Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Perhelatan Kontroversi UN, Lanjutkan UN!

12 April 2014   08:39 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:46 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selang sehari dari sekarang, tepatnya Senin 14 April 2014, perhelatan kontroversi, yakni Ujian Nasional (UN) akan diselenggarakan. Istilah kontroversi ini mewakili dua pandangan yang berbeda terhadap UN. Pertama, UN dihapus. Kedua, UN dipertahankan.

Hapus UN

Pihak-pihak yang menginginkan UN dihapus mempunyai beberapa alasan di antaranya (1) tingkat kebocoran soal yang tinggi di berbagai pos (di percetakan, di titik bagi, di titik satuan pendidikan, dll) , (2) terjadi dugaan ada oknum / lembaga bimbingan belajar yang menjalin jaringan dengan para siswa untuk pembocoran kunci jawaban, (3) system mata rantai ketakutan secara tanggawi (kepala sekolah takut kepada kepala dinas, kepala dinas takut kepada bupati, bupati takut kepada gubernur, gubernur takut kepada menteri, begitu seterusnya hingga anak tangga yang paling tinggi). Takut apa? Tentu jika persentase yang tidak lulus tinggi maka titik jabatan tersebut akan mendapatkan nilai kondite jelek. Oleh karena itu berbagai macam cara ditempuh, mulai dari cara yang halal, yang tidak halal, hingga yang tidak halal banget. (4) kejanggalan data yang diperoleh dari sebuah proses yang janggal, tidak akan memberikan manfaat apapun terhadap peningkatan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) sebab data yang diperoleh tidak mewakili kondisi peserta UN yang sesungguhnya, (5) Nilai UN digunakan sebagai salah satu faktor penentu kelulusan, (6) Perguruan tinggi negeri tidak mau menggunakan hasil UN sebagai salah satu unsur pertimbangan untuk rekrutmen mahasiswa merupakan sebuah indikator keraguan terhadap kevalidan nilai UN.

Pertahankan UN

Pihak-pihak yang menginginkan UN dilanjutkan mempunyai beberapa alasan di antaranya, (1) Jika yang menilai siswa adalah guru, maka tingkat obyektivitasnya akan berbeda jika yang menilai adalah bukan gurunya, jadi biarkan pihak yang menilai para siswanya, (2) Sekecil apapun peran UN, sedikitnya bisa membantu belajar siswa dalam mengikuti tes tulis masuk perguruan tinggi negeri, (3) Evaluasi secara kumulatif secara standar selalu dibutuhkan oleh sebuah lembaga penyelenggara pendidikan (baik formal maupun nonformal), (4)Pemerintah telah merespon pendapat yang mengatakan bahwa kerja guru selama tiga tahun tidak dihargai. Bukti itu dapat dilihat dalam salah satu ketentuan Nilai Sekolah (NS) dengan rumus NS = ((70%)xRata-rata Nilai Rapor Sm 3,4,5) + ((30%) x Nilai Ujian Sekolah). Tahun yang lalu perhintungannya adalah NS = ((40%)xRata-rata Nilai Rapor Sm 3,4,5) + ((60%) x Nilai Ujian Sekolah).

13972402551190470161
13972402551190470161

Dengan meningkatkan persentase pengali pada rata-rata nilai rapor artinya hasil kerja, nilai/evaluasi dari guru telah diberi porsi yang cukup besar, (6)Ada upaya eliminasi kecurangan dengan bergulirnya model-model 1 Ruang1 Type soal, 1 Ruang2 Type soal, 1 Ruang5 Type soal, dan dua tahun terakhir1 Ruang20 Type soal dengan pengaman barcode. (7)Indikasi hasil UN diterima oleh pendidikan tinggi untuk mempengaruhkan hasil UN dalam proses perhitungan  terima-tidakterima dalam SNMPTN jalur Undangan.

13972403461377521315
13972403461377521315

(Point 7 ini terdapat dalam tabel rangkaian kegiatan alur proses pengelolaan UN – Peraturan Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor 0022/P/BSNP/XI/2013 , tentang Prosedur Operasi Standar (POS) Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2013/2014.

