Meriah. Harus! Gembira. Harus! Bermanfaat. Harus!
Dengan berbekal keinginan untuk menyatukan meriah-gembira-bermanfaat, kami mencoba membeber kanvas tanpa batas bulan Oktober untuk kami warnai sesuka kami tentunya. Semacam mural yang akan menggambarkan ekspresi kebebasan, inilah yang kami usung: Oktober harus berwarna!
Legenda Oktober
Oktober telah terlanjur menjadi ikon sosok pemuda yang bersumpah dengan tiga sumpah sakti. Berbangsa satu, bertanah air satu dan berbahasa satu : Indonesia. Penggambaran tentang berbangsa dan bertanah air satu mungkin telah “dihabiskan di bulan kemerdekaan Agustus” dalam bentuk karnaval nusantara. Jadi, tinggal satu yang belum diekspresikan di bulan kemerdekaan yakni : Berbahasa.
Bahasa, teori, tatacara, produk, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa tampaknya akan lebih banyak memiliki rentang waktu penggarapannya. Maksud dan analoginya begini : Karnaval ya karnaval sudah. Bayangkan jika berkaitan dengan kebahasaan, misalnya sayembara menulis, tentu waktunya panjang.
Tampaknya ikon Oktober menjadi ikon bahasa, demikian pula sebaliknya. Tentu dalam hal ini Bahasa Indonesia. Sebuah makhluk yang tengah hidup di tengah-tengah desakan dan tekanan bahasa-bahasa gaya baru semacam bahasa prokem, sekarang alay. Memurnikan kembali rasanya cukup sulit. Mengadopsi kosa kata baru (daripada menolak) bahasa semacam prokem dan alay, rasanya masih belum tega. Para pakar belum terbuka hatinya (dan mungkin tidak akan pernah terbuka) untuk memasukkan kosa kata prokem dan alay ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
SMA Negeri 1 Majalengka Jawa Barat Mewarnai Oktober
Telah cukup lama Smansa Majalengka (beginilah sebagian kami menyebut nama SMA Negeri 1 Majalengka) secara rutin mewarnai Oktober dengan sesuka hati. Yang penting adalah meriah-gembira-bermanfaat. Tercatat tiga tahun terakhir warna Oktober di antaranya, tahun 2013 dilaksanakan lomba baca cerpen dan tepat tanggal 28 Oktober 2015 dimeriahkan dengan “Gelar 1000 Angklung”. Gelar angklung bukan sekedar ekspresi bermain music, tetapi juga sebagai perwujudan ketrampilan membuat angklung dalam pelajaran prakarya. Saat itu, satu siswa diwajibkan membuat minimal satu buah angklung, sebagai ekspresi kesenian, sekaligus dari sisi kriya-nya memperoleh nilai di rapor.
Warna Oktober 2013 - Gelar 1000 Angklung (Buatan Siswa Sendiri)
Oktober tahun 2014 Smansa Majalengka menggelar acara lomba penulisan cerpen dan interaksi langsung antara siswa dengan praktisi kepenulisan. Siapa yang tidak kenal dengan kompasianer kahot semacam Mas Thamrin Sonata dan Kang Rifki Feriandi. Nah dua tokoh kompasianer kahot inilah yang sengaja kami datangkan dari Jakarta untuk berbagi pengalaman bermanfaat tentang menulis, trik dan tips menulis. Motivasi untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi kepenulisan para siswa ini semakin lengkap ketika Kang Rifki Feriandi memamerkan bukunya Cara Narsis Bisa Nulis. Benar-benar para siswa mabuk kepayang, dengan berebut ingin memiliki buku Kang Rifki tersebut. Manfaat yang kami rasakan, termasuk motivasi yang tidak langsung waktu itu adalah Kang Rifki Feriandi menyumbangkan sekitar 25 buku untuk perpustakaan dan kelompok ekstrakurikuler Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI) Smansa Majalengka.
Dua kompasianer kahot Mas Thamrin Sonata dan Kang Rifki Feriandi pada acara Semarak Bulan Bahasa di SMA Negeri 1 Majalengka ( Warna Oktober 2014)
Tahun 2015 kali ini kami memutuskan untuk mewarnai Oktober dengan menggelar acara selama 2 (dua) hari. Hari Rabu 21 Oktober 2015 diselenggarakan lomba Pagelaran Baca Puisi Kolosal dan Lomba Sinopsis Cerpen. Di hari Kamis 22 Oktober 2015 kami melengkapinya dengan dua acara yakni Seminar dan Apresiasi Film Pendek Majelengka, serta Workshop ke-Photografi-an.
