Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen : Rendezvous, Gunung Ciremai

27 Februari 2016   22:08 Diperbarui: 9 April 2016   23:59 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber gambar kabarrakyat.co"][/caption]

A-yu Nur-a-ma-li-a.
Gadis yang baru satu bulan naik ke kelas XII SMA itu mengeja nama pada kain bordir. Benar. Namanya sudah benar, tak ada yang salah. Setelah menerima border nama, ia menuju ke tukang jahit untuk memasangkan nama di jaketnya sekaligus. Tak lama. Hanya sekitar lima menit nama itu telah terpampang di jaket pecinta alamnya.
Usai memasang label nama, gadis itu melajukan motornya ke arah toko olah raga Ram’s Sport yang ada di kotanya.
“Cari apa teh?” sambut seorang pemuda dengan ramah.
Cover bag.”
“Buat apa?”
“Ada apa enggak?” tanya Ayu ketus.
“Iya buat apa?”
“Buat sekolah!” jawab Ayu sekenanya.
“Huuuu…. cover bag kok buat sekolah. Buat camping teh, buat naik gunung.” Kata pemuda itu sambil tertawa. Ayu kesal.
Cover bag ya buat itulah, buat naik gunung! Ada nggak?”
“Teh Ayu mau naik gunung?” pemuda itu bertanya sambil menyebut namanya.
“Eh, kok tahu namaku?” Ayu kaget.
“Tinggal mbaca saja di jaket si teteh kok!”
“Ooooo…… “ kata Ayu seraya mengeleng-gelengkan kepala.
“Kapan mau muncaknya teh?”
“Eh, Kak, ini saya mau beli barang kok malah ditanya yang bukan-bukan.”
“Beli apa?”
“Ya ampuuuun …. Cover bag. Merk Eiger, yang ori … “
“Mahal teh.”
“Huuuh …. ribed amat sih! Aku yang mau beli, apa dikira aku nggak punya uang.”
“Iya ….. iya …… jangan marah ah! Teh Ayu. Yang Eiger kayaknya stoknya nggak ada. Ada juga yang Consina.”
“Ooo ya sudah kalau nggak ada.” kata Ayu seraya beranjak pergi.
“Teh Ayuuuu … tunggu. Kalau mau cari di Cirebon, banyak!”
“Nggak nanya!”
“Kenapa harus cari yang Eiger?”
“Sudah janjian sama anggota lain, harus seragam.”
“Oh kejam sekali anggotamu itu Teh!”
“Enak saja!”
“Emmmhhh…. Begini, ini serius teh Ayu. Kalau memang harus Eiger, aku punya. Bukan barang baru sih.”
Second maksudnya?”
“Bukan. Saya tidak menjualnya. Kalau mau pakai saja dulu. Dipinjam … maksudnya saya pinjamkan dulu. Mau nggak?” kata pemuda itu menawari.
Gadis berhidung mancung itu diam sejenak. Tapi kemudian ia menggeleng.
“Terima kasih, nggak usah!”
“Sesama pecinta alam kok gitu. Jangan ngambek … katanya sesama pecinta alam itu kayak saudara. Betul nggak? Apalagi kalau di puncak, rasa sehobby, rasa sepikiran, rasa senasib, rasa sekesatuan dengan alam, kadang mengalahkan segalanya.”
“Memang si Kakak pecinta alam?”
“Hahaa! Nggak tahulah … tapi mau ya saya pinjamin cover bag Eiger, ori Teh Ayu, masih ada kartu garansinya. Sudah nggak berlaku siiih, tapi itu tandanya ori.”
“Mmmm…. gimana ya?”
“Teh Ayu sekolah di mana?”
“SMAN 1 Majalengka.”
“Ada kartu OSIS?”
Entah kena hipnotis apa, gadis itu menerima saja usul pemuda penjaga toko Ram’s Sport, Pikir Ayu, daripada nanti dikerjain teman grupnya, mending mengorbankan sedikit rasa malu. Tadinya ia mau meninggalkan kartu OSIS sebagai borg, tetapi tidak jadi. Kata Ramadhan, demikian nama penjaga toko Ram’s Sport, tak perlu menyimpan borg. Apapun itu. Apalagi kartu OSIS adalah kartu identitas yang selalu diperlukan di mana saja berada selama belum punya KTP.