UN dengan Syarat

Pada bagian ini menyatakan sebuah kenginan bahwa UN harus tetap dilanjutkan dengan berbagai macam syarat yang (diprediksi) menguntungkan semua pihak. Kasus-kasus yang dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para pemangku kebijakan dan praktisi pendidikan di antaranya:

1.Pelaksanaan UN dengan hasil-hasilnya di waktu-waktu yang telah lewat (belum terlalu lama) telah menimbulkan keengganan para guru untuk melakukan evaluasi diri. Data hasil UN yang semestinya dapat digunakan sebagai bahan berbagai macam pertimbangan pengambilan kebijakan, menjadi tidak bermakna. Semua karena adanya isu-isu tentang ketidakbenaran proses UN itu sendiri. Ambil contoh misalnya rata-rata nilai UN matematika 4,75 (empat koma tujuh lima). Guru matematika di sekolah tersebut dapat mengevaluasi serta mendiskusikan berbagai macam kemungkinan penyebab mengapa rata-rata UN tersebut begitu rendah. Penyebab yang mungkin bisa saja di antaranya (a) input masuk yang rendah, (b) KBM yang kurang greget, (c) Penilaian yang salah, (d) Validitas soal yang kurang baik, (d) dan sebagainya.

Dengan adanya evaluasi maka guru akan mendapat umpan balik, sekolah akan mendapat umpan balik, kepala sekolah akan dapat membuat kebijakan berdasarkan fakta dan data. Misalnya melakukan rotasi mengajar dalam upaya meningkatkan kompetensi guru. Jika KBM dievaluasi kurang greget, maka pihak sekolah dapat melengkapi sarana belajar semacam alat peraga, LCD, software-software pembelajaran. Perbaikan metode mengajar dalam KBM dapat diperbaiki. Cara evaluasi yang mungkin salah dapat diperbaiki. MGMP sekolah lebih ditingkatkan perannya. Semua perangkat yang akan diujikan (ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, tes uji coba dll) ke para siswa harus diketahui oleh tim MGMP sehingga sebelum diujikan untuk dilakukan revisi seperlunya.

2.Kita masih ingat ketika di tahun 1978 terdapat prahara tes diagnostik. Ketika digulirkan Undang-Undang No. 0211/U/1978 yang mengatur penambahan waktu belajar siswa , para siswa yang belajar melewati tahun tersebut harus merelakan waktu belajarnya lebih panjang enam bulan. Tahun Ajaran yang sejak tahun 1960-an dimulai bulan Januari, sejak saat itu mulai bulan Juli, dengan nama Tahun Ajaran 1978/1979. Penambahan waktu belajar lebih difokuskan pada pengayaan ilmu . Akibat dari hal ini terdapat yang dilaksanakan pada awal perpanjangan sebagai tes diagnostik . Peruntukan tes diagnostik tentunya digunakan untuk evaluasi diri secara nasional. Sayang di tahun-tahun berikutnya hampir tak ada upaya penyingkronan atau kelanjutannya. Yang dikenal berikutnya hanyalah nama-nama 1979/1980, 1980/1981 dan seterusnya.

Berkaitan dengan peruntukkan hasil UN pada saat ini, hendaknya digunakan saja sebagai semacam tes diagnostik seperti tiga dasa warsa yang lalu. Yang paling penting setelah diagnostik adalah tindakan. Layaknya kerja seorang dokter, tindakan selalu diawali dengan diagnose. Jika UN sebagai diagnose maka seperti apa tindakan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah.

Kita bersama maklum, bahwa pengklasifikasikan apakah suatu negaratermasuk negara maju, berkembang, atau terbelakang ditentukan oleh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI). IPM ini dipengaruhi / dibangun oleh tiga unsur yakni (1) pendidikan yangdiwakili oleh angka melek huruf dan lama sekolah, (2) indeks kesehatan yang diwakili usia harapan hidup , dan (3) indeks ekonomi yang diwakili daya beli masyarakat.