Tema yang kami turunkan cukup berat yakni Mengukir Sastra Dalam Goresan Tinta Emas. Kami sendiri juga terperangah (dan juga malu) , tapi akhirnya kami putuskan tetap memakai tema ini. Alasannya : Sesuatu yang besar dimulai dari mimpi-mimpi yang besar, bahkan mimpi yang teramat besar.
Dua hari para siswa tidak melangsungkan Kegeiatan Belajar Mengajar (KBM) di kelas itu pasti. Namun jangan lupakan bahwa acara-acara yang kami kemas selama dua hari dalam rangka memeriahkan bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa adalah kemasan lain bentuk KBM. KBM tidak harus di kelas. Dalam peringatan bulan bahasa model tersebut, mata pelajaran sejarah tersirat, mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan tersirat, mata pelajaran prakarya mata pelajaran untuk urusan property, mata pelajaran Bahasa Indonesia apalagi, dan masih banyak implementasi makna dan amanat kurikulum yang masuk ke dalam kegiatan yang tentunya tidak tersekat-sekat lagi, tetapi silih kait, saling mengisi, saling mengumpan, saling menarik hingga menjadi sebuah harmoni yang dapat menjadi bahan pelajaran, terutama olah diri, olah rasa, dan tentunya pendidikan karakter.
Semisal Lomba Pagelaran Puisi Kolosal. Konsep datangnya dari penggiat sastra dalam ektrakurikuler SSSI yang berkoordinasi dengan pengurus OSIS. Jadilah sebuah sajian kompetisi antar kelas yang sangat kreatif, motivatif, dan tentu sangat menghibur. Model ini sebenarnya mengadopsi musikalisasi puisi ditambah dengan teatrikal. Kata kolosal sendiri didekatkan maknanya kepada kuantitas peserta. Tiap kelas barangkali hampir separo ikut terjun berpartisipasi dalam tim. Misalnya 6 orang membaca puisi, empat menjadi pengiring musik, sekitar 10–15 menjadi peserta gelaran teatrikal. Praktis, pegelaran ini memang membangun makna kebersaman dan kekompakan antar peserta dalam kelas. Bisa dibayangkan, sekolah kami sebanyak 35 kelas, yang diwajibkan berpartisipasi adalah 21 kelas, terdiri dari kelas X dan XI, berapa lama waktu yang dibutuhkan? Benar-benar ada warna Okober di sana.
Pembagian Hadiah
Lomba Sinopsis Cerpen
Sebagai sebuah program sekolah yang positif, tentu sekolah kami akan tetap berusaha melestarikan kebiasaan yang kami nilai cukup bermanfaat. Memang jer basuki mawa bea , untuk menjadi maju dan berprestasi pasti butuh biaya. Sebuah konsekuesi yang wajar. Tapi biarlah itu menjadi tanggungjawab pengelola dana (baik dari dana BOS atau yang lain).
Potensi untuk keberlangsungan rasanya masih tampak. Kegiatan dan karya kepenulisan siswa cukup banyak terdokumentasi. Kadang kami tdak menyangka juga, bahwa banyak siswa yang mampu untuk mengeluarkan ide dalam bentuk tulisan. Potensi lain secara formal, dukungan guru Bahasa Indonesia sebanyak 7 (tujuh) orang rasanya sangat cukup. Bahkan dua periode kepemimpinan sekolah dari tahun 2007 hingga sekarang, kepala sekolah dua-duanya berlatar belakang guru Bahasa Indonesia.
Sementara itu, di sisi yang paling sisi, terdapat pula dukungan (terutama dengan masukan) guru-guru yang punya hobi menulis. Memang memalukan jika guru-guru kelompok yang ini disebut kompasianer. Tapi kenyatannya memang ada lebih dari 1 orang yang suka mantengin kompasiana, membahas kompasiana walaupun tidak menulis. Sebut saja Pak Budi Rahayu dan Pak Aan Suciarahmat termasuk di kelompok ini.
Rasanya selama belum ada larangan memperingati bulan bahasa, di tahun-tahun yang akan datang, sekolah kami masih akan selalu mengusakan memberi warna Oktober. Tentu dengan kreasi-kreasi yang lain, yang lebih wah tetapi tetap menjaga asas bermanfaat bagi para siswa.
Menjelang 28 Oktober 2015, mari kita yang masih cinta INDONESIA mempersiapkan diri untuk merenungi makna Sumpah Pemuda. Mari rekan-rekan di sekolah lain di seluruh pelosok negeri ini! Bangsa Satu! Tanah Air Satu! Bahasa Satu! Indonesia ! ***
Majalengka, 24-10-2015
SMA Negeri 1 Majalengka
Jl. KH. Abdul Halim 113 Majalengka 45418
Jawa Barat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H