***
Agustus 2015. Pagi menjelang siang, di Basecamp Apuy, kaki gunung Ciremai Majalengka.
Beberapa meter dari , grup Glatik Langlang tampak bersiap-siap membeli tiket pendakian. Grup yang merupakan kelompok remaja putri terdiri dari Ayu Nuramalia, Herlin Nurjanah, Erika Risva, Aini Nurbaina dan Tamia Tya. Sebenarnya ada satu grup pendamping yang terdiri dari anak laki-laki, tapi kelompok yang biasa berpasangan masih belum sampai.

[caption caption="gadis-gadis tanggung peandaki Ciremai - dok. Erika R"]

[/caption]
Kelompok ini akhirnya memutuskan untuk berjalan terlebih dahulu. Jalan setapak khas perbukitan, dengan alam sekitar yang masih belum terusik oleh tangan jahil manusia, benar-benar menjadi sahabat bagi mereka para pecinta alam, para pendaki gunung. Grup Glatik ini sebenarnya sudah satu kali melakukan pendakian ke puncak Ciremai, dulu ketika kelima gadis ini baru naik kelas XI SMA. Sekarang tampaknya mereka akan kembali mengingat kenangan-kenangan menyasyikkan selama perjalanan.
Hampir tengah hari Pos 1 Berod terlewati. Memulai meninggalakan Pos 2 Arban, suasana hutan mulai terasa. Tanaman pinus dan lainnya bercampur menampakkan keaslian hutan. Di sekitar jalan tampak pula pakis-pakisan beraneka jenis. Jalanan yang berbeda tekstur dengan perjalanan dari Pos 1 ke Pos 2 sangat terasa. Perlahan, catu energi dalam tubuh mulai keluar dengan serius.
“Masih lama Lin?” tanya Ayu yang berjalan paling belakang sambil berhenti. Tangannya memegang tongkat kayu semacam trekking pole. Herlin yang ditanya, menoleh. Tak hanya menoleh, ia melihat wajah Ayu tak seperti biasanya. Gadis itu menunggu sejenak.
“Kamu tanya apa Yu?”
“Masih jauhkah puncak?”
“Ya Allaaaah Yu….Yu, ini kan baru meninggalkan Pos 2. Nanti harus lewat Pos 3, Pos 4, Pos 5 dan terakhir sebelum Puncak di Goa Walet. Bisa ngitung nggak Yu? 3-4-5-6.!”
“Uuuuuhhh…..”
“Jangan menyerah, baru saja mulai!” kata Herlin sambil berbalik melanjutkan melangkah ke jalan yang semakin menanjak.
“Andai saja ada yang mendorongku dari belakang …… “ gumam Ayu. Rupanya Herlin mendengar.
“Apa Yu?”
“Andai saja ……. “
“Yang mendorongmu itu hantuuuuu!”
Sebenarnya yang dirasakan Ayu adalah tumit yang nyeri. Kemarin sebelum berangkat, ia mencari deker tetapi tak ketemu. Hingga akhirnya gadis itu memutuskan untuk melupakan barang itu. Rupanya barang sepele itu kini terasa manfaatnya. Andai saja deker tumit dan telapak kaki dipakai, mungkin tidak seperti ini.
Sebagai pecinta alam ia sering meneriakkan semboyan untuk melawan tantangan dan hambatan. Rasa sakit sedikit di tumitnya dianggap sebagai sebuah tantangan kecil. Maka dengan menghilangkan konsentrasi pada tumit yang nyeri, ia berusaka melupakan itu. Ia fokus pada jalan yang akan dilewati. Nyatanya hingga lepas dari Pos 4, gadis itu masih bertahan. Namun ketika pertengahan menjelang Pos 5 Sanghyang Rangkah, Ayu tampak semakin kepayahan. Beberapa temannya sesekali menoleh, tapi Ayu mengisyaratkan agar teman-teman terus berjalan jangan mempedulikan.
Hari menjelang pukul empat sore.
Erika yang sampai paling dulu di Pos 5, menunggu teman-temannya datang. Gadis itu minum beberapa teguk air bening. Ketika Herlin, Tamia, dan Aini datang gadis itu minta difoto.

[caption caption="erika di Pos 5 Sahyang Rangkah - foto dok. Erika R"]

[/caption]

Selesai difoto Erika mengedarkan pandangannya berkeliling.

“Ayu mana?” tanya Erika setelah beberapa saat teman yang terakhir belum datang juga.
“Masih di bawah… biar saja… “
“Kalau nyasar?”
“Hus! Ngaco kamu Ka!”
“Yaudaaah … ditunggu saja, apa disusul? Kalau sakit bagaimana?”
“Lha ya memang dia itu mengeluh kakinya sakit! Tumitnya, tumitnya sakit. Mungkin keseleo.”
***
Ketika teman-temannya semakin jauh, sebenarnya kondisi Ayu semakin payah. Kakinya dirasa semakin sakit. Maka jalannya semakin perlahan. Bahkan kadang-kadang ia bersedeku. Sesekali pula ia duduk di pinggir jalur pendakian itu. Beberapa pendaki dari kelompok lain yang lewat kadang ada yang menyapa sekedar basa-basi. Taka da yang tahu kondisi yang sebenarnya.
Hampir lima menit gadis itu duduk. Setelah dirasa berkurang sakitnya, gadis itu bangkit. Dengan tertatih-tatih Ayu berjalan dengan kondisi medan yang menanjak.
“Ayooo jalan!” tiba-tiba dari belakang ada suara keras, dan ada dorongan pada ransel hingga mendorong Ayu maju. Dalam kondisi tak siap, didorong semacam itu justru gadis itu terjerembab ke depan.
“Aaaaahhhckk!” gadis itu hampir terpelanting.
“Ayuuuu!” dengan sigap ada tangan menahan cover bag mencengkeram dengan kencang.
Nafas gadis itu tersengal-sengal. Tubuhnya tak jadi jatuh. Perlahan ia memperbaiki berdirinya dengan memegang paha depan. Perlahan mengangkat tubuh.
“Ooohh….. ooohhh….. aduuuh….. aaa… “ Ayu meringis menahan sakit.
“Ayu? Ayuu…. Kamu tidak apa-apa?”
Ayu menoleh ke arah orang yang menolong. Mendadak mata ayu melotot. Pandangannya menjadi ketakutan.
“Haaan… hantuuuu….. “ teriak Ayu sambil menutup mata serta berbalik. Tap! Ada genggaman kuat menahan pergelangan tangan.
“Ayu! Lihaaat!”
“Tiiii….. tiiiidaaak..”
“Ayu, apa-apaan? Ini aku?”
“Tak mungkin, tak mungkin …. tak mungkiiin.”
“Hooiii Ayu … Ayuuuuu…. Anak SMAN 1 Majalengka!”
“Oooohh…. “
“Hoooi bangun….. mana ada hantu ngomong kamu anak SMA. Lihat sini! Ini aku …..”
Perlahan Ayu menoleh. Genggaman orang yang baru datang dilepaskan. Tak salah. Dalam pandangan Ayu memang orang itu.
“Seharusnya kamu di Kadipaten.”
“Kadipaten apaan? Ini tadi Pos 4, mau Pos 5. Punggung Ciremai Yu.”
“Aneh ……”
“Yuuuu… sadar… sadar. Baca istighfar Yu, aku bukan hantu kan? Masa ada hantu nyuruh orang baca istighfar! Itu hantu tobat!”
“Asataghfirullah hal ‘adziiiim…..” perlahan gadis itu beristighfar.
“Minum dulu!” kata orang itu seraya menyorongkan botol air mineral yang telah dibuka tutupnya. Ayu menerimanya. Setelah minum, kesadaran gadis itu tampaknya pulih.
“Kakak … kakak yang di toko Ram’s Sport itukah?”
“Lhaaa itu…. Ituuuu …. kamu benar Yu. Maaf ya, aku nggak panggil teteh lagi ah! Habisnya kamu masih SMA sih, masih kecil!”
“Ooo…iii …. Iiiyaaa… iyaaaa.”
“Aku Ramayana. Rama, Rama ….” kata pemuda itu mengajak bersalaman mengenalkan diri.
“Ayu.” kata Ayu menyebutkan namanya.
“Sudah tahu.”
“Ah iya… iya…. “
Ketika wajah Ayu mulai tampak pulih dari rasa kaget, Rama mengajak Ayu duduk. Keduanya duduk. Ayu mengambil handuk kecil. Wajahnya yang berkeringat dilapnya hingga kering.
“Mana teman-temanmu Yu?”
“Sudah duluan. Memang aku suruh duluan.”
“Kamu terlalu, Kalau merasa tidak fit, seharusnya justru minta ditemanin salah satu.”
“Kasihan mereka Kak.”
“Apa yang terasa sih?”
“Tumit sakit. Tapi kok malah ketambahan yang lain. Agak pusing Kak.”
“Ooo … sekarang mau pulang saja?”
“IIiihhhh nggak lah. Kuat, aku masih kuat kok!”
“Ukur kesehatanmu sendiri Yu. Hanya kamu yang tahu.”