UN dalam angka sangat mungkin menjadi kejaran pemerintah untuk melengkapi angka-angka dalam unsur pendidikan. Dengan angka yang tinggi maka diprediksi akan memperoleh IPM yang tinggi. Dengan campur tangan pemerintah memasukkan UN sebagai salah satu penentu kelulusan inilah yang diduga bakal menjadi bahan pengatrol nilai tinggi. Hal ini cukup wajar sebab berawal dari ketakutan siswa tidak lulus, ketakutan kepala sekolah (dan seterusnya baca ketakutan tanggawi ­di bagian atas), maka apapun dilakukan agar nilai UN tinggi.

Yang perlu dieliminir adalah bias angka hasil UN – benar: BIAS bukan BISA-. Bagaimana mungkin dapat diharapkan sebagai sebuah kebanggaan jika IPM tinggi, klasifikasi negara terangkat, tetapi dari angka-angka bias. Artinya secara teori SDM Indonesia tinggi, tetapi sesungguhnya palsu. Jadi, jangan salahkan jika kita selalu terjajah di berbagai sektor. Di sektor ekonomi sangat terjajah, SDM berupa tenaga kerja terjajah, inovasi yang muncul diberangus (misalnya dalam bidang otomotif) karena tidak memberikan nilai plus pada sebagian oknum pemegang kebijakan di sektor-sektor tertentu.

Sekedar tahu posisi IPM negara kita, mari kita lihat informasi di bawah ini :

13972404481334063632
13972404481334063632
13972404921528853419
13972404921528853419

13972406181070147786
13972406181070147786

Warna kuning pada peta (0,734) menunjukkan posisi Indonesia merupakan negara katagori berkembang (ingat bahwa sejak jaman orde baru hingga sekarang negara masih berkembang entah kapan masuk katagori negara maju).

1397240985762882091
1397240985762882091

1397241030578054099
1397241030578054099

Di wilayah Asia Oceania kita menduduki posisi tengah-tengah.

Jadi, tetap pertahankan UN, fungsikan sebagai diagnostik sakitnya dunia pendidikan. Ambil tindakan nyata. Biarkan jika IPM kita rendah, kalau memang rendah. Tetapi kita tetap berupaya agar IPM kita naik sedikit demi sedikit, tapi dengan kualitas SDM yang berbanding lurus dengan besarnya IPM.

1.Agar proses UN berjalan wajar, maka ada beberapa halyang harus menjadi renungan pemerintah (a) Jangan sangkut pautkan UN dengan kelulusan, (b) Jika UN sudah berjalan wajar, jangan sangkut pautkan pula UN dengan penentuan diterima – tidak diterimanya seorang lulusan SLTA dengan SNMPTN atau sejenisnya. Hal ini dikhawatirkan akan terjadi bias ke-2 nilai UN oleh pihak sekolah agar banyak siswanya yang masuk perguruan tinggi.(c) 20% dana APBN untuk pendidikan sangat mubazir jika kita memperoleh angka-angka yang bias, (d) buatlah Uji Kompetensi Guru (UKG) yang kontinu dalam rangka pembinaan, bukan hanya satu kali untuk dikaitkan dengan tunjangan profesi. Sebab dengan kompetensi yang meningkat maka tingkat kepercayaan siswa akan meningkat pula, yang berimbas pada meningkatnya prestasi siswa. (e) Barangkali jika mau berandai-andai, system Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) masih lebih baik untuk sebuah evaluasi.

Jadi, lanjutkan UN dengan ditambah persyaratan perbaikan, yang menunjukkan menampung aspirasi dari masyarakat! Murnikan IPM kita, agar kita tahu kekurangan kita dan tahu obat yang tepat untuk memperbaiki diri, memperbaiki SDM dengan cara yang benar. Bisakah? Tentu bisa. Apa sih yang tidak bisa di Indonesia? ***

Majalengka, 11 April 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun