Sosiologi Jawa, sejak jaman dulu telah memberikan sebuah paribasan Urip Iku Kaya Cakra Manggilingan . Cakra Manggilingan = selalu berputar seperti kincir (Bausastra Jawa Halaman 54). Perluasan maknanya adalah, hidup itu ibarat perputaran roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Tentu ini terlepas dari pendapat kaum yang ngeyel : Lah kalau rodanya macet? Hidupnya di bawah terus! Prediksi memang menganalogikan dengan hal tersebut di atas, akik jaya, suatu saat akik merana.
Mayoritas masyarakat kita tahu, dari pertengahan tahun 2014 hingga awal tahun 2015 tren suka batu akik (bahkan tergila-gila) telah menjadi catatan sejarah tersendiri dalam urusan hobby . Para penggemar batu akik ( dan batu mulia) asli, para penggemar yang ikut-ikutan, para pencari peluang bisnis dalam tren batu akik, dan para penggembira yang tak terkatagori ikut meramaikan tren ini.
Di setiap trotoar di setiap kota, dapat dipastikan terdapat lapak dagangan batu akik. Para pemburu batu akik pun begitu banyak merubungnya, hingga yang berjualan tak kelihatan dari kejauhan karena terhalang para penggemar. Para pengrajin pun membuka kios di mana-mana. Omzet per haripun sangat menggiurkan. Bahkan di beberapa daerah (kabupaten Purbalingga misalnya), mewajibkan PNS-nya menggunakan batu akik dalam cincin atau bros. Para penggemar asli, yang dulu hanya beberapa orang, saat itu bisa berbagi pengalaman dan bercerita panjang lebar tentang akik. Koran, buku, atau berita melalui media audio visual akan menjadi bahan perbincangan yang sangat menarik.
Belum lagi dukungan dari pemerintah atau pengusaha yang begitu getol menyelenggarakan festival batu akik atau kontes batu akik. Ujung-ujungnya batu-batu yang berhasil menjuarai kontes, biasanya disetting untuk tampil dalam lelang batu akik. Trik dagang, apalagi kalau bukan kea rah ini tujuannya.
Tapi sekarang, di detik-detik akhir penghujung tahun 2015 apa yang terjadi dengan per-akikan ini?
Mati Sungguhan atau Mati Suri?
Hari Minggu yang baru lalu, saya sengaja berjalan-jalan menyusuri tiga buah kabupaten, Banyumas (tepatnya Purwokerto), Purbalingga, dan Banjarnegara. Ibaratnya seorang peneliti, gayanya seperti sedang mengambil sebuah sampel. Tentang apa? Apalagi kalau bukan kondisi per-batuakikan. Saya hanya ingin meyakinkan diri bahwa isu-isu yang beredar (sekitar pertengahan 2015) tentang hilangnya tren kegemaran masyarakat akan akik, menjadi kenyataan di penghujung 2015. Artinya, akik akan mati di ujung 2015.
Kondisi-kondisi semacam inilah yang tampak selama pengamatan saya :
1. Di pasar batu jalan Jenderal Soedirman Purwokerto , tampak sepi.
Enam bulan lalu pasar ini sangat ramai, bahkan berjubal-jubal.