“Aku kuat. Pos lima sebentar lagi. Sayang. Rencana ntar di Pos lima mau menginap.”
“Benar kuat?” tanya Rama meyakinkan. Ayu mengangguk.
Beberapa saat ini Ayu merasakan ada energi lain. Ketika ditinggal teman-temannya, rasa putus asanya sebenarnya sudah hampir muncul, dan hampir mencapai klimaks ketika dirinya hampir jatuh. Kedatangan Rama di sampingnya kini seolah menambah energi baru. Beberapa kalimat sederhana yang datang dari pemuda itu, entah kenapa tiba-tiba menyuntikkan sebuah motivasi untuk tegar.
“Kita istirahat sebentar lagi, nanti aku temani ke Sanghyang Rangkah.”
“Iya Kak.”
“Eh Yu, tadi kenapa kamu ngatain aku hantu sih?”
“Aaaaahh ….. maaaf Kaaak. Maaf, benar, tadi itu nggak sadar. Saya tak membayangkan kakak ada disini, juga tak membayangkan kakak naik gunung. Pikiranku kakan kan di Kadipaten, lho kok ada di sini? Makanya aku kira kakak itu hantu!”
“Sembarangan kamu Yu!” kata Rama sambil tertawa terbahak.
“Maaafff… maaaffff…..”
“Iya, iya saya maafin! Orang ganteng kok dianggap hantu!”
“Hihihi…. eh iya Kak, saya duluan ya!” kata Ayu seraya bangkit dari duduknya. Rama ikut bangkit dari duduk.
“Duluan bagaimana? Bareng atuuh! Kamu belum sehat.”
“Sehat, sehat kok!”
“Kamu bawa tongkat nggak?” tanya Rama sambil melihat.
“Tadinya bawa, tapi nggak tahu tadi ketinggalan di mana.”
“Kalau begitu pakai trekking pole ini.” Kata Rama sambil menyodorkan.
“Nggak mau.”
“Pakailah. Nanti aku cari dahan untuk tongkat.”
Dengan terpaksa Ayu menerima trekking pole Eiger milik Rama. Setelah memberikan barang itu ke Ayu, Rama mengeluarkan belati, kemudian menghilang di rerimbunan hutan. Kira-kira sepuluh menit kemudian pemuda itu membawa tongkat kayu.
“Aku yang kayu itu saja…..” kata Ayu seraya menyodorkan trekking pole Rama.
“Ayu saja. Santai saja Yu.”
“Malu Kak, cover bag sudah dipinjami, ini lagi, trekking pole.”
“Sudahlah jangan dibahas. Ayo berangkat kalau sudah kuat. Mudah-mudahan sekitar pukul empat kita nyampai.
Setengah jam berselang Ayu dan Rama sampai di Pos 5. Begitu melihat Ayu datang bersama seorang pemuda yanag belum dikenal keempat temannya berjingkrak-jingkrak. Secara spontan mereka melantunkan lagu jenaka Cintaku Merangkak di Gunung Ciremai. Ayu yang merasa dikerjai teman-temannya memera wajahnya. Rasa malunya ditahan. Ia pasrah.
Malam itu dua rombongan laki-laki dan perempuan menginap di Pos 5. Di kelompok laki-laki kini bertambah satu sahabat sesama orang Majalengka, Rama.
***
Sunrise! Dalam hembusan angina dingin.
Momen yang selalu dicari para pendaki. Di kesempatan ini biasanya kapasitas memori kamera dieksploitasi untuk merekam keindahan yang mungkin lama atau mungkin atak akan dijumpai lagi. Tentu bagi yang sering melakukan pendakian, tak terlalu penting. Tapi bagi seorang seperti Ayu, tampaknya masa-masa bersama anggota kelompoknya akan sulit dilakukan di masa yang akan datang.
Momen demi momen, mulai dari bayangan masih berbentuk siluet hitam, hingga mulai temaram terang tanah tak dilewatkan. Ketika suasana semakin terang, wajah-wajah mereka semakin tampak. Pengabadian dengan kamera semakin intensif. Berbagai macam gaya dan beberan kertas atau spanduk berisi tulisan-tulisan salam atau respek kepada siapa yang dipikirkannya. Tentu, untuk diunggah melalui medsos.
“Sudah banyak fotonya Yu?”
“Lumayan Kak. Rasanya cukup.”
“Syukurlah kalau sudah cukup. Sekarang lihat ke arah timur …. apa yang Ayu lihat?”
“Gunung Slamet.”
“Pingin ke sana nggak?”
“Pingiiiinnn……. Pinggiin bangeeet…..”
“Hahahaaa… kamu kalah Yu! Aku sudah satu kali mendaki gunung itu.”
“Iiiihhhh ngiriiiii….”

"Cuma sayangnya waktu itu ke puncak Slamet sendirian , jadi nggak seru!"

"Kenapa?"

"Kalau ada Ayu bareng ke puncak, wow, pasti semangat!"

"Aaahh gombal!"

"Aku ingin punya rumah dekat gunung itu Yu. Mau ikut?"

"Nggak ah, jauh."

"Kalau dekat mau ikut?"

"Nggak ah! Ngomong apa sih!"
“Yaudah, yaudaah.... gini ... ntar, di Purbalingga naiknya lewat jalur timur. Dari kabupaten Purbalingga, kita ke arah utara, ntar kita naik dari Pos Bambangan. Pos pertama itu, kalau di sini Pos Berod.”
“Purbalingga? Aku punya guru asalnya dari Purbalingga lho!”
“Di SMA sini?”
“Iya, guru matematika.”
“Guru matematika? Dekat gunung Slamet, suka muncak nggak?”
“Enggak! Ih kayaknya boro-boro naik gunung, ke bukit Paralayang juga kayanya juga nggak kuat!”
“Hahaaa! Hei, jangan ngomongin gurumu, ntar kuwalat.”
“Tapi respect beliau ke anak-anak yang suka muncak cukup bagus lho. Pernah lho, pak guruku ini dikirimin salam dari Ciremai.”

[caption caption="puncak ciremai - dok bayu"]

[/caption]

“Oooo …. Jadi begitu ya?”
“Kayaknya beliau nggak punya waktu untuk muncak. Sukanya nulis karangan. Katanya sih dikirimkan ke kompasiana atau apa itu. Nah sekarang kayaknya malah lagi kewalahan nulis cerpen request dari murid-muridnya yang manja.”
Cerpen request?”
“Iya, itu seperti Erika yang anggota Glatik, itu pernah jadi artis cerpen lho.”
“Wuaaaahh…. kamu nggak request Yu?”
“Nggak tahu ah, ntar kisahnya tentang apa sih ya? Repot kan?”
“Kisah kita berdua saja Yu.”
“Kita siapa maksudnya?”
“Kita, aku dan kamu , Ayu dan Ramaa hahaaa…..!”
Ayuuuuuuuuuu! Kak Ramaaaaaaa!
Dari kejauhan Herlin dan Erika berteriak bersamaan memanggil Ayu dan Rama yang semakin tampak akrab. Keduanya menoleh, kemudian mengibas-ngibaskan pantatnya yang kotor oleh pasir. Keduanya siap untuk kembali turun gunung.
Trekking pole-nya Kak!” kata Ayu sambil menyodorkannya ke Rama. Rama tersenyum menggeleng.
“Untuk Ayu saja.”
“Aku yang kayu saja!”
“Untuk kenang-kenangan buat Ayu. Ntar kalau Ayu sudah jadi orang tua, dipajang di dinding ruang tamu!”
“Iiihhhh norak!”
“Norak apaan? Trekking pole ini bagus lho, unik kalau dipajang di dinding. Apalagi dikasih pigura. Cakep! Yang nggak bagus dipasang di dinding kan cover bag, sepatu gunung, tenda  …. ituuuu…..”
“Bener buat Ayu Kak?”
“Iya. Simpan ya?”
“Waaahhh terima kasih Kak.” kata Ayu pelan. Hatinya sangat senang.
“Simpan ya …. “
“Iya, iyaaa…..”
“Nyimpannya sampai ke hati juga boleh….”
“Iiiiihhh….. “
Perlahan gadis itu berbalik badan. Ranselnya diturunkan. Ia tampak seperti mengeluarkan sesuatu. Ransel kembali dinaikkan ke punggung.
Sambil membalikkan badan, tangan Ayu berhenti tepat di depan dada Rama.
Trek!
Rama terkejut. Sebuah pisau lipat merk Krisbow dengan tombol kecil pembuka telah tersorong dengan ujung runcing di dada Rama.
“Apa-apaan Yu?” roman muka Rama pias.
“Untuk Kak Rama …..” kata Ayu sambil membalikkan pisau lipat. Tangan gadis itu memegang bagian logam, gagangnya disodorkan ke Rama.
“Ooooh ….. Ayuuuuu… ayuu .. kirain kamu mau bunuh aku ….. “
“Ah kakak mah bisa saja. Jelek ah kalimatnya!”
“Lebih jelek kelakuan Ayu tadi, masak membuka pisau lipat di depan dada orang.”
“Heheee…..”
“Kaget tahu!”
“Iya, maaaaffff…. maaaffff….”
“Hhhhh .... inilah kelemahanku, kalau Ayu sudah ngomong minta maaf, aku suka luluh Yu. Kayak kemarin waktu Ayu memanggil aku hantu!”
“Heheheee…. Iya, maaff…. Kak….”
“Hmh…”
“Kak…..”
“Apa?”
“Simpan pisau ini buat kenang-kenangan ya….”
“Beneran nih?”
