Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cagar Manusia

23 Maret 2014   04:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:36 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



CAGAR MANUSIA

Istilah cagar alam sering kita dengar. Cagar budaya juga sering. Akan tetapi istilah cagar manusia mungkin baru ada malam ini.

Manusia yang hidup dalam sebuah cagar manusia pasti manusia langka. Ada dua kelompok manusia langka menurut kurva normal. Superior dengan IQ > 130 dan mental terbelakang untuk IQ < 79 (rujukan dari skala Terman). Jumlah mereka sangat sedikit. Karena sedikitnya inilah mereka menjadi sosok yang sangat mudah dikenal di lingkungannya. Namun “cagar manusia” yang saya turunkan pada MalamMinggu ini bukan seperti yang dipaparkan di atas, akan tetapi sebuah renungan lain terhadap gejala yang terjadi di sekitar kita.

Telah ratusan, bahkan ribuan tahun bersamaan dengan meningkatnya peradaban manusia, maka manusia jaman sekarang boleh dikatakan sebagai manusia modern. Manusia modern boleh jadi menyandang martabat yang tinggi. Ketinggian martabat sementara ini masih diakui diukur dengan tingkat pendidikan. Lebih kentara lagi ketinggian martabat dicoba dibangun oleh sebagian orang dengan menempelkan gelar akademik di depan dan atau belakang namanya. Kebanggan (dan mungkin menjalar perlahan menjadi kepongahan) karena tingginya pendidikan semakin hari semakin menjadi kecenderungan yang dimaafkan. Tetapi di tengah jutaan manusia yang berpendidikan tinggi ada satu hal kecil yang menurut saya bukan hal kecil untuk direnungi.

Kita mengenal kantong-kantong kekhasan etnis (atau sub etnis) di Indonesia yang menjadi sebuah kantong yang dilindungi. Yang harus dijaga kekhasannya. Yang harus dilestarikan budayanya. Yang harus selalu berjalan tatacara hidupnya. Sayangnya kantong-kantong kekhasan sub etnis ini menjadi komoditi wisata, karena memasok nominal Pendapatan Asli Daerah (PAD). Manusia lain yang datang dari berbagai etnis lain diundang (melalui media promosi) agar berkunjung ke kantong-kantong tersebut. Promosinya adalah “kunjungi salah satu wilayah di negara kita yang tetap memegang teguh budaya nenek moyang”.

Dengan istilah yang lebih sarkastis, barangkali kantong-kantong yang dipromosikan menjadi tujuan wisata / widya wisata / study tour, lebih tepatnya adalah kantong-kantong yang tidak boleh maju. Biarlah mereka tetap terkungkung oleh ninabobo “teguh memegang budaya nenek moyang”. Ya, tidak boleh maju. Alasannya tidak masuk akal. Istilah bahasa Jawa “ora ilok”, istilah bahasa Sunda “pamali”. Nanti kalau maju nenek moyang mengutuk, sehingga bisa mendatangkan bencana.

Padahal pendidikan yang ada di dunia ini bertujuan untuk meningkatkan martabat manusia secara rata. Semuanya harus berpendidikan. Semuanya harus maju. Tidak boleh ada sekelompok manusia yang terisolir apalagi sengaja diisolasi. Tidak boleh ada sekelompok manusia yang kehidupannya dipandang menguntungkan sebagian yang lain sehingga harus tetap terisolir. Listrik tidak boleh masuk. Televisi tidak boleh masuk. Ini mirip dengan sebuah cagar manusia.

Dalam mimpi saya, di pulau Jawa paling tidak ada tiga kantong kekhasan sub etnis yang keberadaanya menjadi komoditi penyokong PAD melalui dinas kebudayaan dan pariwisata. Di luar pulau Jawa mungkin ada pula kekhasan sub etnis yang menjadi komoditi. Misalnya terdapat sebuah demonstrasi dalam festival budaya internasional. Kontingen negara kita sangat bangga ketika bisa menunjukkan masih ada etnis tertentu yang sangat mahir membuat patung kayu dengan masih memakai pakaian yang minim. Patung kayunya bolehlah, tetapi dalam sebuah festival bidaya di luar negeri, janganlah menampilkan pakaian minim. Itu artinya menunjukkan aib sendiri, bahwa pemerintah masih gagal dalam meningkatkan martabat manusia (dalam indikator berpakaian).

Mari kita berfikir jernih. Rasanya akan lebih bijak dan arif jika saudara-saudara kita di kantong-kantong tadi sejajar dengan kita. Bisa sekolah, bisa berdagang dengan cara kita, bisa nonton TV, bisa main internet, bisa punya akun facebook, punya akun twiter.

Mari kita mawas diri, berkaca kita jadi mereka. Misalnya ada turis asing akan datang ke Indonesia, teman turis bertanya:

“Mengapa anda memilih Indonesia?”

“Ya, Indonesia itu menarik. Budayanya masih rendah, pola pikirnya lambat. Makanannya dari bahan impor semua. ”

“Waaaaahhh… benar itu! Mari kita usulkan Indonesia menjadi cagar bangsa, yang bisa kita jadikan tujuan wisata! Kita tonton keterbelakangan orang Indonesia!”

Kita tentu sangat sakit hati jika ada orang asing yang datang untuk “menonton” kita. Maka, marilah kita mulai berfikir untuk tidak berwisata dengan mengunjungi “cagar manusia”. PAD dapat dicari dengan cara lain, bukan menjadikan manusia menjadi obyek belajar melalui widya wisata atau sejenisnya. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun