo..."
"Dan yang paling menarik hari ini, gadis di depanku ini adalah salah satu anak buah Faisal Ali. Iya kan?"
"Kaaak? Jadi?"
Assalaamu'alaikum!
Belum lagi terbayar rasa penasaran Salma, Arvino telah memberi salam dan menjalankan motornya. Anak laki-laki itu cukup cerdas membangun sebuah brain-storming, sebuah suspens yang besar bagi Salma. Salma terbengong-bengong. Jangan-jangan Arvino banyak tahu dirinya. Begitu pikir Salma. Hingga kakak kelasnya itu hilang dibalik tembok gerbang parkiran, gadis itu masih terbengong-bengong.
***
Kantin sekolah.
Salma dan Helga tengah menikmati ramen dan es jeruk. Keduanya tak tahu jika dari kejauhan ada yang mengamati. Haris. Anak laki-laki itu rupanya tak betah hanya mengawasi dari jauh, perlahan ia mendekat.
"Maaf boleh bergabung?" katanya dengan ucapan standar.
"Ah kamu Ris, kaya ke siapa saja!" timpal Helga.
"Aku mau tanya pe-er." kata Haris.
"Ih, salah alamat!" kali ini Salma yang berkomentar.
"Di mana salahnya?"
"Kita saja selalu kerepotan ya Hel?"
"Iya."
"Ah masa sih?" tanya Haris heran.
"Hmh!"
"Katanya Salma sama Helga jagoan di pelajaran ini. Masa kerepotan?"
"Kerepotan mencari waktu untuk menerangkan mhehehee...." Helga tertawa. Haris menggeleng.
"Uh! Somse kalian ya."
"Bukan begitu Ris .... sebenarnya aku mau nanya, kok sekarang duniaku dan duniamu kaya sempit banget ya? Kayak daun kelor gitu." kata Salma sambil tanpa melihat lawan bicara.
"Maksudnya?"
"Setiap ada aku atau Helga, kamu selalu nimbrung." kata Salma.
"Ah ya nggak gitu Sal. Ini mah kebetulan saja....."
"Kebetulan atau disengaja?" tanya Helga.
"Kebetulan disengaja."
"Tuh kaaan!" kata Salma sambil menghentikan makan.
"Hehe.... Ini aku boleh ikut duduk di sini nggak?"
"Gimana kamu Ris? Dri tadi juga kamu sudah duduk di sini."
"Iya ya Sal .... ini aku membayangkan riungan dokter lho." kata Haris sekenanya.
"Apa maksudnya  ya?"
"Cita-cita Salma jadi dokter kan?"
"Heh? Kata siapa?"
"Kalau nggak jadi dokter, jadi istri dokter juga nggak apa-apa kan?"
"Eh, apaan sih?"
"Kenalkan, aku Haris Sal. Cita-cita aku sama, dokter. Rencana ke Unpad. Salaman dong!" kata Haris sambil mengulurkan tangan ke depan Salma. Salma menabok tangan itu.
"Apaan sih!"
"Heheee.... woles lah Sal. Nanti suatu saat ada dokter yang pernah nyuciin motornya dokter cantik!"
"Hariiiis!"
"Hehe!"
"Kamu nggak rela kamu terlanjur nyuci motorku?"
"Rela banget laah ..... "
Salma kesal. Gadis itu berdiri kemudian menggamit tangan Helga diajak pergi. Helga kaget. Tangannya menunjuk ke ramen yang masih banyak.
"Ramen?"
"Itu nggak penting!"
"Bayar?"
"Sudah tadi pas pesan. Ini lebih penting dari pada dikejar-kejar orang yang telah menagih balas budi hanya karena nyuciin motor huh!" kata Salma mencibir. Haris tersenyum kecut.
"Maafkan Salma, saya nggak kaya gitu. Memang salah saya apa Sal?"
"Hmh!"
"Memang aku menagih apa?"
"Enggak sih .... Aku duluan Ris!" kata Salma sambil menggeret tangan Helga.
"Katanya mau nraktir aku!" kata Haris mengingatkan.
"Tunggu pesanan datang, sudah aku bayar!"
"Saaal..... ngapain aku makan sendiri?"
"Lain kaliiii." Sahut Salma semakin menjauh.
"Catat Saaal, lain kali ya. Ke ujung dunia akan aku ikutin."
"Lebay!" gumam Salma yang hanya didengar Helga.
***
Mei 2016. Paturay Tineung 2016.
Hari perpisahan. Para siswa dengan baju resmi, stelan jas berdasi untuk alumnus laki-laki, dan baju daerah untuk alumnus putri. Keceriaan sangat tampak di wajah-wajah mereka. Inilah masa SMA, masa yang terindah bagi mereka. Masa persekolahan di mana mereka masih dididik oleh para guru dengan nasehat-nasehat yang mengalir bak sungai tanpa henti. Masa-masa menjelang pelesatan inner-potential, peralihan dari dari masa-masa cenderung pasif dalam interaksi, menuju masa-masa mandiri secara psikis.
Masa SMA adalah masa yang tak terlupakan. Banyak kisah, baik pribadi maupun dalam kebersamaan. Dinamika interaksi yang sangat humanistis ala anak-anak , biarpun secara fisik sudah dewasa, namun uniform putih abu-abu, akan tetap membawa makna anak-anak.