“Iya bener kak. Simpan ya Kak, kenang-kenangan dari aku, nanti kalau kakak sudah berkeluarga, pasang di dinding ruang tamu. Kayak trekking pole yang dari kakak.”
“Uuuuh… Yu , kakak jadi sedih rasanya… membayangkan nanti. Maksudnya kalau aku ingat Ayu, lihat saja pisau ini ya?”
“Heheee.... iya .... tapi….., ada tapinya…. “
“Tapi apa?”
“Tapi jangan bilang sama istri kakak kalau pisau itu dari Ayu.”
“Hahahaa.... Ayu ngajak aku selingkuh perasaan ya? Suruh nyimpan rahasia indah kepada istri ya? Kenapa?”
“Aaaahh…… nggak ahhhh…… jadi baper niiiih…… mau nangis….. “ kata Ayu tak bisa menahan tawanya.
Gadis itu tertawa sambil memalingkan muka. Beberapa saat kemudian gadis itu mendahului turun dari puncak Ciremai dengan membawa Trekking pole pemberian Rama. Melihat Ayu turun dengan tawa yang ditahan, Rama hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ayu… aaah…. terima kasih pisau Krisbow ini, gumam Rama. Rama mencium pisau itu tanpa sepengetahuan Ayu.
Beberapa saat kemudian Rama menuruni puncak Ciremai menyusul tekan-teman lainnya.
***
Sore di sebuah rumah asri bercat hijau.
Rumah itu berada sebelah timur jalan raya Bojongsari Purbalingga, tepat menghadap ke arah barat. Dari teras yang nyaman itu pandangan akan langsung tertuju kepada kemegahan gunung Slamet. Posisi rumah itu memang sengaja dipilih, sebab penghuninya seorang yang respek terhadap gunung. Bahkan ada yanag pernah mendakinya.
“Mamaah…. maaahhhh….. Edel minta pisau itu tuuuh! Yang di sana….” tiba-tiba dari teras seorang gadis kecil umur sekitar tiga tahunan berteriak sambil menarik tangan ibunya.
“Pisau yang mana?”
“Yang di sini niiih … ah mamah sih!” gadis itu menarik lengan ibunya hingga mau tak mau ibu itu mengikti kemauan anaknya.
Anak kecil itu ternyata membawa ibunya hingga ke ruang tamu, kemudian tangannya menunjuk-nunjuk. Ayahnya yang sedang asyik membaca ikut memperhatikan yang baru datang.
“Edel minta apa sayang?” tanya ayahnya.
“Itu pisau yang di atas Yaah, Edel mau main masak-masakan dengan rumput di depan.”
“Edel sayaaang …. nggak boleh main pisau dulu ya. Nanti kalau Edel sudah besar, sudah masuk SD, baru boleh. Tajam pisau itu …..”
“Main yang lain saja dulu ya?”
“Iya deh Mah ….. daah Mamah… daaah Papaaah!” kata gadis kecil itu berlari ke luar rumah kembali bergabung dengan beberapa teman di halaman.
Sepeninggal gadis kecil bernama Putri Edelweiss, kedua orang tua gadis kecil itu berpandangan. Sang suami menunjuk ke arah pisau yang dipasang dalam pigura berukir. Istrinya tersenyum.
“Mah, duduk dekat sini ...... " kata suaminya sambil tertawa.

"Ih, romantis kayaknya niiih"

"Enggak romantis. Ini malah tentang rahasia Mah..."

"Rahasia? Rahasia apa?"

"Hari ini kayaknya ada rahasia yang sudah lama Papah simpan… tapi Mamah nggak boleh marah.”
“Ya tergantung kasusnya laaahhh…..”
“Dulu sebenarnya ….. sebenarnya pisau itu hadiah dari teman baru Papah waktu naik ke gunung Ciremai.”
“Ooooo…… “
“Marah kan?”
“Enggak, lanjutkan Pah, aku siap nyubit niiih!”
“Gadis itu berpesan gini, Simpan ya Kak, kenang-kenangan dari aku, nanti kalau kakak sudah berkeluarga, pasang di dinding ruang tamu, tapi jangan bilang sama istri kakak kalau pisau itu dari aku.”
“Dia bilang begitu?”
“Iya.”
“Wah ….. jadi Papah memendam rahasia ini ya?”
“Iya, maafkan Papah ya Mah.”
“Papah menyimpan rahasia? Biaaar! Memangnya Papah saja yang punya rahasia?”

"Mamah menyimpan rahasia juga? Wah maaf ya Maaah. Rahasia mamah apaan sih?"
“Dulu ketika di puncak Ciremai ada juga yang ngasih kenang-kenangan.”
“Di puncak Ciremai ngasih kenang-kenangan? Romantis banget?”
“Ya iya laahhhh….. dia bilang gini Pah, untuk kenang-kenangan Yu. Ntar kalau Ayu sudah jadi orang tua, dipajang di dinding ruang tamu.”
“Apa kenang-kenangannya Mah?”
Trekking pole, itu yang dipajang di dinding…. hihiiii. …… “
Laki-laki itu tersenyum. Istrinya mendekat duduk di dekatnya. Bibir wanita itu tersenyum. Ia tatap mata suaminya hingga lama. Perlahan suaminya memegang jemari istrinya.
“Terima kasih sudah menyimpan kenang-kenangan dariku Mah…..... kaukah yang namanya Ayu Nuramalia?”

"Oh iya benar kak, kakak siapa namanya?"

"Ramayana.... berarti istriku ini yang dulu aku kasih trekking pole?"

"Kak Rama yang dulu aku kasih pisau Krisbow."

"Iya ..... "
“Oooooohhh terima kasih Kak Rama,  pisau Krisbow itu masih kakak simpan.”
“Kalau bukan gadis cantik yang pesan untuk menyimpan, mungkin aku tidak akan mau menyimpannya. Rupanya Allah mengirim aku ke ketinggian Ciremai untuk menemukan keindahan, keindahan Ciremai, juga keindahan Ayu. Apalagi hhhmhhh.... hidungnya yang mancung Ayu …. aduuuuh….. dari dulu sebenarnya Papah ingin menyentuhnya, tapi takut dosa.”
“Alhamdulillah, di puncak Ciremai Allah mengirim pemuda yang masih ingat dosa.”
“Ayu…. “ kata Rama perlahan.
“Iya Kaaak….”
“Simpan cinta Rama sampai akhir hayat ya….” kata Rama perlahan. Mata Ayu berkaca-kaca. Ayu mencoba tersenyum. Namun tertahan oleh rasa harunya. Perlahan Rama mendekap istrinya, membenamkan wajahnya di dadanya.
“Insya Allah Kaaak….. “ jawab Ayu hampir tak terdengar.
Ayu ingat benar, sekembalinya dari pertemuan di puncak Ciremai ia semakin akrab dengan Rama, tetapi keduanya saling menjaga jarak. Tak banyak kata dan pertemuan. Tapi rupanya cinta memang telah memberikan kepercayaan yang dalam bagi keduanya. Hingga setelah Rama mengembangkan usahanya di wilayah Purbalingga, laki-laki itu mengkhitbah gadis yang dicintainya tanpa pacaran.
Kini di rumah yang tenteram itu ada Putri Edelweiss, anak mereka. Ada trekking pole dan pisau lipat Krisbow di dinding, yang selalu mengingatkan tentang bibit-bibit cinta mereka di puncak Ciremai. ***

*edisi request Ayu Nuramalia

1. Berpose memulai pendakian

[caption caption="masuk Pos 1 - dok. Ayu Nuramalia"]

[/caption]

2. Ayu di puncak Ciremai

[caption caption="di Puncak Ciremai - dok. Ayu Nuramalia"]

[/caption]

3. Ayu , Trekking Pole dan Pisau Krisbow

[caption caption="foto dok Ayu Nuramalia - kre. pribadi"]

[/caption]

 

.

.

Jejak cerpen request :

1. Safir Biru Cintaku - request Shafira Aulia Rachmadyanti

2. Dosen Simpanan - request Rozica Ardelia

3. Kau Terlambat Hilal (bersambung) - request Seorang Ibu Guru

4. Kembalilah Kepadaku Topaz Aini (sambungan No 3) - request Seorang Ibu Guru

5. Syal Rajutan Fia - request Alifia Rizki Farhani

6. Amarilys Kembar - request Erika Risva Rahayu

7. Hantu Gunung Ciremai - request Ayu Nuramalia

8. Sunset di Kuta, Cinta di Majalengka - request Herlin Nurjanah

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun