Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel : Zaniar dan Ahmad Hong (4)

20 Maret 2016   23:22 Diperbarui: 20 Maret 2016   23:59 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="dok. Pribadi"][/caption]

 

4. Jago Silat Pesantren

 

Dari jauh mata memandang, hamparan sawah menghijau. Gunung Ciremai tampak menjulang di kejauhan. Warna biru maya kadang tersaput awan tipis yang berarak. Ketika awan-awan pergi tampak gurat-gurat pepohonan hutan di seluruh punggung gunung.
Di penghujung batas pandang hamparan sawah, tampak sebuah menara masjid menjulang melebihi tingginya pepohonan. Sejak setengah abad yang silam menara itu telah menjadi ikon desa Tretes yang dikenal dengan pesantren Babussalam-nya. Namun nama Babussalam ternyata tak lebih lebih lekat dalam ingatan masyarakat, baik di sekitar kawasan itu, maupun di luar kawasan, di luar kabupaten bahkan di luar provinsi. Nama pesantren Babussalam kalah pamor dengan nama Pesantren Tretes. Bahkan mungkin banyak yang tidak tahu bahwa pesantren yang dikenal dengan nama Pesantren Tretes adalah Pesantren Babussalam.
Nama Pesantren Tretes menjadi fenomenal dikenal banyak orang karena menelurkan banyak kyai-kyai mumpuni. Alumnus pesantren ini banyak menjadi tokoh masyarakat yang disegani, baik kyai yang murni atau beberapa kyai yang kemudian sambil terjun ke dunia politik. Di samping itu pesantren ini juga dikenal oleh masyarakat karena santrinya berdatangan dari seluruh penjuru pulau Jawa, bahkan dari luar Jawa. Banyak wakil dari suku-suku bangsa yang ada di pesantren itu. Misalnya Ahmad Sunaryo, dari Boyolali Jawa Tengah, Tegar Nasution dari Sumatera, Lalu Khoerul dari NTT, Alfian Tahulele dari Saparua, Nyoman Ardana dari Tabanan, Cut Fatimah dari Meulaboh Aceh dan masih banyak lagi. Tentunya yang paling banyak adalah dari wilayah Jawa Barat.
Gerbang utama Pesantren Tretes berada di sebelah selatan di jalan Kasampurnan II , dengan bangunan yang dikelilingi tembok memanjang hingga perempatan. Ke arah utara tembok sejajar dengan jalan Kasampurnan Utama sepanjang sekitar tiga ratus meter. Di tengah-tengah terdapat gerbang masjid Al Manaar. Seluruh kegiatan yang berkaitan dengan urusan administrasi, tamu-tamu dan sebagainya melalui gerbang selatan. Masuk gerbang akan langsung ke lobby pesantren yang terhubung dengan kantor sekretariat. Di timur sekretariat terdapat kantor yayasan, di sebelah kanan sekretariat adalah deretan puluhan asrama putra. Melewati halaman bertaman, ada balairung, sebuah bangunan arsitek Jawa berbentuk joglo. Di sebelah timurnya lurus adalah masjid Al Manaar yang pintu masuknya dari arah jalan Kasampurnan Utama.
Untuk kegiatan yang bersifat umum, di utara balairung terdapat aula, kemudian di pojok barat terdapat lapangan olah raga. Lurus dengan lapangan olah raga ke arah timur dipisah dengan taman adalah deretan asrama putri. Sedangkan di sebelah utara lapangan olahraga adalah rumah utama Kyai Mohlani, yang dikenal juga dengan sebutan Kyai Sepuh. Rumah yang cukup besar itu dihuni oleh beberapa keluarga sekaligus. Berdampingan dengan asrama putri adalah bangunan logistik harian semacam gudang, dapur dan sebagainya.
Di sebelah utara rumah utama Kyai Mohlani terdapat pintu gerbang penghubung dengan Madrasah Aliyah Ulil Albab milik yayasan, dengan di sebelah barat terdapat kolam-kolam benih dan perbesaran lele dumbo yang menjadi salah satu workshop wirausaha para santri. Ke luar area yang dikelilingi tembok ada sawah dan ladang milik yayasan pula yang digunakan untuk pelatihan pertanian para santri.
