[caption caption="Jisoo "][/caption]
Pukul 14.00, waktu yang menyenangkan.
Keluar gerbang sekolah, Selma mengingatkan Ade agar jangan banyak melamun. Selma mengingatkan sahabatnya itu karena tadi padi Ade salah masuk kelas. Kemarin malah lebih parah, ketika habis makan di kantin gadis itu terus ngeloyor pergi. Selma yang harus nombokin.
“Kita istirahat di Kopi Apik!” kata Ade.
“Hoooiiiii...... ini masih siang. Kopi Apik itu bukanya ntar, jam setengah lima!”
“Terus kita ke mana?”
“Ya ampuuun Ade! Kita ke Bimbel. Apa Ade?”
“Bim-bel......”
Hampir sebulan ini dua sahabat karib ini sedang dilanda masalah. Masalah sepele, bahkan bagi sebagian orang itu bukan masalah. Jika sekolah kedatangan siswa baru apa ini masalah? Bukan. Itu hal biasa. Tapi bagi Ade itu adalah masalah.
“Selmaaaa... tolong aku!” kata Ade dulu ketika si anak baru, baru saja datang.
“Usaha sendiri kenapa?”
“Maluuu.... “
“Kalau malu ya sudah, kubur hidup-hidup simpatimu itu!”
“Jahat kamu Sel!”
“Memang apa menariknya anak baru itu sih?”
“Ganteng. Katanya namanya Jisoo, tampan seperti artis Korea itu.”
“Yeaah De, lebih tampan Lee Min Ho! Hidungnya mancuuung!” kata Selma menyebut pemeran utama serial Boy Over Flower.
“Gantengan Jisoo!”
“Iya iya... aku mengalah. Gantengan Jisoo, Tapi yang anak XII MIPA 8 itu Jisoo-nya adalah Aji Somantri, jadi Ji-So. Apaan tuuh? Nama kok lembur banget, nggak ada deket-deketnya sama aktor K-action!”
“Sel, bantu aku makcomblangin , aku pingin deket sama dia, tapi maluuuu....”
“Iiiih kamu De, kalau malu ya sudah sama teman sekelas saja.”
“Teman sekelas? Nowayyyy! Haroooom!”
“Hus! Bilang harom, kuwalat kamu De, jadian sama teman sekelas tahu rasa kamu!”
“Nowayyyy tahu!”
Beberapa hari berikutnya Ade dan Selma berlaku seperti detektif. Keduanya punya satu keinginan: Mengetahui dengan siapa saja Ji-So berteman. Yang sikapnya parah memang Ade, sepertinya ia benar-benar merasakan keinginannya kenal dengan Ji-So dengan sungguh-sungguh, tapi malunya juga sungguh-sungguh. Buktinya, setiap keduanya caper , lewat depan kelas Ji-So, Ade selalu berlindung di balik badan Selma. Mukanya kelihatan merah tegang. Tangannya memegang erat lengan Selma, seperti anak kecil yang takut ditinggal ibunya.
“Nhaaaa!!!!” tiba-tiba dari belakang ada teriakan.
“Astaghfirullaaaahhhh.... sabar, sabaar...... “ Selma berteriak kaget hingga terloncat.
Ade yang tidak siap akan kejadian itu masih memegangi lengan Selma. Begitu gadis itu terloncat, Ade terbawa. Karena tidak siap, gadis pemalu itu jatuh. Kemudian mulutnya menyeringai menahan sakit.
“Aduuuh .... sakit ya Neng?”
“Iya...lumayan... sssaliit..... “ kata Ade sambil memegangi lutut yang membentur lantai.
“Sini aku bantu....”
“Nggaak usah ... aku... bisa... bisaaaa.... ” dengan tertatih Ade berusaha bangkit perlahan, kemudian melihat siapa yang menawarkan bantuan. Perlahan ia menoleh.
“Aku bantu?”
“Aaaaaaaaaaaaaa.....!!!!” demi melihat siapa yang di dekatnya, Ade menjerit, kemudian berlari meninggalkan tempat.
“Ade! Adeeee.... aduuuuh... wah, itu anak kenapa?” Selma bingung melihat sahabatnya lari demi melihat Aji Somantri.
“Kenapa dia?” tanya Aji.
“Nggak tahu, kamu anak baru itu kan?” tanya Selma meyakinkan.
“Iya, anak baru. Kenalkan Aji Somantri Wiradiputra!” kata Aji sambil mengulurkan tangan mengajak kenalan. Selma menerima uluran tangan Aji.
“Selma.”
“Selma siapa?”
“Selma Junita..... kelasku itu MIPA 4.”
“Lhoooo ...... tadi .... nggg...... aku.... aku kayak lihat kamu di MIPA 5.”
“Hahaaa! Yang itu yaaaa?” kata Selma sambil menunjuk ke arah teras depan ruang kelas MIPA 5.
“Lhaaa..... lhaaa.... itu kamu kok di sana? Sakti ya?”
“Bukan.... Ajiiii.... dia ntu anak kembar.” Kini yang celutuk Rahmawan, teman Aji.
“Oooooohh ..... anak kembar? Aku paling malas berfikir tentang anak kembar.”
“Emang kenapa?” tanya Selma heran.
“Nguras energi, susaaah membedakan! Dia namanya siapa?”
“Selmi.”
“Selmi? Lengkapnya?”
“Selmi Junita.”
“Omaigaaad! Cuma beda satu huruf , a dan i !” kata Aji sambil garuk-garuk kepala.
Sejenak anak laki-laki yang bareng Aji, maju ke depan Selma mengulurkan tangan mengajak salaman.
“Apaan?” tanya Selma heran.
“Terima dulu .....” kata anak itu.
“Iya... yaa.... apaan sih?” tanya Selma sambil terpaksa menerima uluran tangan.
“Kenalkan, saya Rahmawan!”
“Aiiiiihhh..... sialaaan kamu ah! Huuuhhh!!” kata Selma sambil dengan cepat menarik tangannya. Rahmawan tertawa terbahak-bahak.
***
Minggu pagi Selma menunggu Rahmawan di Taman Dirgantara. Tadi malam gadis itu mengirim SMS, meminta Rahmawan menemuinya di taman. Terlambat tujuh menit dari waktu perjanjian dengan Rahmawan, akhirnya yang ditunggu datang.
“Terlambat Waaan! Tujuh menit!” kata Selma sambil melihat temannya yang memarkir motornya.
“Halaaah, hanya tujuh menit! Kultum juga tujuh menit!”
“Aaah norak kamu mah! Mana ada kultum satu jam!”
“Motormu mana Sel?”
“Ituuuu ... yang di sebelah motormu!”
“Ya ampuuun, motor baru?”
“Hiiih! Gemes aku! Itu... aduuuhh.... Mawan! Itu motor yang biasa aku pakai! Kamu nggak hafal?”
“Oooo nggak mogok?”
“Norak kamu! Kalau komen yang bermutu ah!”
“Mudah-mudahan mogok!”
“Mawaaaannnnnnn!!!! Hiiih!” Selma benar-benar gemas. Dicubitnya lengan Rahmawan dengan keras. Benar-benar keras. Pemuda itu meringis, benar, meringis kesakitan.
“Aduuuuuhh...... Selmaa.... Selmaaaa..... sudaaaah.... ssss.... sakiiit!”
“Norak kamu siiih!”
Rahmawan tidak menimpali kata-kata gadis itu. Ia sedikit menjauh, kemudian menaikkan lengan Tshirt-nya. Selma kaget. Gadis itu melihat lengan Rahmawan ungu kehitam, melemang. Mendadak wajah Selma menjadi pias.
“Mawan... Mawaaaan..... aduuuh.... Mawaannnn.....” kata Selma sambil memegang lengan Rahmawan, kemudian mengusap-usap dengan jemarinya.
“Sudaaah nggak apa-apa....”
“Tapi ini gosong.... ini gara-gara aku!”
“Biar, sudah.... sudah ... lupakan.... “
“Kita ke dokter dulu Wan?”
“Ngapain laah..... ntar juga hilang.”
“Kalau nggak hilang?” tanya Selma sambil melihat serius mata Rahmawan.
“Aku akan selalu ingat kamu Sel!”
“Iiiih...... Mawaaann!!!”
Selma gemas mengarahkan cubitannya. Rahmawan mundur.
“Jangan... ampuuunnn..... sudah! Sudaaahh ..... sakit Selmaaa!”
Pagi itu keduanya duduk di tenda tukang baso. Sambil menikmati makan, Selma mengutarakan maksud mengundang Rahmawan menemuinya.
“Ade suka sama Aji, Wan. Cuma dia nggak berani ngomong.”
“Oooo.... si Ade itu? Pantesan kemarin pas ditanya Aji malah terbirit-birit!”
“Itulah... itulah seperti yang kau lihat.”
“Jadi maumu apa?”
“Mungkin nggak, si Ade jadian sama Aji?”
“Jadian?”
“Iya... Ade naksir sama Aji. Wan, tahu nggak, si Ade itu kalau menyebut Aji itu apa coba?”
“Nggak tahu laah!”
“Ade menyebut Aji itu Ji-So, yaaa kayak Jisoo .... Korea!”
“Haduuuh.... Sel, tapi aku juga belum lama mengenal Aji. Memang kayaknya aku termasuk yang akrab dengan Aji, bahkan ke mana-mana bareng dia.”
“Nah makanya itu, tolonglah, kalau memang ada kesempatan, kenalkan Aji dengan Ade. Ade itu orangnya baik, ya memang dia pendiam, bahkan ekstrim kiri kayaknya. Tapi sepanjang aku bersahabat dengan Ade sejak kelas X, baru kali ini dia bilang suka dengan cowok!”
“Yaa... ntar aku usahakan ya....”
“Full info ya Waaan..... cakep deh!”
“Siapa yang cakep?”
“Siaapa? Aku ngomong sama sendok ini kok! Hihihi.....”
Sepemakan baso, ditambah beberapa jenak perbincangan, Selma merasa cukup. Keduanya sepakat untuk pulang.
“Hei Wan, tadi waktu baru datang kamu kok bilang, mudah-mudahan motorku mogok maksudnya apa sih?”
“Weeeh, galaknya muncul niiih..... I like!”
“Waaaan.... aku cubit lagi, mau? Mau?”
“Gini Sel, kalau motormu mogok .... kan... kan.. aku.....”
“Apa? Ngomong jangan diulur-ulur ah! Lebay!”
“Kalau motormu mogok, aku bisa ngeboncengin Selma.... hihihi.....”
“Iiiiihhhh..... amit-amit! Mending jalan kaki!”
Kata Selma sambil berlari meninggalkan . Gadis itu duduk di sadel, helm dipakai. Ketika kunci kontak mulai diputar, Rahmawan memanggil.
“Sebentar.... ada yang lupa Sel... tunggu....” kata Rahmawan mendekat.
“Apa?”
“Terima kasih ya?”
“Terima kasih apa?”
“Cubitannya! Hahaaaa!”
“Iiiiiiiih Mawaaannnn!!!!! Jangan ngomong itu lagiiiiii, sebel! Sebeeeellll!”
“Terakhir Selma....”
“Uuuh....”
“Dengarkan Selma....”
“Apa? Cepet ngomong!”
“Ntar malem kalau aku mau tidur, lebam ini akan aku usap perlahan, aku bayangkan Selma yang mengusap-usap kayak tadi.....”
Gadis itu melotot, namun tak menimpali kata-kata Rahmawan. Selma langsung tancap gas meninggalkan Rahmawan yang masih tersenyum sendirian. Perlahan pemuda itu melihat lebam di lengan kirinya. Ia tersenyum. Menggelengkan kepala sejenak, kemudian meninggalkan taman Dirgantara.
***
Sabtu pagi, Sabtu bersih.
Rutin, Sabtu pagi setengah jam mulai pukul 07.00 gerakan kebersihan kelas dan lingkungan dilakukan. Hasilnya? Bersih, tentu. Dan yang penting bagi anak-anak adalah saat penuh keceriaan dalam kerja.
Pukul 06.15 termasuk sangat pagi, Ade sudah memegang sapu ijuk. Ia mulai menyapu kolong meja. Beberapa helai sampah plastik bekas bungkus makanan mulai berkumpul.
“Aku bantu..... “
“Och.... “ Ade menghentikan menyapunya. Ia lihat Adriyan sedah menarik kursi sehingga dengan mudah Ade menyapunya.
“Kamu terlalu pagi. Mending biarkan hingga pukul tujuh nanti, biar kita sama-sama mengarjakan Sabtu bersih.”
“Risih lihat kelas kotor.”
“Di rumah suka nyapu?”
“Suka.”
“Hebat dong!”
“Wah, nyapu saja hebat, nggak laah....”
“Eh, De .... kemarin kamu nggak masuk kan?”
“Iya, sakit. Ada apa?”
“Ada anak baru nyasar masuk kelas ini. Ramai. Tapi kayaknya sih bukan nyasar, modus. Kayaknya dia mencari seseorang di kelas ini.”
“Kapan itu?”
“Kemarin, pas istirahat.”
“Anak baru yang MIPA 8?”
“Iya, dia, namanya Aji”
“Waaahhhh...... sayang sekali .....” Ade bergumam.
“Apa Ade?”
“Ji-So..... “
“Jisoo?”
“Dia cari siapa?”
“Katanya mencari gadis yang pernah terjatuh di depan MIPA 8.”
“Oooohhh..............”
Ade melempar sapu yang dipegangnya. Gadis itu berlari ke bangku paling belakang, kemudian tertelungkup. Adryan kaget. Ia mendekati. Tapi kemudian niatnya diurungkan. Pemuda itu garuk-garuk kepala meninggalkan Ade yang masih tertelungkup.
Tak lama berselang datang Selma. Melihat kedua orang di dalam dalam kondisi dramatis, gadis itu berhenti. Digeleng-gelengkan kepalanya.
“Kamu apakan Ade Dri?” tanya Selma galak.
“Apa? Nggak apa-apa kok!”
“Awas! Kalau ada apa-apa dengan Ade, kamu harus bertanggungjawab!”
“Huuuuh..... terserahlah.....!” kata Adrian hampir tak kedengaran.
Selma bergegas mendekati Ade. Ditepuknya pundak yang masih tertelungkup. Yang ditepuk pundaknya terbangun. Demi dilihatnya sahabatnya datang, Ade mendesah.
“Kamu diapain sama Adrian?”
“Enggak.”
“Lah kenapa kamu tertelungkup?”
“Malu.... kenapa tadi kenapa aku ngomong nama Jisoo pada Adrian. Jiso katanya mencari orang yang dulu jatuh di depan MIPA 8.”
“Oooo...... lebay kamu De!”
“Ah kamu! Ada info ada dari Mawan Sel?”
“Besok kelas MIPA 8 mau hiking ke Paralayang, mau mbuntutin nggak?”
“Trims infonya!”
Sekitar pukul sepuluh anak-anak MIPA 8 telah berangkat dari halaman sekolah. Dari kelompok itu tak tampak Rahmawan, sebab ia telah mengajak Selma mendahului ke Gunung Panten. Dari ketinggian kedua anak itu duduk melihat ke bawah. Panorama yang indah ciri kkas Majalengka tampak di matanya.
“Kasihan Ade..... “ kata Rahmawan membuka kata.
“Aku juga bingung bagaimana mau mengatakan kepada dia, nggak tega. Makanya kemarin aku hanya bilang mau ikut mbuntutin anak-anak kelasmu hiking ke sini. Aku suruh dia start di sekolah saja.”
“Coba kau telpon Ade.....”
“Iya, ya....”
Sela mengambil HP. Beberapa saat kemudian keduanya berkomunikasi.
“Ade... De ... kamu di mana sekarang?”
“Di depan ruang server.”
“Anak-anak sudah berangkat belum?”
“Sudah, sepuluh menit yang lalu. Kamu di mana Sel?”
“Aku sudah di gunung Panten, nunggu rombongan datang!”
“Ditunggu ke sini De, pakai motor boleh!”
“Nggak Sel..... nggaaaakkkk..... Jisoo telah berakhir. Aku tak mau lagi mengejar dia. Bayangkan Sel, Jisoo dikeruvutin tiga cewek. Aku nggak mau bersaing dengan mereka....”
“Kenapa De?”
“Nggak bakal menang.”
“De, kamu jangan bunuh diri. Nggak lucu!”
“Iiiih dasar kamu Sel!”
“Eh, kamu di sekolah sama siapa?”
“Ada teman.”
“Siapa?”
“Adrian.”
.........................................................
Usai menelpon Ade, Selma hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ia menoleh ke arah Rahmawan. Pemuda itu juga menggelengkan kepala.
“Misi kita gagal. Perburuan Jisoo gagal. Tapi ada untungnya Ade tahu sendiri seperti apa dia. Saya tidak mengatakan dia playboy, tapi memang dia disukai banyak teman ceweknya!” kata Rahmawan seperti bicara pada diri sendiri.
“Kita pulang yok?” ajak Selma.
“Pulang? Nggak ah.... kecuali naik itu tuuuh... naik gantole!” kata Rahmawan menuntuk jajaran gantole yang masih parkir.
“Kau saja yang naik. Memang berani?”
“Kalau bareng kamu aku mau!”
“Kacau! Gantolenya langsung nyungsep!” kata Selma sambil tertawa.
“Kalau mau pulang ya sono.. duluan... ntar aku nyusul.”
“Maksudnya?”
“Iya aku nyusul, pakai gantole.”
“Mau mendarat di mana?”
“Di Tajur! Hahaaaa......” kata Rahmawan menyebut nama desa Selma.
“Ngaco Wan!”
“Iya, aku mau mendarat di halaman rumahmu!”
“Nggak lucu!”
“Aku serius!”
“Iiiihhhhh....................” dengan refleks Selma mencubit lengan Rahmawan.
Rahmawan menjerit kesakitan. Selma kaget. Buru-buru gadis itu menarik cubitannya. Dengan wajah menyesal ia memandang pemuda itu menunggu reaksi. Rahmawan nyengir. Ia mencoba tertawa.
“Haduuuuuuhhhh..... maaf Waaan........ maaaafffff..... nggg....”
“Nggak apa-apa. Sudah, nggak apa-apa.”
“Lihat Wan....”
“Nggak apa-apaaa........ “ kata Rahmawan seraya mewingkis lengan bajunya.
Selma terhenyak ketika melihat lengan pemuda itu lebam ungu kehitaman.
“Waaaaaaann..... maaafin aku Waaaan..... “ kata Selma dengan mata berkaca-kaca.
“Nggak apa-apa...”
“Sakit ya?”
“Dikit.”
“Maaf ya..... “
“Alhamdulillah Selma berikan aku dua kenang-kenangan, kanan kiri. Ini tak akan aku lupakan Sel... Selmaaaa........ “
“Balas cubit saja aku sampai lebam Wan.”
“Ya nggak mungkin Sel, nggak akan. Nggak akan menyakiti sahabatku yang ..... yaaang....”
“Bilang saja yang galak!” sergah Selma cepat.
“Bukan galak sih .... apa ya? Aku suka banget melihat ekspresimu kalau sedang gemes Sel.... asliii.... sukaaa........ “
“Andai saja aku kaya Ade, pendiam.”
“Wah jangan! Nggak lucu, malah aneh nanti. Justru keunikanmu itu ada di sikapmu yang kayak sekarang Sel. Jadilah Selma yang alami ........... Selma yang menyenangkan kalau sedang gemes!”
“Mawaaaaaaannnn...... maluuuuuuuuuuuu!” kata Selma sambil menutup mukanya seraya bangkit dari duduk.
Gadis itu kemudian berlari menuju jalur turun dari bukit Gunung Panten. Rahmawan mengejar. Keduanya kemudian bersama menuruni perbukitan arena paralayang dengan berurutan. Selma masih tampak bingung. Sementara Rahmawan yang berjalan di belakangnya tersenyum, biarpun sesekali ia menyeringai menahan pedas di bekas cubitan Selma.
Malam hari pukul 21.23. Selma hendak berangkat tidur, tertahan ketika ada nada pesan masuk. Ia buka pesan masuk tersebut.
“Selma, membantu Ade dalam perburuan Jisoo telah berakhir. Namun Tim harus tetep solid, Masih harus ada yang kita temukan bersama ....., dan itu hanya akan tercapai kalau ada Selma di sisi Mawan.... selamat malam.”
Selma mendesah. Ia tak hendak menjawab SMS Rahmawan. Ia bahkan mematikan HP-nya.
***
Tanggal 12 Mei 2016,
Hari ini perpisahan akan dilaksanakan. Para siswa dengan baju resmi, stelan jas berdasi untuk alumnus laki-laki, dan dress panjang untuk alumnus putri. Keceriaan sangat tampak di wajah-wajah mereka. Inilah masa SMA, masa yang terindah bagi mereka. Masa persekolahan di mana mereka masih dididik oleh para guru dengan nasehat-nasehat yang mengalir bak sungai tanpa henti. Masa-masa menjelang pelesatan inner-potential, peralihan dari dari masa-masa cenderung pasif dalam interaksi, menuju masa-masa mandiri secara psikis.
Masa SMA adalah masa yang terlupakan. Banyak kisah, baik pribadi maupun dalam kebersamaan. Dinamika interaksi yang sangat humanistis ala anak-anak , biarpun secara fisik sudah dewasa, namun uniform putih abu-abu, akan tetap membawa makna anak-anak.
Ada friksi, konflik dan penyelesaian, belajar bersama, belajar saling membantu, belajar membangun empati terhadap keterbatasan teman, belajar menghargai perbedaan pendapat, belajar menggali potensi, belejar mandiri, belajar berkolaborasi dalam perbedaan potensi. Memupuk dedikasi, membangun karater diri dengan pertemanan, dengan persahabatan, baik sahabat yang akhirnya menjadi sahabat sementara, maupun yang akan tetap terjaga menjadi sahabat sejati sampai kapanpun.
Simpati, iba, rasa kekaguman, rasa cemburu, rasa cinta juga menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Cinta yang bertepuk sebelah tangan, cinta yang tak terucapkan karena ketidak beranian, cinta yang bersambut, cinta yang gagal, cinta yang memberikan pengalaman untuk memahami karakter di masa muda. Banyak pelajaran yang diambil dari pengalaman cinta.
Kekaguman terhadap teman yang berprestasi, kekaguman terhadap teman yang selalu berusaha walaupun gagal berkali-kali, kekaguman terhadap teman yang selalu mau berbagi, kekaguman terhadap teman yang selalu membuka ruang untuk menerikma curahan isi hati.
Kekaguman terhadap para guru. Kekaguman terhadap guru yang lucu, kekaguman terhadap guru yang rajin dan santun, kekaguman terhadap guru yang menginspirasi, kekaguman terhadap guru yang kreatif, kekaguman terhadap guru yang tangguh yang selalu mengerti kondisi para siswa, kekaguman terhadap guru yang memahami potensi dan bakat yang dimiliki, kekaguman terhadap guru yang tak pernah menunjukkan rasa lelah, kekaguman terhadap guru yang tak pernah marah, kekaguman terhadap guru yang mampu menjadi sahabat para siswanya.
Siapa yang memiliki kekaguman itu? Tentu, si putih abu-abu.
Semua ada di SMA Negeri 1 Majalengka, sekolah yang telah tiga tahun menjadi tempat bermain, menjadi almamater atau ibu asuh yang akan selalu mencintai dan mendoakan para alumninya.
“Selma ..... kenapa?” tanya Rahmawan melihat gadis itu termenung di ruang lobby, yang dihiassi gemericik taman air.
“Akhirnya aku harus berpisah dengn SMA ini .... dengan semuanya..... teman, sahabat, para guru ... lingkungan inah yang tak terlupakan.”
“Selma ingat, kau tak berpisah dengan semuanya. Baca SMS yang baru masuk..... “
Gadis itu membuka SMS, ia baca : “Selma, membantu Ade dalam perburuan Jisoo telah berakhir. Namun Tim harus tetep solid, Masih harus ada yang kita temukan bersama ....., dan itu hanya akan tercapai kalau ada Selma di sisi Mawan.... ”
“Kau kirim SMS ini lagi?”
“Kan yang dulu itu tak pernah kau jawab....”
“Apa yang harus kita temukan Mawan?”
“Selma ...... kita harus menemukan waktu yang sama, tempat yang sama untuk meyakinkan bahwa harapan Mawan akan bisa bersama Selma.”
“Aku masih ragu....”
“Dua kali Selma memberikan cubitan lebam di lenganku, bagi Mawan itu hadiah terindah di SMA ini dari Selma. Perpisahan hari ini bukanlah dengan semuanya, paling tidak bagi Mawan, ada gadis yang akan tetap memperhatikan lebamku, dan mengusap-usapnya dengan lembut...”
“Mawaaan.... aku ragu...”
“Kenapa?”
“Aku takut kamu akan kucubit ratusan kali ...........”
“Jangan takut Selma, cubitlah suatu saat... di saat kita dewasa, dan pada waktunya, cubitlah sepuasmu. Mawan saat ini hanya mengingatkan Selma, menunggu waktu enam atau tujuh tahun lagi bagi sebuah kekaguman bukanlah waktu yang lama Selma ... bahkan satu abad, untuk cinta terasa sekejap. Inilah waktunya yang tepat, di saat Selma berbaju spesial, aku memakai jas ..... “
“Wan ....”
“Selma saat ini aku katakan bahwa .... bahwa .... Mawan mengagumi Selma, entah karena apa Mawan tidak tahu. Cantik sudah pasti, tapi bukan karena cantiknya Selma.”
“Wan.... aku tidak tahu harus berkata apa.....”
“Selma, akan katakan cinta tapi bukan sekarang. Masih lama ...... bagi Mawan, sekarang adalah bibit. Saat ini aku mengagumi Selma .......... tunggulah enam atau tujuh lagi, semoga persahabat kita tetap terjaga, hingga saatnya kita, Selma dan Mawan bisa saling mengatakan cinta.....”
“Mawan yakin persahabatan kita tetap terjaga.... “
“Cubitan .... dua cubitan Selma, akan membuat Mawan tak mungkin melupakan Selma untuk selamanya.............. Mawan janji!” kata Rahmawan sambil mengulurkan tangan. Selma menerima uluran tangan Rahmawan.
“Wan ....”
“Apa Selma?”
“Aku juga mengagumi Mawan .... juga tidak tahu karena apa....”
“Iya terima kasih Selma, mari kita jaga rasa itu, hingga sampai saatnya. Jaga dan pupuk terus ...... Selmaku cantiiik...”
Keduanya beranjak meninggalkan lobby sekolah sebab acara akan segera dimulai.
“Selmaaaaa!” tiba dari depan ada yang berteriak menyambut dirinya.
“Siapa ini? Pangling deeeh!”
“Ade! Ini Adeeee.......”
“Astaghfirullah Adeeee..... pangling banget. Make-overmu amazing! Cantik yang satu diganti cantik yang lain. Laaaahhhh.... iki kok diantar Adrian?”
“Heheee iya Selma, Mawan! Adrian inilah Jisoo-ku yang sebenarnya!”
“Hahaaaa! Terlalu kamu Adeeee..... terobsesi terlalu dalam dengan bintang Koreamu!”
Keempat sahabat itu akhirnya bersama memasuki tempat kegiatan perpisahan. Selma, Ade dan Adrian dalam satu tempat karena memang mereka sekelas. Rahmawan memisahkan diri. Namun sejenak ia memberi kode ke Selma untuk mendekat. Rahmawan berbisik.
“Selma... ingat, tujuh tahun lagi!”
“Enam tahuuun!”
Rahmawan terperangah kaget. Ia tak menyangka Selma akan menjawab seperti itu. Dengan wajah ceria pemuda itu meninggalkan Selma. Selma tersenyum mengamati langkah Rahmawan yang tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. ***
Majalengka, 14 April 2016
* Edisi Request Ade – Selma Junita
Catatan buat Kang Hendro Santoso :
Lokasi Taman Dirgantara, di bunderan Munjul (perempatan yg ke kadipaten-majalengka-cibatu-cijati). Sekarang ada air mancur / patung ikan. Di taman Dirgantara ada pesawat tempur (bekas Perang Malivinas - bukan pesawat komersil).[caption caption="patung ikan - dok.pribadi"]
[caption caption="Taman Dirgantara - dok.pribadi"]
[caption caption="Pesawat - dok.pribadi"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H