Ada friksi, konflik dan penyelesaian, belajar bersama, belajar saling membantu, belajar membangun empati terhadap keterbatasan teman, belajar menghargai perbedaan pendapat, belajar menggali potensi, belajar mandiri, belajar berkolaborasi dalam perbedaan potensi. Memupuk dedikasi, membangun karater diri dengan pertemanan, dengan persahabatan, baik sahabat yang akhirnya menjadi sahabat sementara, maupun yang akan tetap terjaga menjadi sahabat sejati sampai kapanpun.
Simpati, iba, rasa kekaguman, rasa cemburu, rasa cinta juga menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Cinta yang bertepuk sebelah tangan, cinta yang tak terucapkan karena ketidak beranian, cinta yang bersambut, cinta yang gagal, cinta yang memberikan pengalaman untuk memahami karakter di masa muda. Banyak pelajaran yang diambil dari pengalaman cinta.
Kekaguman terhadap teman yang berprestasi, kekaguman terhadap teman yang selalu berusaha walaupun gagal berkali-kali, kekaguman terhadap teman yang selalu mau berbagi, kekaguman terhadap teman yang selalu membuka ruang untuk menerima curahan isi hati.
Kekaguman terhadap para guru. Kekaguman terhadap guru yang lucu, kekaguman terhadap guru yang rajin dan santun, kekaguman terhadap guru yang menginspirasi, kekaguman terhadap guru yang kreatif, kekaguman terhadap guru yang tangguh yang selalu mengerti kondisi para siswa, kekaguman terhadap guru yang memahami potensi dan bakat yang dimiliki, kekaguman terhadap guru yang tak pernah menunjukkan rasa lelah, kekaguman terhadap guru yang tak pernah marah, kekaguman terhadap guru yang mampu menjadi sahabat para siswanya.
Siapa yang memiliki kekaguman itu? Tentu, si putih abu-abu. Semua ada di SMA Negeri 1 Majalengka, sekolah yang telah tiga tahun menjadi tempat bermain, menjadi almamater atau ibu asuh yang akan selalu mencintai dan mendoakan para alumninya.
Hari itu aula sekolah benar-benar menjadi tempat terakhir menyampaikan banyak ucapan dengan berbagai ragam tendensi. Ada tangis karena harus berpisah dengan sahabat, ada yang bertaruh untuk dulu-duluan menjadi orang sukses. Apa saja dilakukan untuk memberikan sesuatu yang bermakna di akhir masa sekolah. Masa SMA. Masa yang tak akan terulang lagi sampai kapanpun.
Sejak beberapa saat Salma dan Helga duduk di teras Aula.
Di dalam aula siswa lulusan kelas XII sedang menanti pengumuman hasil penjaringan SNMPTN. Bagi yang lolos seleksi awal, inilah saat-saat yang menegangkan. Duduk mereka tidak nyaman. Stress datang mendadak. Tenggorokan terasa kering dan sebagainya.
Begitupun keadaan Salma dan Helga, keduanya merasa tidak memiliki kepentingan, namun baginya pengumuman hasil SNMPTN diharapkan mampu memotivasi dirinya untuk berprestasi.
"Mudah-mudahan tahun ini sekolah kita bertambah yang diterima." gumam Helga.
"Aamiin! Doakan aku ntar lulusan diterima di FK Unpad ya Hel."
"Iya... iya, masih lama da. Dua tahun lagi."
"Eh Hel, yang namanya memotivasi diri harus sejak jauh-jauh hari, nggak boleh dadakan!"
"Iya Bu Dok!"
Ketika Salma sadar akan pembicaraan tadi, ia kaget. Bukankah ia sedang menanti pembacaan pengumuman mereka yang diterima di SNMPTN. Kini momen itu telah terlewat beberapa urutan.
"Helgaaaa! Ini sudah urutan ke tiga puluh empat! Kamu sih ngobrol terus!" Salma mendorong pundak Helga dengan pundaknya.
"Ih kamu Sal, ngobrolnya juga dengan siapa!"
"Kalau si itu diterima nggak ya?"
"Si itu siapa Sal?"
Belum juga Helga menjawab, kedua gadis itu kaget ketika terdengar suara batuk-batuk kecil di belakangnya. Keduanya menoleh. Arvino ada di dekatnya.
"Och!" Salma terpekik kecil.
"Halo De Salma, De Helga .... ada perlu apa ya?"
"Ada perlu apa?" Salma terbengong-bengong heran dengan pertanyaan Arvino.
"Emmm .... ini Kak, Salma ada perlu." kata Helga sambil menunjuk Salma. Salma kaget.
"Lho kok aku?"
"Ooo De Salma? Ada apa?"
"Enggak .... Helga, kamu apaan sih? Kok aku malah bingung gini!" muka gadis itu memerah dikatakan Helga bahwa dirinya ada perlu dengan Arvino.
Melihat Salma memerah wajahnya, Helga tertawa terkekeh-kekeh. Arvino hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kak Arvi, Salma mau tanya, Kakak diterima di SNMPTN nggak?"
"Ooo ... itu? Tadi nggak dengar waktu pengumuman?"
"Ini Helga ngajak ngobrol muluu!"
"Ooo ya sudah, Alhamdulillah aku diterima di Unpad."
"Alhamdulillah, selamat Kak!" kata Helga sambil menyalami Arvino. Sementara itu Salma hanya mengamati mereka yang bersalaman.
"Kok nggak ngasih selamat Sal?"
"Selamat Kak!"
"Cuma itu?" tanya Helga.
"Apalagi?"
"Nggak salaman?"
"Nggaaak..."
"Aduuuh ..... Kak, maaf, Salma kalau sudah ngambek teh gitu! Maaf yaaa...."
"Iya nggak apa-apa."
"Kakak diterima di Unpadnya jurusan apa?"
"FK."
"What?! FK? Wiiiih.... keren Sal .... ngiriiiii...... Salma ngiri Kak."
"Salma mau ke FK Unpad juga? Kakak tunggu ya."
"Yess!" kata Helga sambil mengepalkan tangan.
"Aku masuk dulu ya .... tadi hanya ijin sebentar."
Salma yang masih belum mengerti apa yang baru saja terjadi semakin heran melihat sikap Helga dengan gesturnya. Beberapa saat kemudian Arvino sudah kembali masuk ke aula. Salma menoleh ke arah Helga yang masih tersenyum penuh arti.
"Helga! Nih, aku serius, sebenarnya ada apa si tiba-tiba Kak Arvi datang, terus kamu bilang aku yang ada perlu?"
"Heheee..."
"Jangan-jangan kamu yang undang dia ke sini ya? Iya ya?"
"Jangan marah Sal, tadinya aku dapat cerita dari Haris, dulu sih, pas katanya pernah kejadian di parkiran. Benarkah kamu pernah menabraknya?" tanya Helga dengan pandangan serius.
"Iya sih ...."
"Kata Haris, adegannya kayak di sinetron, kamunya ikut menarik motornya yang roboh."
"Aaah Haris! Kenapa dia ikut campur tangan sih?"
"Haris ingin tahu respon kamu terhadap Kak Arvi."
"Dia yang nyuruh?"
"Iya."
"Berarti yang tadi ngundang Kak Arvi ke sini kamu Hel? Dan kamu memfitnah aku dengan katakan bahwa aku ada perlu dengannya?"
"Iya. Hahaaaa....." kata Helga sambil berlari meninggalkan Salma.
Salma mengejar Helga yang lari ke arah kelasnya. Gadis itu benar-benar gondok akan kelakuan sahabatnya itu.
***
Tujuh tahun berlalu.
Suatu hari dalam jeda liburan di tengah kegiatan koass. Salma, sarjana kedokteran Unsoed Purwokerto merasa bahagia memperoleh libur dua minggu. Hari Minggu pagi-pagi ia telah meninggalkan rumah kontrakannya di kota Purwokerto. Kepulangannya ke Majalengka sebenarnya ada sesuatu yang kurang. Kedua orang tuanya tengah melakukan perjalanan ke Singapura bersama teman-teman anggota ikatan dokter almamater tempat ayahnya kuliah dulu. Tapi di rumah ada adiknya yang masih SMA, juga ada bibi.
Keluar tol Plumbon, Salma memacu mobilnya menyusuri sepanjang jalan alternatif Sumber.
Beberapa saat ketika masuk ke perbatasan Majalengka, gadis itu merasa semakin bahagia. Â Ketika perjalanan sampai di bundaran Cigasong, tiba-tiba ia merasakan ada dorongan untuk melihat SMA-nya. Hatinya berdebar. Ia sendiri tak tahu mengapa.
Dan memang akhirnya gadis itu memutuskan untuk lewat di depan almamaternya. Jalan Abdul Halim lurus. Semakin dekat dengan SMP Negeri 3 Majalengka yang berhadapan dengan SMA Negeri 1 Majalengka, hatinya semakin tak menentu. Ketika benar-benar ia berhenti di sana, ia pelankan mobilnya. Ia menoleh ke arah SMP-nya. Hanya beberapa saat, kemudian ke arah utara. Ia lihat gerbang SMA yang telah tertutup. Ia menggeleng, kemudian mengatubkan bibirnya.
Gadis itu mendesah.
Perlahan ia melepas kopling, menekan pedal gas perlahan. Arah GGM. Ia turuti kata hatinya. Berbalik di depan Universitas Majalengka, kini ia menyusuri lajur yang berdekatan dengan SMA almamaternya itu.
Beberapa meter di arah timur gerbang utama, Salma mematikan mesin mobil. Ia turun, kemudian berjalan perlahan. Ia bertelekan pagar sekolah, memandang ke dalam melalui pagar kawat lapangan basket.
"Kelasku ....... sayang aku tak terlalu banyak punya kenangan di sini." gumamnya.
Seperempat sekon tiba-tiba ingatannya melayang ke waktu ketika dirinya kelas X. Matanya melihat ke arah timur. Ia pandangi gerbang parkir motor. Betapa kemudian ia ingat waktu berselisih dengan Haris masalah motor yang ditukar.
"Pernah ada Kak Arvi ... Arvino ..... hmhhmhh....."
Salma mendesah. Nama ketua OSIS ketika dirinya kelas X ia eja sejenak. Tak ada yang aneh dengan kakak kelasnya itu. Pertemuan hanya tiga kali selama di SMA. Tak lebih!
Aaaaah!
Salma menggelengkan kepala membuang ingatan yang kadang terasa sampai di hati lucunya. Ya, tak ada sesuatu yang berbekas. Semuanya datar.
Usai bernostalgia dengan ingatan-ingatan di sekolahnya, ia melajukan mobilnya, ke tujuan semula. Kompleks Margahayu. Melalui jalan kecil Garunggang rasanya masih terbayang ketika ia berangkat sekolah naik motor. Paling sering melalui jalan itu. Sebentar lagi jalan Suma, tak jauh dari tempat tinggalnya.
Ciiit!
Gadis itu mengerem mobilnya mendadak. Ada sesuatu yang terlihat sepintas. Ia mengalihkan kopling ke posisi R. Perlahan mobil itu mundur sekira sepuluh meter. Ya, kini ada pikiran-pikiran baru yang muncul. Seingatnya dulu ini adalah lahan kosong. Sekarang telah berdiri sebuah rumah yang cukup asri. Bukan itu yang menarik hatinya hingga ia mundur lagi.
"Praktek Dokter Umum, dr. Arvino, Praktek Setiap Hari ..... "
Salma mengeja tulisan-tulisan yang ada di depan rumah itu. Nama Arvino ia ulang hingga beberapa kali. Inilah yang menarik hatinya. Nama yang cukup pendek, mudah diingat, dan mungkin tak banyak yang menyamai, sebab umumnya nama seseorang terdiri dari dua kata. Ini hanya satu.
Salma melihat rumah itu sepi. Ruangan tunggu di sisi car-port tak ada siapa-siapa. Ia kembali membaca papan nama " ..... Minggu praktek 07.00 -- 09.30 ....."
Rumah dirinya tinggal beberapa ratus meter lagi.
Malam itu baginya adalah malam yang membahagiakan. Dan ada harapan yang membahagiakan. Ia berharap itu adalah Arvino yang ia kenal. Ketika usai makan malam, Salma memanggil adiknya.
"De, Ade tahu rumah dokter yang di seberang, di barat gang kita?"
"Yang rumah baru?"
"Iya."
"Kenapa Teh?"
"Itu namanya dokter Arvino ya?"
"Ya memang tulisannya begitu."
"Dia tinggal bersama keluarganya?"
"Mana Ade tahuuu..... "
"Ayah tahu nggak?"
"Mungkin, kan ayah sama-sama dokter, jadi mungkin saja sedikit banyak ada semacam ikatan psikis, untuk ingin saling kenal. Memangnya Teteh ada apa sih tanya-tanya gitu? Mentang-mentang Teteh juga kalau lulus internship bakal buka praktek kaya dia?"
"Nggak apa-apa, barangkali saja Ade tahu ..... ngobrol kosong saja ....."
Malam itu Salma gelisah.
Ingatan tentang Arvino yang pernah ia temui di SMA kembali muncul. Namun sayang apa yang ia ingat begitu pendek, hanya tiga kali bertemu selama ia bersekolah di SMA. Entah terbawa kenangan yang terlalu sedikit, gadis itu terlelap tidur.
Pukul setengah empat pagi Salma terbangun oleh alarm. Gadis itu duduk termangu sejenak menyadarkan diri dari lulungu bangun tidur. Setelah beberapa saat dirasa tubuhnya segar, ia ke kamar mandi untuk mengambil abdas.
Sambil menanti kumandang adzan shubuh, Salma shalat sunah dua raka'at bersama adiknya di ruangan musholla dalam rumah. Ketika beberapa saat usai salah, ia kaget mendengar suara geledek di luar. Bahkan tak berapa lama turun hujan.
Hampir pukul enam pagi hujan tak kunjung reda. Salma melihat adiknya sudah siap berangkat sekolah.
"Ayo Teteh antar ...."
"Oke Teh."
"Tapi ntar teteh pinjam motornya ya."
"Hujan Teh, mau ke mana?"
"Siapa tahu nanti siang reda."
"Iya silakan Tetehku ....."
Pukul tujuh kurang seperempat Salma mengantar adiknya sampai di depan gerbang sekolah. Hujan masih deras. Adiknya berlari melintasi hujan dengan berpayung. Setelah adiknya berbelok tak tampak lagi, Salma melajukan mobilnya pulang.
Sampai di rumah, usai menyimpan mobil di garasi, ia mengeluarkan motor adiknya. Beberapa saat mesin dipanaskan. Menunggu sekitar lima menitan dirasa mesin motor cukup panas untuk aman dikendarai.
"Si Teteh mau berangkat?" ada yang bertanya di belakangnya.
"Aeh Bibi.... iya mau keluar sebentar."
"Hujan Teh, kenapa nggak pakai mobil saja?"
"Dekat kok!"
"Kalau begitu Bibi ambilkan jas hujan dulu, kemarin sama Ade ditiriskan di emper belakang." kata si Bibi sambil bergegas masuk ke dalam.
Ketika pembantunya masuk, Salma buru-buru mengendarai motor menerabas hujan yang deras. Ia tak memakai jas hujan. Ia tidak peduli bakal bagaimana reaksi si Bibi ketika melihat dirinya tak ada lagi rumah.
Keluar menyusuri gang, ia mengarahkan motornya ke timur ke arah stadion Warung Jambu. Bajunya yang basah kuyup telah memberikan rasa dingin yang amat. Beberapa saat kemudian ia menyusuri jalan Ahmad Kusumah, terus ke timur, belok ke utara. Kini jalan utama Majalengka yang ia susuri.
Sampai di bundaran Tonjong rasa dingin hampir tak tertahan. Tubuhnya mulai menggigil. Rahangnya bergetar. Giginya mulai gemeretak.
Pagi di tengah hujan yang lebat, Salma benar-benar ada di sana. Mengelilingi kota Majalengka berhujan-hujan, padahal ia menyadari bahwa tadi pas berangkat ia belum sarapan pagi.
Pukul setengah lima sore.
"Kakak ngaco sih! Tahu belum sarapan malah ke Majalengka berhujan-hujan.... itu lah akibatnya."
"Iya De, tadinya nggak pernah naik motor hujan-hujanan sih. Di Purwokerto mana Teteh berani ..."
"Jadi sekarang ke dokternya? Sama aku atau sama Bibi?"
"Sama Bibi saja, panggilin beca."
Hampir pukul enam sore, pasien tinggal satu di dalam. Praktek dokter tutup pukul enam sore. Waktunya sudah mepet. Salma gelisah. Jaket yang ia kenakan ia kencangkan. Ketika pasien keluar, dari dalam melongok keluar sang dokter.
"Oh, masih ada pasien. Ini sudah jam enam."
"Satu lagi Dok ...." kata si Bibi.
"Ibu yang sakit?"
"Bukan. Ayo Teh ... boleh masuk kan?"
"Yaaa... tapi ... ayolah ... ini hampir maghrib."
Salma yang duduk membelakangi Bibi bangkit, kemudian masuk ke ruangan dokter. Sementara dokter telah berdiri menanti.
Begitu Salma menoleh ke arah dokter, bibirnya bergetar. Wajahnya, tatapan mata itu pernah ia kenal. Sementara dokter itu sendiri seperti terpana melihat pasien yang baru masuk.
"Silakan ...... duduk dulu, saya catat, nama Ibu?"
"Ss.... Sss... Salma."
"Salma?" dokter itu menatap Salma lekat-lekat. Bibirnya dikatubkan. Laki-laki itu menggeleng.
"Iya. Eeemmm maaf, apakah ini ... dokter ... Kak... Kak Arvi?"
"Salma Ghaisani?"
"Iya. Ini benar Kak Arvino?"
"Astaghfirullaaaah........ Bu Salma sakit? Apa yang dirasa? Maaf Bu, ini kode etik kedokteran."
"Och maaf .... maaf...."
"Apa yang dirasa?"
"Tadi pagi kehujanan... panas, pening juga. Serak."
"Silakan berbaring, saya periksa dulu..."
Gadis itu merasakan debaran jantungnya begitu cepat. Terlebih lagi ketika dokter itu menempelkan telapak tangannya di dahinya untuk mendeteksi suhu badan. Â Gadis itu terpejam matanya. Ia serasakan seluruh bulu-bulu halus di tangannya meremang. Dadanya bergetar.
Beberapa saat pemeriksaan usai, dr. Arvino menyatakan sakitnya ringan tak perlu disuntik. Obatpun ada di sana, tak perlu membeli resep. Karena Salma adalah pasien terakhir, maka dokter itu ikut ke luar kamar periksa sambil membalikkan papan kecil sehingga bertuliskan "TUTUP".
Salma bergegas ke luar ruangan tunggu diikut Bibi.
"De Salma tungguu.... Tunggu sebentar."
"Kode etik kedokteran dokter....."
"Maaf De Salma, ini praktek usai. Ruang praktek sudah tutup. Sekarang ini Arvino, bukan dokter Arvino dan ini De Salma .... "
"Maaf saya harus segera shalat."
"De, De Salma.... shalatlah di sini. Ini musholla, ini kamar mandi. De Salma masih kuat bertahan kan? Please .... ayolah sahabat De Helga....."
"Emh ..."
Akhirnya Salma tak bisa mengelak. Petang itu ia shalat maghrib di musholla dekat ruang tunggu. Sementara Arvino masuk untuk menjalankan shalat di dalam. Seperti kena hipnotis, gadis itu akhirnya mengikuti saja apa yang diminta oleh Arvino. Setelah dokter itu memperkenalkan diri kepada Bibi bahwa dirinya adalah teman Salma, ia dipersilakan masuk di ruang tamu.
"Ini De Salma beneran kan?"
"Iya."
"Beda jauh dengan waktu SMA."
"Apa bedanya?"
"Dulu aaahh... culun."
"Aaah bisa saja Kak Arvi."
"Sekarang jauuuh banget ... tampak dewasa. Cantiiik."
"Heheee terima kasih sanjungannya Kak Arvi."
"Kak Arvi? Heheee... di keluarga aku biasa dipanggil dengan Vino, hanya De Salma dan De Hekga saja yang memanggilku Arvi. Tetapi nggak apa-apa, itu malah bagus. Antimainstream."
"Eh ya maaf kalau begitu Kak Vino."
"Sudah, nggak apa-apa, tetap panggil aku Arvi."
"Ya ... ya... sudah kalau begitu."
"Emmm.... kenapa nggak diobati ayah?"
"Maksudnya?"
"Ayah De Salma dokter kan?"
"Dari mana Kakak tahu?"
"De Helga, dulu waktu SMA."
"Ooooh .... emmh... itu anak ... ember banget."
"Iya, kenapa bukan diobati ayah?"
"Ayah Ibu sedang ke Singapura."
"Oooo... pantas."
"Mmmm ... maaf Kak, kok sepi kelihatannya, keluarga di mana?"
"Heheee... keluarga ada? Bu Darti dan Pak Yana, suami istri yang dulu ikut keluarga kami sejak aku kecil."
"Oooo.... Nyonya?"
"Nyonya Arvi? Heheee....... nanti, sekarang belum mau pindah ke sini."
"Ooooo .... kenapa?"
"Memang sementara di rumah ini kami bertiga, aku, dan tadi itu, Bu Dar dan Pak Yan. Istri nanti gampang lah, cari ... kalau ada yang mau ..."
Sampai kalimat ini Salma terhenyak. Ia tahu kenapa. Hingga beberapa saat keduanya tak bicara.
"Masih sakit?" memecah keheningan dokter Arvino bertanya.
"Ah enggak, sekarang kayaknya sudah baikan."
"Ooo syukurlah. Emmm dulu jadi masuk FK?" tanya dokter Arvino.
"Tahu dari mana aku pernah bilang begitu?"
"Waktu di pinggir aula, pas perpisahan."
"Oooo ... iya, Helga yang ngetawain ya? Hehee.... Alhamdulillah."
"Kayaknya bukan di Unpad ya? Sebab hampir semua adik kelas, aku kenal semua."
"Ya, bukan Unpad. Saya di Purwokerto."
"Unsoed?"
"Ya."
"Seharusnya sudah ambil koass. Sudah koass?"
"Sekarang sedang. Agak terlambat ya? Aku pernah cuti satu semester, mendampingi orang tua memperdalam ilmu di Jerman."
"Jadi belum selesai?"
"Belum. Kakak sudah lama?"
"Lumayan, tapi baru sekitar satu tahun dapat SIP."
"Internship di mana? Di daerah sendirikah?"
"Di Pangandaran selatan, mepet laut. Tapi ya sudah, biarpun daerah terpencil, semuanya berjalan lancar, bisa mengabdi di lingkungan itu."
"Oh syukurlah ....."
Malam hari  di rumah.
Hari itu bagi Salma merupakan hari yang membahagiakan. Rasa penasaran atas papan bertuliskan dr. Arvino jelas sudah. Semua telah jelas. Arvino adalah orang yang pernah ia kenal sepintas. Namun gadis itu merasakan pertemuan tadi petang sudah sangat akrab. Justru itu berbeda ketika bertemu Arvino tetapi ada Haris atau Helga.
Hingga lama Salma tak bisa tidur. Pertemuan dengan dokter itu membuatnya gelisah, apalagi ketika tadi petang ia berpamitan pulang, ada beberapa kata-kata Arvino yang membuatnya bahagia.
"Ini adalah pertemuan kelima, semoga tak berakhir di sini."
"Kelima?"
"Yah, kelima. Pertama di SMP 1, walaupun kita nggak bertemu. Hanya aku yang melihat De Salma. Yang kedua ketika aku ditabrak anak kelas X di tempat parkir!"
"Aaah ....."
"Yang ketiga ketika De Salma bilang ..... dari mana Kak Arvi tahu? Jawab aku, kan ada di label namamu."
"Aaaahhh.... malu Kak!"
"Yang keempat di teras aula, yang terakhir sekarang ini, di rumahku ....."
Salma menghela nafas dalam. Ia tersenyum. Kemudian ia bangkit kemudian duduk di pinggir ranjang. Guling yang ia pegang ia peluk erat.
"Hari Minggu depan, usai praktek, mau nggak kita menengok sekolah kita?"
"Mmm.......mmm...."
"Ragu ya, takut ada yang marah ya?"
"Siapa?"
"Yang dulu berantem di parkiran."
"Haris?"
"Ya, dia."
"Nggak mungkin dia marah Kak, kan dia sudah jadi suami orang."
"Ooooo.... dia sudah nikah?"
"Sudah. Setengah tahun lalu."
"Sama orang mana?"
"Orang Majalengka. Orang Smansa juga."
"Alumnus SMA kita juga? Siapa?"
"Helga."
"De Helga? Oooooo....... syukurlah, informanku sudah jadi milik orang. De, sayang sekali ketika aku lulus di tahun kedua, HP hilang. Mau ngurus upgrade nomor rasanya malas, jadi kontakku yang lama hilang semua. Termasuk De Helga, mungkin kalau nomorku masih ada dia akan ngundang aku pernikahannya."
Dan bagi Salma kalimat yang paling ia suka adalah ketika ia melangkah diantar sampai di gerbang.
"Selamat istirahat ya."
"Terima kasih Kak..."
"Ya sama-sama ...... semoga cepat sembuh .... Awen!"
"Awen?"
"Becak sudah menunggu ... ayo..... Awen."
Salma tersenyum.Â
Ujung guling yang ia peluk ia gigit-gigit. Betapa ia menjadi sangat berharga rasanya ketika Arvino memanggil dirinya Awen. Hanya sahabat-sahabat akrabnyalah yang memanggil dirinya dengan sebutan itu.
***
Minggu pukul 10.04 di pelataran SMAN 1 Majalengka.
Salma memenuhi janji untuk menemani Arvino main ke almamaternya. Dengan mengendarai motor masing-masing keduanya beriringan rumah mereka yang tak begitu jauh. Hari itu almamater yang ditinggalkan cukup dirasakan keduanya mampu menggugah kenangan yang sebenarnya tak banyak. Kini keduanya duduk di taman depan Graha OSIS. Dari sana bisa memandang ke depan bangunan semacam masjid, aula dan bangunan kelas yang semuanya telah berlantai dua.
"Graha OSIS Mutaqin ini, pernah jadi markasku."
"Serasa kembali ke kampung halaman ya Kak?"
"Bener De, almamater ini memberikan banyak kenangan, terutama motivasi yang diberikan oleh para guru kita." kata Arvino sambil menatap bangunan aula yang sekarang tampak semakin megah.
"Benar."
"Juga dengan sahabat-sahabat yang begitu banyak, aku pasti, sebagai ketua OSIS waktu itu. Ratusan orang yang aku kenal."
"Makluuum , calon orang hebat. Dan sekarang terbukti sudah jadi orang hebat."
"Iya dan sebentar lagi gadis di sebelahku juga akan menjadi orang hebat."
"Aamiin!"
"Tapi latar belakangnya gadis ini lucu."
"Lucu apaan?"
Arvino membuka tas yang dicangklongnya. Ia mengeluarkan notebook. Beberapa saat setelah itu ia menyaipkan speaker attif kecil, dan menyisir beberapa folder.
"De Salma, inilah kelucuan yang sangat aku sukai. Sadis sedikit sih di awal!"
Ternyata Arvino menyetel video. Salma penasaran.
Gadis itu terpekik kecil ketika tayang video dimulai. Ia kaget bukan kepalang. Itu adalah video ketika dirinya menabrak Arvino di parkiran. Setelah itu terlihat gambar ketika Salma membantu mengangkat motor Arvino yang terguling. Betapa kemudian Arvino terkekeh-kekeh melihat Salma yang meringis-meringis lucu karena tak mampu mengangkat motornya.
"Maluuuuuuuu!"
"Ini adalah rekaman lucu yang aku sukai."
"Iiiih..... kapan Kakak merekamnya sih?"
"De Salma nggak tahu kalau waktu itu di helm-ku ada action-camera yang terpasang?"
"Nggak tahu? Jadi itu?"
"Iya. Yah kebetulan memang kamera actionku itu resolusinya tinggi, jadi gambar De Salma jelas banget."
"Aaahhh..... curang! Mana yang lain, masih ada?"
"Masih laaaahhhh....."
Beberapa saat kemudian Arvino menyetel video berikutnya. Lagi-lagi video yang ini membuat Salma memerah mukanya, betapa tidak video kali ini adalah ketika dirinya menduga bahwa Arvino mengenal nama dirinya, tetapi sebenarnya itu karena ada label nama dirinya.
Tayangan ketika dirinya tertelungkup di atas jok motor hingga beberapa saat.
Salma kali ini tak terlalu kaget. Ia hanya tersenyum melihat video dirinya.
"Masih ada lagi Kak?" tanya Salma sambil terkekeh.
"Nantang ya?"
"Hehe..."
"Sayang sekali aku cuma punya dua itu."
"Kenapa sayang sekali?"
"Seharusnya tak terbatas."
"Buat apa?"
"Buat menterjemahkan sesuatu."
"Sesuatu apa?"
"Sesuatu yang terkait cita-cita."
"Cita-cita siapa?"
"Ya, cita-cita De Salma."
"Cita-cita yang mana?"
"Dulu De Salma bercita-cita jadi dokter kan?" tanya Arvino yang duduk di depannya.
"Pasti Helga yang memberi tahu ya Kak?"
"Hehe iya...."
"Kalau begitu pasti Kakak tahu kelanjutannya?"
"Kalau tidak jadi dokter, ya jadi istri dokter. Iya kan?"
"Hihihii.."
"Kalau tidak jadi dokter, tidak jadi istri dokter, ya paling tidak punya tetangga dokter. Nanti pura-pura sakit, terus berobat. Setelah kenal kemudian siapa tahu nanti jadi istri dokter? Artinya cita-cita kedua tercapai."
"Helga cerita sedetail itu dulu?"
"Iya."
"Itu mah kata-kata guruku, guru matematika ketika aku mengenalkan profilku. Sama bapak guruku dibercandain cita-cita yang ketiga."
"Guru apa beliau De?"
"Guru matematika."
"Sepertinya beliau ini intuisinya terbiasa tepat. Buktinya cita-cita ketiga sudah tercapai kan?"
"Iya bener Kak, sekarang Salma punya tetangga, walaupun agak jauh dikit."
"Pelengkap ramalan guru yang ketiga itu sepenuhnya jadi kenyataan ya De?"
"Maksudnya?"
"Ada yang pura-pura sakit!"
"Iiiih apaaan sih! Kemarin waktu dokter periksa aku, panas badanku tinggi kan?"
"Heheee....."
"Kok ketawa?"
"Iya laaah nggak usah dibahas ..... ntar di rumah De Salma silakan merenung sendiri hehe..."
Mendengar kalimat Arvino seperti itu muka Salma memerah.
Ia ingat betapa dirinya ketika pagi-pagi Senin yang lalu sengaja berhujan-hujanan memang niatnya agar ia pilek atau apalah, agar bisa punya alasan untuk berobat. Itu adalah pengorbanan dirinya untuk menebus rasa penasaran membuktikan bahwa dr.Arvino adalah Arvino sang ketua OSIS.
"De.... kenapa diam?"
"Ah enggak .... nggak apa-apa kok!"
"Sudah laah lupakan panas badan."
"Ah!"
"Aku doakan boleh nggak?"
"Doakan apa Kak?"
"Agar semua cita-citanya tercapai. Ya seluruh cita-cita, ketiga cita-citanya  tercapai semua....."
"Nggak tahu lah." kata sambil menahan senyum, tertunduk kemudian pura-pura memainkan HP-nya.
Melihat itu, Arvino beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Salma sendirian. Laki-laki itu berjalan ke teras graha, kemudian bersandar ke tiang graha beberapa saat. Salma melirik sekilas. Ia membayangkan dulu sering melihat Arvino di sana. Jika ia akan melaksanakan shalat Dzuhur, biasanya mata nakalnya selalu melirik ke arah bangunan markas OSIS yang berada di samping masjid. Dan ia sering melihat Arvino di sana.
Sekira sepuluh menit berikutnya Arvino kembali lagi.
"Sudah siang ... mau pulang De?"
"Ayo."
"Tapi ntar dulu, aku ada sesuatu untuk De Salma....." kata Arvino sambil merogoh saku bajunya kemudian menggenggam sesuatu yang diambilnya. Ia sorongkan genggaman tangannya di sepan gadis itu.
"Apa sih?"
Perlahan Arvino membuka genggaman. Salma terhenyak. Gadis itu melihat sebentuk cincin di telapak tangan Arvino.
"Aku ingin hari ini De Salma pakai cincin ini ......"
Salma tak langsung merespon kata-kata Arvino. Pikirannya sedang berputar keras. Ia sedang mengorek kenangan yang telah jauh dilewati.
"Kakak ..... rasanya .... mmm..... rasanya aku seperti kenal cincin ini." katanya kemudian.
"Memang De Salma harus kenal."
Mendadak gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan hingga lama. Beberapa sekon kemudian terdengar isak gadis itu. Arvino menghela nafas dalam. Setelah beberapa saat, Salma membuka tangannya. Wajahnya basah oleh air mata. Ia mengelapnya dengan sapu tangan.
"Ini ... ini ...... cincin .... cincin saya kan Kak?" kata Salma seraya meraih cincin itu dari telapak tangan Arvino. Hingga beberapa lama ia mengamatinya dengan seksama.
"De Salma masih mengenalinya?"
"Masih, itu hadiah dari ibu ketika lulus SMP. Tapi suatu saat cincin ini hilang." katanya sambil menempelkan cincin di dadanya.
"Ya tampaknya seperti itu."
"Kenapa cincin ini ada di Kak Arvi?"
"Maafkan saya De ..."
"Kenapa?" tanya Salma heran.
"Aku menemukannya dulu, sudah lama banget."
"Kapan?"
"Sejak SMA .... "
"Sejak SMA?"
"Yaaaa... sejak De Salma kelas X."
"Kelas X? Lama sekali?"
"Semua akan De Salma percayai nanti. Emmm... Â nanti De Salma copy video ketika kita ada di parkiran motor. Ketika De Salma coba bantu mengangkat motor memegang stang, cincin itu masih kelihatan. Di video ketika kita ketemu siangnya, De Salma menutup wajah karena masalah nama, di situ tampak De Salma sudah nggak pakai cincin."
"Artinya cincin itu ada kemungkinan jatuh?"
"Ketika aku mau mengangkat motor yang roboh, Â aku menjatuhkan pulpen. Begitu pulpen dekat cincin, cincin ini aku ambil."
"Kenapa Kak?"
"Itulah De, aku minta maaf dulu atas kelakuanku."
"Nggak apa-apa Kak."
"Aku pernah simpati kepada seseorang ketika dulu acara bersama OSIS Nesama-Netima, simpati kepada anak Netima."
"Och!"
"Dia  bernama Salma Ghaisani."
"Och!"
"Maka ketika ada momen seperti itu dulu, secara cepat aku memutuskan untuk menyimpan benda itu. Mengapa? Sebab aku tak pernah membayangkan momen seperti ini bakal terulang lagi."
"Kak..."
"Benda itulah yang selama ini mewakili De Salma. Pertemuan yang tak terlalu banyak di SMA, ternyata akhirnya bagi Arvino justru setiap saat ketika aku kangen, aku ingat De Salma, aku bisa menimang cincin ini."
"Kaak...."
"Maafka Arvi ...."
Salma tak menjawab. Perlahan gadis itu memasukkan cincin ke jarinya. Benda itu kini menghiasi jarinya. Pas. Begitu cincin telah melingkari jarinya, gadis itu tersenyum tertahan. Air matanya kembali mengembang.
"Terima kasih Kak ... sudah merawat cincin ini."
"De Salma tahu mengapa saya berani menyimpan cincin ini?"
"Nggak tahu..."
"Karena Arvi ini punya keyakinan, bahwa suatu saat cincin ini bakal kembali ke pemiliknya. Maksudku kembali lagi setelah kita dewasa. Dan cincin yang hilang di almamater, hari ini telah kembali lagi, juga di almamater kita. Dan benar, doaku dikabulkan Allah, cincin kembali setelah kita dewasa seperti sekarang ini. Maafkan Arvi ...."
Salma diam. Ia masih mengelus-elus cincin di tangannya.
"De ....."
"Ya?"
"Arvi tak bisa melupakan De Salma ...."
"Nggg..."
"Suatu saat, jika Arvi masih ada kesempatan, dan masih ada yang memberikan kesempatan, akan ada cincin lain dari Arvi untuk menghiasi jari De Salma."
"Kak.."
"Cincin untuk gadis yang tak banyak Arvi kenal, tetapi selama ini aku doakan menjadi gadis yang akan selalu aku kenal sepanjang hidupku."
Salma tak menjawab. Sekilas mata Salma melirik ke arah Arvino. Pemuda itu tengah tersenyum. Salma merasakan getaran aneh dalam dadanya. Suatu rasa yang tak pernah ia rasakan dulu.
"De Salma, jawablah ......"
Lama gadis itu tak menjawab. Ia mengambil nafas dalam, kemudian mendesah perlahan.
"Terima kasih Kak Arvi, Kakak telah merawat cincinku selama ini ...."
Salma berkata sambil mencium perlahan cincin itu. Arvino melihat ada  air mata meleleh menyusuri pipi gais itu.
Alvino mendesah. Bibirnya terkatub, perlahan dokter muda itu mengucapkan syukur. Ia tak menerima jawaban, namun ucapan terima kasih dan air mata adalah jawaban dari Salma. Gadis yang dicintai lewat cincin. ***
                          Majalengka, 7 Desember 2017
* Request Salma Ghaisani Aqmar Wahnadian
   Kelas XII MIPA 5 Tahun Pelajaran 2017/2018
   SMA Negeri 1 Majalengka - JawaBarat
* Dokter Salma, ayo raih cita-cita.
* Cerpen ini fiksi murni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H