Pagi itu jauh di pinggir lapangan Kyai Mohlani berdiri. Kyai sesepuh Pesantren Tretes itu mengamati kegiatan sebagian santri di tengah lapangan.
“Hong Sin …. ke sini sebentar….” panggil Kyai Mohlani melalui HP-nya.
“Iya Kyai. Kyai ada di mana?”
“Di utara aula.”
“Dekat lapangan?”
“Ya.”
“Saya ke sana Kyai …”
Pemuda yang dipanggil Hong Sin, nama panjangnya adalah Ahmad Hong Sin. Pemuda berumur sekitar dua puluh lima tahunan adalah anak Kyai Mohlani. Pemuda turunan Tiong Hoa ini adalah anak angkat Kyai Mohlani. Sebelum menggunakan nama Ahmad, Hong Sin adalah seorang bayi yang dipungut Kyai Soderi, sahabat Kyai Mohlani , yang tinggal di Sambas Kalimantan Barat. Bayi ini ditemukan di tempat sampah. Oleh Kyai Soderi bayi Hong Sin diserahkan ke Kyai Mohlani atas permintaan kyai Tretes sendiri.
“Assalaamu’alaikum Kyai …. “ sapa Ahmad Hong ketika sampai di dekat ayahnya.
“Wa’alaikumussalaam. Kegiatan di mana?”
“Ah… enggak. Hanya membersihkan kolam sebentar. Ada apa Kyai memanggil saya?”
“Ooo itu, saya melihat anak-anak berlatih silat sendirian. Kamu tidak melatih mereka?”
“Nggg…. sedang memberi kepercayaan pada Jazman Kyai. Jazman tampaknya punya bakat beladiri yang menonjol dibanding teman-teman.”
“Diangkat jadi pelatih maksudnya?”
“Yaaa asisten lah Kyai.”
“Terus persiapan POR-santri bulan depan, apa yang belum siap?”
“Cabang silat putri.”
“Belum ada calon?”
“Sepertinya ada sih yang bakat dan ketrampilannya bagus sekali, tapi ….. dia bukan santri mukim.”
“Santri tamu?”
“Iya.”
“Anak mana?”
“Majalengka Kyai.”
“Ooooo…. Majalengka.”
“Siapa namanya?”
“Zaniar Kyai.”
“Zaniar …..emmm …. anaknya ada di lapang nggak?”
“Ada.”
“Benarkah dia yang paling menonjol?”
“Insya Allah begitu Kyai, paling tidak menurut saya begitu.”
“Kalau begitu nanti siang, habis shalat zhuhur suruh menghadap saya di balairung.”
“O boleh Kyai.”
Hari Ahad pagi menjelang siang hingga sekitar pukul 10-an secara rutin sebagian anak-anak santri melakukan olah raga. Bermacam-macam olahraga yang dilakukan. Ada yang jogging, silat, tenis meja dan olah raga lain yang tidak membutuhkan banyak biaya. Sebagian lagi ada yang memilih mengurus kolam ikan, atau berkebun dari pada berolah raga.
Zaniar sendiri sebagai santri tamu memilih mengikuti kegiatan silat. Tak banyak yang tahu perihal gadis ini ikut latihan silat, bahkan ibunya sendiri juga tidak tahu kalau anak gadisnya mengikuti olahraga keras tersebut. Zaniar sendiri sepertinya sangat menikmati kegiatan silat ini.
Usai latihan silat Zaniar dan membersihkan diri , gadis itu rebahan melepaskan penat di kedua kakinya. Sahabat sekamarnya Nurjanah, dan Fathonah telah ada di kamar terlebih dahulu.
“Capek Niar?” tanya Nurjanah sambil mengambil mukena.
“Yaaa lumayan capek.”
“Tapi biarpun capek, usai dzuhur kamu ditunggu mama Kyai Sepuh di balairung.”
“Apa? Saya dipanggil Kyai Sepuh?” Zaniar kaget hingga bangkit dari tidurannya.
“Iya. Kenapa kaget?”
“Siapa yang memanggil?”
“Tadi Nyai Sepuh ke sini, sambil mengabari Fathonah ada telpon dari orang tuanya, Nyai Sepuh juga membawa amanat untuk memanggilmu.”
“Ooo Nyai Sepuh….” kata Zaniar hampir tak kedengaran menyebut nama istri pimpinan pesantren.
“Naaah … ini berarti tidak main-main!” kata Nurjanah sambil tertawa.
“Ada kesalahan apa aku ini?”
“Hei, ini sebuah keberuntungan. Berarti kamu dikenal oleh orang nomor satu di pesantren Tretes ini!”
“Hmhh…. aku mau dipecat barangkali ….. “ kata Zaniar sambil kembali rebahan.
“Jangan ngaco Niar, mana mungkin memecatmu. Memang salahmu apa?”
“Aku juga tidak tahu. Di sekolahku juga begitu, banyak guru-guru yang tidak suka sikapku.”
“Aaaah bohong, mana mungkin kamu seperti itu. Kamu anak baik Niar!”
“Baik apaan?”
“Kamu jangan memujiku Nur. Aku tidak suka dipuji!”
“Hihihi…..”
“Kok tertawa?”
“Lucu saja! Di jaman orang sedang banyak yang berlomba untuk cari muka agar dipuji orang lain, kamu malah tidak mau dipuji.”
“Ya bukan begitu … aneh saja.”
“Kenapa?”
“Kamu adalah orang ketiga yang memujiku …”
“Hah? Begitu pelitkah orang-orang di sekitarmu?”
“Bukan pelit. Tapi memang aku tidak pantas dipuji!”
“Hihihi …. Niar, kalau aku orang ketiga yang memujimu, orang pertama dan kedua yang memujimu siapa?”
“Yang ke satu pasti pasti ibuku laaah!”
“Oooo ….. kenapa katanya?”
“Kata ibuku, aku anak rajin, suka membantu, bisa membantu masak, membuat gorengan, kueh, mandiri …… “
“Wuaaah! Itu berarti kamu memuji diri sendiri Nur!”
“Kalau begitu aku orang yang keempat memuji hihihiii….” kali ini Zaniar tertawa. Padahal dalam keseharian hampir gadis itu tak pernah tertawa.
“Yang kedua siapa Niar?”
“Pak Nanto.”
“Siapa Pak Nanto?”
“Wali kelasku di sekolah.”
“Gurumu? Dia suka padamu ya?”
“Tidak.”
“Tadi katanya dia orang kedua yang memujimu….”
“Iya. Tapi itu kan tugas wali kelas. Wajar kali ….”
“Apa isi pujiannya?”
“Kata Pak Nanto aku ini tajam pikiran dan mantap prinsip hidupku.”
“Kapan memujimu?”
“Baru kemarin siang!”
“Wow! Woooow…. Wooooooow……”
“Apa wow?”
“Itu artinya Pak Nanto suka padamu!”
“Ngaco!”
“Pak Nanto masih bujangan kan?”
“Duda!”
“Hah? Duda? Tapi masih muda kan?”
“Tiga puluh tahun.”
“Wow masih muda! Masih muda sudah duda…. duda mati istri atau cerai?”
“Duda ditinggal minggat istrinya!”
“Wow! Istrinya kenapa minggat?”
“Ya tidak tahulah …. aku ini muridnya Nur, masa Pak Nanto curhat sama aku, nanti malah aku dibilang kepo!”
“Apa itu itu kepo? Bahasa gaul ya?”
“Yaaah…. kamu sih anak pesantren Nur.”
“Apaan kepo?” tiba-tiba Fathonah yang sejak tadi diam nyelutuk.
“Hahahaaaa….. ternyata tuan putri Fathonah menyimak pembicaraan kita. Saya pikir kamu sedang sibuk belajar.” kata Nurjanah.
“Kepo apaan sih?” tanya Fathonah pada Zaniar tak peduli dengan komentar Nurjanah.
“Knowing Everything Particulary Object! Disingkat kepo! Pingin tahu hal-hal kecil, detail, menelisik ….” jelas Zaniar.
“Oooo ….. “
“Terus Pak Nantomu itu bagaimana?”
“Nah itu contohnya kepo! Mau tahu detail uurusan orang!”
“Hihihi ….”
Belum selesai berbincang, kentongan besar di serambi masjid terdengar ditabuh. Sejenak kemudian berkumandang adzan dzuhur. Ketiga gadis itu menghentikan pembicaraannya, kemudian bergegas ke masjid.
Pukul setengah dua siang Zaniar datang ke balairung. Di situ sudah ada Ustadz Hong Sin bersama Nyai Sepuh yang masih memakai mukenah bagian atas. Zaniar memberi salam.
“Assalaamu’alaikum!”
“Wa’alaikumussalam!”
“Zaniar, sini… sini.”
“Iya ustadz. Maaf di sini saja.” kata Zaniar duduk agak jauh.
“Sini dekat saya ….” kata Nyai Sepuh. Zaniar tak bisa menolak.
“Terima kasih Nyai.” kata Zaniar seraya menggeser duduknya.
“Niar …. kamu sudah tahu kenapa dipanggil ke sini?”
“Belum Nyai. Memangnya apa salah saya?”
“Salah? Kenapa kamu bertanya begitu?”
“Siapa tahu Nyai …”
“Tidak ada yang salah. Sebenarnya yang butuh bicara sama kamu itu Ustadz Hong.” Kata Nyai Sepuh seraya menunjuk Ustadz Ahmad Hong Sin.
“Benar Niar. Ini ada kaitannya dengan keahlian silatmu.”
“Silat? Keahlian yang mana?”
“Di mata saya selaku guru kamu, kamu memiliki dasar-dasar gerak yang bagus. Tampak ada bakat dalam dirimu.”
“Maksud Ustadz?”
“Pesantren memintamu untuk siap menjadi wakil dalam Jambore Pesantren.”
“Ooo..”
“Dalam jambore itu ada cabang silat yang dipertandingkan.”
“Tapi saya santri tamu Ustadz ….”
“Tidak jadi soal. Tak ada bedanya santri tamu dengan santri mukim. Yang penting kamu siap ikut pertandingan itu. Nanti kamu akan bertanding dengan wakil pesantren seluruh Jawa , dari berbagai perguruan seperti Tapak Suci, Persaudaraan Hati, Walang Sungsang, Ngudi Jati dan sebagainya.”
“Tapi saya belum pernah bertanding ustadz…”
“Ya tidak ada bedanya dengan latih tanding kita. Hanya sparing partnernya dari pesantren lain. Terus dinilai juga.”
“Malu ustadz.”
“Kenapa?”
“Kalau wakil pesantren bagusnya kan ikutnya lomba Hifdzil Qur-an, Tilawatil Qur-an, Khitobah …. ini malah berkelahi.”
“Oooo kamu mau ikut MHQ atau MTQ?”
“O tidak, tidak ….. saya tidak bisa apa-apa Ustadz.”
“Ya sudah kalau begitu. Berarti kamu mau ya.”
“Insya Allah Ustadz . Tapi saya harus bicara dan minta ijin sama ibu saya.”
“O iya, wajib itu. Nanti sore kan kamu pulang, setelah bicara sama ibumu kamu SMS saya, soalnya hari Selasa lusa harus sudah mengirim seluruh daftar nama peserta jambore daftar peserta lomba dan pertandingan.”
“Emmm…. nanti Senin siang saya ke sini lagi saja.”
“Senin siang?”
“Eh, maaf, bukan, bukan Senin siang, tapi Senin sore. Senin siang saya harus belajar dengan guru saya dan teman untuk menghadapi lomba di sekolah.”
“Lomba apa itu?”
“Olimpiade matematika tingkat kabupaten Ustadz.”
“Masya Allaaaahh….. Zaniar, kamu anak hebat. Kamu menonjol dalam silat, saya tidak menyangka kamu ternyata juga anak pandai di sekolah. Lihat Nyai Sepuh, Zaniar adalah gadis yang luar biasa , mumpuni segalanya…. hebat, hebaaat….”
“Mohon jangan memuji saya ustadz.”
“Ya tapi memang kamu pantas dipuji.”
“Kan lombanya juga belum, tahu berhasil apa tidak juga belum.”
“Lombanya kapan?”
“April Ustadz.”
“Jambore Pesantren bulan Juni, tanggal akhir. Kalau tidak salah setelah anak-anak sekolah kenaikan kelas ya?”
“Iya, kalau tanggal segitu memang telah kenaikan kelas.”
“Kalau begitu ya tadi, kamu SMS saya saja.”
“Maaf Ustadz, saya tidak punya HP.”
“Oooo …. tidak punya HP?”
“Ya.”
“Kenapa?”
“Tidak kenapa-kenapa.”
“Bukankah HP itu alat komunikasi yang penting? Untuk saling mengetahui keberadaan secara cepat, untuk keperluan lain juga.“
“Bagi saya dan ibu belum perlu.”
“Dengan teman-temanmu?”
“Hmh …. tidak tahulah Ustadz.”
“Oh, oh … ya sudah. Maafkan saya.”
“Tidak apa-apa Ustadz.”
“Jadi kesimpulannya kamu mau jadi wakil pesantren ya Niar?”
“Saya pribadi Insya Allah siap, tinggal menunggu ijin ibu saya ….”
“Zaniar …… “ Nyai Sepuh menyela.
“Ya Ibu Nyai ….”
“Kamu gadis yang unik. Kelihatannya kamu lain dari yang lain ….”
“Aaaah bisa saja Bu Nyai Sepuh.”
“Iya benar. Saya suka sama kamu ….”
“Terima kasih Bu Nyai …..” kata Zaniar tersipu.

***
Menjelang pukul 17.00 Zaniar pulang.
Meninggalkan pesantren ada perasaan bangga terbersit mengingat tadi siang baru saja dipanggil pimpinan pesantren. Namun sebenarnya berlatih silat bukanlah sebuah keinginan yang menggebu. Ia ingin memilih pendalaman di bidang lain seperti qiroat, tetapi gadis itu tahu diri bahwa suaranya tidak indah. Keinginan berlatih silat datang ketika ia ingat waktu kecil pernah diajak oleh ayahnya menonton film di lapangan Jatitujuh. Sebuah film silat dengan judul Pendekar Cantik dari Marunda.
Ingatan waktu kecil itu terbayang-bayang sangat lekat betapa seorang perempuan cantik dengan tubuh yang ramping lincah menjadi pembela kebenaran di jaman Belanda ketika menjajah Betawi. Zaniar mengobsesikan dirinya sebagai pendekar itu. Maka ketika ia menjadi santri tamu di pesantren Tretes dan ……………………

(Bersambung)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun