Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel: Zaniar dan Ahmad Hong (12)

2 Mei 2016   21:50 Diperbarui: 2 Mei 2016   22:10 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pribadi

____________________________________________________

Zaniar & Ahmad Hong (10)

Zaniar & Ahmad Hong (11)

_____________________________________________________

12. Ibu Tak Kenal Pak Layang?

Sepanjang maghrib hingga saat shalat ‘Isya , Zaniar dan ibunya berada di surau yang tak berapa jauh dari rumahnya. Usai shalat maghrib dan shalat sunah Zaniar menggeser duduknya bercampur dengan anak-anak perempuan yang telah siap diajari membaca huruf hijaiyah. Sama sekali tak satupun teman di sekolahnya mengetahui jika kebiasaan Zaniar adalah mengajari anak-anak kecil untuk bisa membaca Al Quran. Sementara itu Winarti, ibunya, melakukan tadarus bersama-sama ibu-ibu lain. Di bagian depan anak-anak laki-laki belajar hafalan surat-surat juzz ‘amma dibimbing oleh imam surau.  

Anak-anak belajar dengan waktu terbatas. Usai maghrib hingga shalat ‘Isya. Tetapi bagi anak-anak pelajaran di waktu yang singkat sangat bermakna. Buktinya surat-surat pendek banyak yang sudah hafal, kini bahkan ada yang sudah lancar membaca Al Quran. Kadang dalam mengajari Zaniar suka menyelipkan canda. Jika sebelum ‘Isya yang belajar sudah dapat giliran semua, gadis itu menyempatkan mendongeng, kadang dongeng umum, kadang tentang kisah nabi dan para sahabat. Anak-anak sangat senang dengan dongeng-dongeng yang Zaniar sampaikan.

Usai shalat ‘Isya Zaniar dan ibunya tidak langsung pulang. Keduanya duduk dengan salah satu ibu hingga sekitar setengah jam. Setelah itu barulah ketiganya beranjak meninggalkan surau. Berjalan beberapa saat, keduanya sampai di gang yang menuju rumahnya. Namun keduanya kaget ketika melihat di tempat tadi sore ada sepeda motor diparkir.

“Bukankah itu motor Ustadz Hong Zan?” tanya ibunya berbisik.

“Benar. Itu orangnya …. tuh, di depan rumah Wak Jamin…sedang ngobrol…”

“Ooo iya. Ada apa lagi Ustadz kembali ya?”

“Tidak tahulah Bu….”

Rupanya Ustadz Hong merasa ada yang datang. Laki-laki itu membalikkan badan. Wajahnya ceria melihat Zaniar dan ibunya sudah pulang. Ustadz Hong berpamitan ke orang yang ngobrol bersama di situ. Sejenak kemudia laki-laki itu bergegas ke rumah Zaniar.

Assalaamu’alaikum! Sapanya. Zanar dan ibunyapun segera menjawab salam.

“Maaf, maaaaaf sekali! Saya harus kembali ke sini.” kata Ustadz Hong merasa bersalah.

“Oooo tidak apa-apa. Silakan masuk Ustadz….”

“Emmm tidak, sudah malam. Tidak enak dengan tetangga. Lihat, mereka masih ada di teras rumah, mereka melihat kita.”

“Ooo lalu ada apa ya?”

“HP saya ketinggalan di meja Bu. Maaf sekali….”

“Ooooo HP? Zan, ambilkan HP pak Ustadz.”

“Ya Bu…” kata Zaniar bergegas menuju rumah. Beberapa saat kemudian Zaniar keluar lagi sambil membawa HP yang dimaksud.

“Ini HP-nya Ustadz….” kata Zaniar sambil mengulurkan tangan.

“Iya, terima kasih….”

Ketika HP itu diserahkan ke Ustadz Hong, tidak sengaja jemari Zaniar menyentuh telapak tangan Ustadz Hong. Bulu kuduk Zaniar merinding. Ia merasakan getaran aneh dalam waktu yang sangat singkat. Zaniarpun sebenarnya melihat sekilas sinar mata Ustadz Hong juga aneh.

“Maaf Niar ….. Niar habis mengajar mengaji anak-anak ya?” tanya Ustadz Hong menyelidik.

“Ustadz tahu dari mana?”

“Dari bapak-bapak yang tadi ngobrol itu….”

“Ooooo Wak Jamin.”

“Iya, Pak Jamin. Memangnya berapa banyak yang mengajari ngaji anak-anak?”

“Yaah, untuk anak-anak perempuan saya sendirian. Itupun kalau waktu tidak bentrok dengan kepulangan saya. Sabtu minggu jelas tidak, saya ke Babusslam. Kalau anak laki-laki Pak Kyai, imam surau itu. Jadi hanya berdua saja.”

“Yang lain pada ke mana?”

“Sulit jaman sekarang mencari relawan. Kebanyakan dari anak-anak yang besar tidak melihat tanggung jawab itu. Mereka lebih asyik main facebook dan twiter …. sistem pamong seperti di pesantren tidak ada. Padahal yang tua mengajari yang muda itu indah sekali Ustadz.”

“Oooo… ya sudah. Saya dukung kamu sepenuhnya. Lanjutkan kebiasaanmu, mudah-mudahan dapat berkah.”

“Amiiin.”

“Oh ya ntar ngobrolnya kita sambung di Babussalam ya…”

“Emmm….. iya Ustadz.”

Pukul setengah sembilan malam Ustadz Ahmad Hong  pulang. Keduanya perempuan itu saling pandang, kemudian keduanya mengelengkan kepala. Sejenak kemudian keduanya masuk rumah. Pintu dikunci. Tak ada keperluan apa-apa lagi dengan luar rumah.

“Kamu makan dulu Zan.” kata ibunya setelah menyimpan mukena.

“Ibu juga.”

“Iya. Kita makan bersama.”

“Makan besar ya Bu ….”

“Iya, merayakan kedatangan Ustad Hong ke sini hihihi…..”

“Ih ibu apaan sih?”

“Begini Zan, ibu tadi curiga ke Ustadz itu.” kata Winarti sambil mengambil nasi.

“Curiga? Curiga bagaimana?” Tanya Zaniar seraya menerima piring dari ibunya.

“Itu tadi cuma taktik. Taktiknya Pak Ustad, taktiknya laki-laki ….”

“Apaan sih, Niar tidak mengerti ah!”

“HP-nya sengaja ditinggal, biar bisa mbalik lagi.”

“Maksudnya? Kenapa HP-nya ditinggal?”

“Ya ampun anak ibuuuuu……, tidak mengerti juga?”

“Memang tidak mengerti Bu.”

“Kalau tidak paham ya sudahlah , nanti kamu juga tahu sendiri. Sekarang makan. Ayo makan yang banyak.”

“Nggak ah! Takut gemuk.”

“Iiiiiiih kamu, yang namanya gemuk itu juga karunia Allah Zan. Jangan diejek semacam itu, nggak boleh.”

“Bukan begitu Bu, nanti kalau aku gemuk, bagaimana gerakanku kalau ikut pertandingan silat. Bisa-bisa harus naik kelas di pertandingan nanti. Nggak mau Bu.”

Usai makan malam kedua anak beranak itu mencuci piring kotor. Keduanya selalu bercakap-cakap tentang apa saja. Tentang pengalaman tadi siang, atau tentang hal-hal baru Zaniar dapatkan di sekolah diceritakan kepada ibunya.

Sekitar jam sembilan malam Zaniar belajar sedikit. Besok pelajaran seni budaya, olah raga dan matematika. Komposisi pelajaran seperti itu bagi Zaniar termasuk ringan. Seni budaya hampir tidak ada masalah, olah raga apalagi. Matematika dia jagoan di sekolahnya. Usai mempersiapkan  beberapa barang kecil, Zaniar mengambil si Bunga, buku catatan kecil tentang hal-hal yang menurutnya besar:

…hari ini banyak masalah. Memang hari-hariku selalu saja ada masalah. Tongki – Deden, Aku malah akhirnya tahu kalau Pak Bimo teman Ustadz Hong.

…… malam ini ada yang aneh. Ketika tidak sengaja jariku menyentuh tangan Ustad, hatiku menjadi berdebar-debar. Terus terang perasaan seperti ini tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Bahkan pada Pak Nanto yang saya rasakan selalu memberikan perhatian lebih. Apalagi Asep, yang terus terang menyatakan cinta beberapa waktu yang lalu, sama sekali tak ada yang membekas.

………….. huuuuuuuhhhh! Tak tahulah!

Aaaaah, aku baru ingat tadi pagi di sekolah Pak Layang marah-marah. Kenapa ya?Kenapa tadi Pak Layang ingin memberikan HP untuk ibu? Dan tadi sore juga Ustadz Hong juga ingin memberiku HP. Kenapa ya?

…………………………………………………….. uh! Astaghfirullahal’adziiiiim!!!!

Zaniar berbaring terlentang. Matanya memandang langit-langit yang terbuat dari anyaman bambu. Pikirannya menerawang, loncat ke sana, loncat ke sini. Ia sangat ingin pikirannya menemukan sesuatu yang membahagiakan, yang membuatnya bisa tenang ketika banyak masalah yang datang.  Gadis meletakkan buku kecil kesayangannya di atas dadanya. Matanya perlahan terpejam. Hingga beberapa menit kemudian, ibunya melongok ke kamarnya , Zaniar sudah tertidur. Perempuan itu mengambil buku kecil yang terletak di atas dada anaknya, kemudian meletakan di atas meja kecil di samping dipan.

Setelah itu perempuan setengah baya itu melangkah perlahan.

“Ibuuu…..” tiba-tiba terdengar suara pelan. Winarti berhenti, kemudian menoleh.

“Haaai…. belum tidur rupanya?”

“Belum Bu, sulit tidur.” Kata Zaniar sambil bangun dari rebahan, kemudian duduk. Ibunya mendekat, kemudian duduk di sampingnya.

“Kenapa? Ada masalah lagi?” Tanya ibunya seraya menyibak rambut yang menutupi dahi anaknya.

“Hmh….tak tahulah Bu, sepertinya memang banyak masalah yang harus Niar hadapi.”

“Masalah apa lagi sih? Zan, bukan ibu tidak mau dengar ceritamu, tetapi sekarang bagusnya istirahat dulu. Kita bisa bicarakan besok.”

“Besok?”

“Iya besok. Sore, sepulang kamu dari sekolah.”

“Lama sekali Bu.”

“Aaah lama seberapa? Tidak lama kok.”

“Kalau masalahnya berat, apakah ibu tidak tertarik jika dibahas sekarang?” tanya Zaniar memancing.

“Berat?”

“Iya , berat. Bahkan mungkin berat sekali.”

“Masalah apa sih?” akhirnya Winarti mengalah juga ke anaknya.  Melihat ibunya terpancing kata-katanya, Zaniar tersenyum. Ibunya dipeluk.

“Masalah pacar ya?” Ibunya berbisik.

“Iiih… ibu, ngawur saja.” Kata Zaniar sambil melepaskan pelukannya.

“Masalah Pak Nanto ya?”

“Ah ibu, kenapa ibu selalu mengingatkan Niar pada Pak Nanto sih….”

“Bagi ibu, masalah Pak Nanto dekat kamu, itu bagi ibu masalah berat. Kamu murid, dia guru. Hubungan persahabatan guru dengan murid tidak boleh terlalu jauh.”

“Ibu ngomong apa sih?”

“Masyarakat akan menilai jelek. Bisa-bisa ini malah megarah ke aib. Aib bagi Pak Nanto sebagai guru, kasihan beliau. Kehormatannya akan hilang.”

“Iiiih… ibu nggak lucu ah!”

“Siapa bilang lucu? Ini serius.”

“Iya serius. Tapi bukan masalah Pak Nanto.”

“Wah? Jadi masalah apa rupanya?”

Zaniar terdiam sejenak. Hatinya ragu untuk mengajukan pertanyaan kepada ibunya. Ada dua hal yang dikhawatirkan, pertama ibunya marah. Kedua, ibunya bersedih. Ia mencoba melirik ibunya. Kebetulan ibunya juga sedang mengamati dirinya. Zaniar mendesah.

“Kenapa diam?” Tanya Winarti.

“Benar ibu tidak marah?”

“Kamu pernah melihat ibu marah?” Winarti gentian bertanya kepada anaknya. Yang ditanya tersenyum.

“Belum pernah.” Jawab Zaniar senang.

“Makanya cerita saja….”

“Tapi mungkin kali ini ibu marah.”

“Seberat apa masalahnya sih? Menyangkut ibu ya?”

“Yaaa… begitulah.”

“Katakan jangan ragu Zan.”

Zaniar mengangguk. Gadis itu mengambil Si Bunga di atas meja kecil. Buku kecil tempat Zaniar menumpahkan segala perasaannya itu dibuka perlahan. Sampai pada catatan terakhir yang belum lama ditulis, gadis itu menyodorkan kepada ibunya. Wanita setengah baya itu menerima.

“Ibu pernah membuka buku Niar?” Kata Zaniar sambil menyerahkan buku.

“Tidak. Biarpun ibu bisa gampang saja membuka, tetapi ibu tidak berani, dan memang tidak ingin mencampuri urusan anak ibu ini.”

“Terimakasih Bu, ibu adalah orang yang baik. Sekarang ibu boleh baca ……”

Wanita setangah baya itu sebenarnya ingin membaca buku milik anak semata wayangnya sejak lama, namun keinginan dirinya selalu dapat ditekan. Malam ini anaknya menyodorkan buku itu untuk dibaca. Ia benar-benar ingin tahu apa saja yang ditulis anaknya. Perlahan perempuan setengah baya itu membacanya,

…….Aaaaah, aku baru ingat tadi pagi di sekolah Pak Layang marah-marah. Kenapa ya?Kenapa tadi Pak Layang ingin memberikan HP untuk ibu?.....

Zaniar mengamati perubahan raut muka ibunya. Namun hati gadis itu menjadi masygul ketika tak ada perubahan air muka ibunya. Ibunya menoleh ke arahnya.

“Siapa Pak Layang?”

“Lho? Mestinya Niar yang tanya ke ibu, siapa Pak Layang itu? Apa hubungannya dengan ibu. Mengapa Pak Layang mengenal ibu?”

“Oooo …. Pak Layang itu siapa Zan?”

Melihat ekspresi wajah ibunya yang serius, Zaniar heran. ***

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun