Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel: KYAI KERAMAT (2)

27 April 2014   15:40 Diperbarui: 14 Agustus 2018   15:41 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seri 2 : BENAR-BENAR KYAI KERAMAT

 

Di tengah keheningan malam teriakan Sang Kyai terdengar sangat keras. Mungkin sampai beberapa puluh, bahkan beberapa ratus meter hingga ke perkampungan Widodaren.

“Sang Kyai kyai adalah rahmat bagi kami!” Kyai Haji Soleh Darajat bersuara di dalam sujudnya.

“Aku bukan siapa-siapaaaaa! Jangan bersujuuuuud!” Sang Kyai berteriak lebih keras lagi. Keringat dingin akibat ketakutan yang teramat sangat membasahi seluruh tubuhnya. Baju gamis yang dipakainya basah. Sorban yang dikalungkan beberapa kali digunakan untuk menyeka keringat di wajahnya.

“Sang Kyai bagaikan Nabi Isa yang bisa menyembuhkan orang buta!”

“Bukaaaan! Jangan bodoh!” Teriak Sang Kyai menolak. 

Tak kuasa menahan haru biru di hatinya Sang Kyai menangis sambil berlari meninggalkan balai, meninggalkan mereka yang masih bersujud. Bibirnya terus melafalkan istighfar. Kyai Ahmad Hong bergegas bangkit mengikuti ayahnya masuk ke rumah utama.

Sementara itu setelah beberapa jenak tak terdengar suara apa-apa, Kyai Haji Soleh Darajat memulai bangkit dari sujudnya. Kemudian laki-laki yang umurnya lebih tua dibanding Sang Kyai mengajak yang lain bangkit dari sujudnya. Setelah nampak semuanya tenang, Kyai Haji Soleh Darajat mencoba untuk menyampaikan pandangannya.

“Para sesepuh, para santri.... mari kita ucapkan hamdallah atas rahmat yang diturunkan Allah kepada pesantren kita.” Ajaknya perlahan.

Alhamdulillahirabbil’alamiin.......!

Orang-orang yang hadir mengucap hamdalah dengan penuh kedalaman makna. Wajah-wajah mereka masih tertunduk. Hatinya masygul atas apa yang baru saja dialami.

“Kita semakin bangga, dan semakin yakin, bahwa kita hidup, kita belajar, kita bergaul di pesantren Widodaren ternyata benar pilihan kita. Malam ini Allah membukakan mata kita, bahwa di tengah-tengah kita, pemimpin pesantren Widodaren, adalah seorang Kyai yang diberi karomah luar biasa oleh Allah. Kita ingat, tadi siang , malam ini, ya malam ini, menjelang pergantian hari, tanggal 16 Juli, dimana pada tanggal ini , menurut perhitungan , hisab dari kuliah sang profesor , posisi matahari tepat di titik nadir di atas Kabah. Di saat yang benar-benar sakral, Allah telah membuka mata kita, dengan menurunkan orang suci!

Allahu Akbar! Sahut hadirin serempak.  Sang Kyai adalah pelindung kita! 

Allahu Akbar!

“Sang Kyai menjadi pelindung kita semua, warga pesantren khususnya, dan saya yakin tidak lama lagi, Sang Kyai akan menjadi berkah bagi banyak orang di luar pesantren kita. Allahu akbar!” Pekik Kyai Haji Soleh Darajat .

Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu Akbar!

Pesantren yang semula sunyi menjadi hingar bingar oleh teriakan takbir para santri yang dipimpin oleh Kyai Haji Soleh Darajat . Para santri ini meluapkan perasaan bangga, bahagia , dan entah apa lagi untuk menggambarkan, bahwa di tengah-tengah mereka, malam ini telah datang pemimpin kekasih Allah . Sang Kyai adalah seorang kyai mumpuni, seorang kyai keramat.

Suara gemeremang dan keramaian ini membangunkan para santri yang semula tertidur lelap. Santri dan para pengasuh putri pun mulai tambak mendekati kehingarbingaran. Merka saling Tanya. Beberapa jenak mereka menjadi paham terdap apa yang tengah terjadi.

“Besok pagi beritakan karomah Sang Kyai kepada semuanya. Hubungi semua keluarga. Kabarkan kepada orang-orang Widodaren, biarkan kemudian kabar ini menyebar keluar Widodaren. Allahu akbar! Malam ini mari kita sujud syukur bersama, kemudian shalat sunat tujuh raka’at berjamaah!”

Lampu lorong lima watt yang biasanya dipakai untuk mengantar malam, malam ini dimatikan, diganti dengan lampu-lampu yang lebih terang. Pawudon mulai gemericik lagi airnya. Ratusan santri malam itu mengambil air wudlu. Tak lama kemudian masjid An-Najm tampak semarak. Ketika semuanya telah bersiap, prosesi sujud syukur dan shalat sunat dilakukan.

***

Beberapa ratus meter dari pesantren Widodaren.

Sepasang suami istri, Wak Wardan dan istrinya, nampaknya belum tidur. Keduanya memang terbiasa melewati malam dengan saling diam di bawah temaramnya sinar lampu minyak. Hanya sesekali di antara keduanya membuka suara. Tampaknya kegaduhan suara di pesantren terdengar pula dari tempat mereka. Wak Wardan menoleh ke istrinya.

Kau dengar suara gaduh dari pesantren Ni?” Tanya Wak Wardan, lelaki tua penjaga makam desa, seraya membuang asap rokok klobot perlahan.

 “Bukan gaduh Ki, kalau pendengaranku tidak salah, tadi itu suara takbir.”

“Tidak biasanya pesantren itu berisik banget!”

“Hus! Takbir!”

“Apa ada pengajian?”

“Rasanya tidak. Kalau ada pengajian, biasanya sejak lepas ‘Isya masyarakat mulai berbondong-bondong.”

“Ada apa gerangan ..... kedengarannya seperti mau berperang!”

“Hus! Akang kalau bicara ngawur terus! Mbok direm cangkeme! Yang namanya pesantren ya memang tempatnya takbir, tempatnya tasbih, ngaji, tadarus, lha yang gitu-gitu. Sudah tidur sana!”

“Besok aku mau cari tahu! Masa tidak seperti biasanya tenang, malam ini pesantren kok brisik!”

“Takbir!”

Laki-laki tua penjaga makam desa itu tak ambil pusing dengan celoteh istrinya. Seperti biasanya ia menuju kursi panjang untuk tidur di emperan rumahnya. Namun baru saja membuka pintu rumah, ada yang datang menghampiri.

“Wak Wardan!”

“Lho? Jamal to? Ngapain malam-malam lari-lari? Ada kejadian apa di pesantren?”

Jamal merupakan salah satu santri asal Widodaren sendiri. Cukup dekat rumah orang tuanya. Maka selesai shalat sunat syukuran di masjid An Najm, pemuda itu pulang ingin memberi kabar orang tuanya.

“Pesantren kita mendapat rahmat Wak!”

“Rahmat apa?”

“Sang Kyai ternyata bisa menyembuhkan orang bisu! Persis seperti nabi Isa yang bisa menyembuhkan orang buta!”

“Sang Kyai jadi nabi?” Wardan melongo.

“Hus! Bukan, tapi Sang Kyai diberi karomah, dikaruniai oleh Allah kemahiran menyembuhkan orang bisu. Dan mungkin juga penyakit-penyakit lain.” Laki-laki tua itu manggut-manggut menghubungkan kegaduhan tadi dengan berita dari Jamal. Berita itu benar-benar mulai menyebar.

Kabar tentang Sang Kyai yang mampu menyembuhkan orang bisu telah memberikan pikiran-pikiran baru banyak orang. Dua hari setelah peristiwa malam itu disusul dengan datangnya beberapa santri yang membawa keluarganya yang bermasalah. Ada yang sakit, ada yang hilang ingatan. Mereka datang sebuah keyakinan atau sugesti. Air bening sebagai sarana tentu telah mereka siapkan sejak menuju pesantren Widodaren.

Sang Kyai sendiri sebenarnya heran dengan apa yang terjadi. Niat di hatinya hanya ingin menolong, tidak lebih. Menolong orang lain, kalau memang bisa dilakukan, maka ia akan melakukan. Dan memang akhirnya Sang Kyai memang tidak bisa menghindar dari orang-orang yang datang.

Nyuwun berkah Kyai.....” Begitu kata-kata pembuka yang sering didengar Sang Kyai ketika kedatangan orang yang bermasalah.

“Berkah hanya dari Allah Pak..... “ Kata Sang Kyai memberikan pengertian.

“Apapun kata Sang Kyai , kami menurut. Kami keluarga mohon sudilah kiranya Sang Kyai menyembuhkan anak kami yang telah lima bulan tak bisa berjalan.”

Tertegun Sang Kyai mendengar keluhan orang tua si anak. Dalam bayangannya seorang anak kecil yang belum tahu dosa harus berbaring menghadapi kenyataan bahwa ia harus lumpuh. Tak terasa air matanya menetes.

“Bawa kembali air ini... minumkan ba’da waktu shalat Maghrib. Mudah-mudahan Allah mengabulkan doa Bapak.” Akhirnya kata-kata itu keluar dari mulut Sang Kyai .

“Terima kasih Kyai.......terimakasih.......” Kata laki-laki sambil menyambar tangan Sang Kyai untuk diciumnya. Sang Kyai menampik, namun sambaran laki-laki itu lebih sigap. Tangan Sang Kyai tertangkap, langsung diciumi. Sang Kyai tak bisa berbuat banyak kecuali akhirnya menyerah tangannya diciumi laki-laki itu.

Sehari dua hari, ternyata yang datang semakin banyak. Sang Kyai semakin masygul atas kejadian ini. Hingga akhirnya di tengah malam ia menyuruh Kyai Ahmad Hong mengumpulkan para pengasuh pesantren. Sebagian yang telah tidur bangun, kemudian mengambil air wudlu untuk mengusir rasa kantuk.

Pertemuan itu sendiri dilakukan di dalam rumah utama Sang Kyai . Tidak di balai seperti layaknya pertemuan lainnya.

“Aku semakin tidak paham dengan diriku sendiri....” Kata Sang Kyai seraya menyeka mukanya dengan ujung rumbai sorbannya.

“Maaf Sang Kyai, apa maksud kalimat Sang Kyai ?” Seperti biasanya yang paling berani berbicara adalah Kyai Haji Soleh Darajat.

“Aku malu! Maluuuuu.....!”

“Mengapa Sang Kyai ?”

“Aku malu karena akhirnya aku tak ubahnya seperti seorang dukun sakti! Yang berkomat-kamit membaca mantra dengan washilah air, kemudian dimimunkan kepada orang-orang yang sakit atau yang membutuhkan. Malu aku! Walaupun aku peduli apa yang namanya wibawa, sebenarnya aku telah kehilangan wibawa jatidiriku sebagai seorang pemimpin pesantren. Dan aku tak mengerti mengapa aku selalu tidak punya keberanian untuk untuk menolak mereka yang datang!”

“Bukankah Islam itu rahmatan lil‘alamiin Sang Kyai ?”

“Tapi aku bukan dukun! Aku tidak mau diperlakukan seperti dukun.”

“Sang Kyai bukan dukun, tetapi memang air yang Sang Kyai doakan semuanya bermanfaat, ada hasilnya. Yang sakit sembuh, yang hilang ingatan menjadi waras kembali, yang kemarin lumpuh, Insya Allah sebentar lagi sembuh. Tadi baru saja ada telepon dari orang tua pasien, sekarang ia sudah berdiri walaupun masih tertatih-tatih.”

“Kyai Haji Soleh Darajat..... “

“Ya Sang Kyai .....”

“Saya kecewa kepada Kyai!”

“Lho?” Kyai senior ini kaget, “ … kepada saya?”

“Kyai Haji Soleh Darajat yang memulai menyebarkan berita kesembuhan orang tua Munajat. Sehingga orang berbondong-bondong.

“Apa salah yang salah yang saya lakukan. Saya hanya memberitakan fakta.”

“Yaaa…. Kasusnya mirip jaman Ponari, anak kecil yang menjadi dukun itu.

“Ooooo….”

Menurut laporan beberapa orang, Kyai Haji Soleh Darajat telah membuka kencleng di gerbang pesantren. Betul?”

“Ooooo..... memang, memang benar Sang Kyai . Apa salahnya. ”

“Itu yang makin menghancurkan harga diriku.”

“Itu untuk renovasi masjid Sang Kyai.”

“Renovasi sudah ada yang menanggung.”

“Untuk simpanan kas pesantren, Sang Kyai.”

“Aku tidak suka dengan cara Kyai Haji Soleh Darajat.”

“Mohon maaf seandainya tidak berkenan. Namun mohon dipikirkan kembali, bahwa ketika seseorang memang mampu menolong orang lain, mengapa tidak dilaksanakan. Kelebihan yang diberikan oleh Allah akan mubadzir dan tidak manfaat jika tidak dimanfaatkan. Mereka memberi sumbangan dengan sukarela Sang Kyai . Mereka yang datang selalu menanyakan di mana kotak infak. Karena mereka memang ingin berinfak, apa harus ditolak ? Bukankah dalam Islam juga mengajarkan umatnya untuk rajin berinfaq?”

Sang Kyai terdiam. Mulutnya setiap hari tak pernah lepas dari membaca istighfar. Lelaki itu takut jika yang dilakukannya mendorong kemusyrikan umat. Ya, kemusyrikan yang datangnya hampir tak terlihat, tak terdengar, tak dirasakan orang. Bagaikan gemerisiknya langkah semut di atas batu hitam ,di malam hari yang gelap gulita.

“Aku takut. Mereka akan menganggapku dukun. Air yang aku berikan sebagai sarana, sebenarnya sama seperti obat yang diberikan dokter. Aku takut, nanti akan banyak orang yang menganggap pesantren kita pesantren keramat. Setiap benda yang didapat dari pesantren ini akan disimpan sebagai jimat. Menganggap benda-benda itu mengandung magic, ada isinya, ada penunggunya. Kita paham, kita hidup di jaman modern, akan tetapi hati manusia kadang-kadang masih tetap tidak mau menjadi modern. Hati manusia itu dekat sekali dengan kemusyrikan. Ingat kasus Ponari, ribuan orang datang hanya mengharapkan celupan batu ajaib. Ya, mempercayai batu petir. Siapa yang datang? Tidak hanya orang-orang kampung, orang-orang yang secara material kurang, secara intelektual tidak tinggi pendidikannya, bahkan mungkin tidak berpendidikan. Banyak mereka yang datang masih berseragam PNS, polisi. Bisa-bisa juga di antara mereka yang datang justru dokter.”

“Itu karena mereka ingin sembuh dengan cepat Sang Kyai. Siapa sih yang tidak ingin sakitnya cepat sembuh, sakit keluarganya, sakit kerabatnya. Dan memang Sang Kyai bisa melakukannya. Saran saya Sang Kyai, cara Sang Kyai menolong masyarakat mohon dilanjutkan saja. Insya Allah dengan niat menolong, pesantren kita seisinya akan mendapat berkah.” Kyai Soleh Darajat tetap pada pendiriannya.

“Aku cape Kyai. Ratusan orang tiap hari datang. Malam aku sudah tak punya tenaga lagi. Kapan aku mengajar anak-anak santri?”

“Maaf Sang Kyai. Insya Allah kami, murid-murid Sang Kyai sanggup melakukan tugas-tugas pokok, selagi Sang Kyai memberikan manfaat lain bagi msayarakat.”

Pikiran Sang Kyai rasanya semakin buntu. Kyai mumpuni ini benar-benar memang telah merasakan dirinya bukan kyai yang memimpin pesantren, akan tetapi benar-benar seperti dukun tiban. Kadang terlintas dalam pikirannya, betapa saat ini dokter puskesmas Widodaren tentu tak punya pasien. Betapa kasihan mereka. Walaupun mungkin masih menerima gaji dari pemerintah, namun bukankah kebanggaan seorang dokter adalah manakala dirinya didatangi pasien, dipercaya orang yang sakit untuk membantu disembuhkan?

Sejak pertama kali semakin dikenal masyarakat, Sang Kyai memandang hari-hari di depannya per detik. Ia gamang melihat hari-hari yang akan datang di depannya. Setiap kali menjalankan shalat sulit sekali untuk khusyu seperti dulu. Dalam pikirannya selalu terlintas berbagai macam hal yang dulu-dulu tidak pernah muncul. Sang Kyai sendiri juga heran, di mana menurut takaran dirinya, hatinya semakin goncang, tidak mantap, ragu, takut, justru berbeda dengan apa yang menjadi jalan pikiran masyarakat awam.

Pikiran masyarakat awam, tentu akan melihat Sang Kyai sebagai sosok yang sangat teguh, yang khusyu dan ikhlas dalam beribadah. Hal itu berkaitan dengan bukti bahwa setiap yang meminta sarana kesembuhan, memang sembuh.

“Hong.... apa yang salah dalam ibadahku ini?” Tanya Sang Kyai pada suatu malam. Anak angkatnya tidak lekas menjawab. Pemuda itu berfikir keras untuk menimbang-nimbang menilai orang tua angkatnya.

“Tak ada yang salah Pak Kyai.”

“Orang mungkin tidak melihat aku salah dalam beribadah, tetapi aku merasakan bahwa ibadahku semakin dangkal. Tapi yang heran kenapa tangan ini, doa ini selalu mustajab. Allah sedang menguji apa pada ayahmu ini Hong?”

“Imbangi ujian ini dengan berfikir manfaat Pak Kyai. Banyak orang berusaha keras agar dirinya bermanfaat bagi orang lain.”

“Mungkin benar, tapi kengerian, kemirisan hati ayahmu ini semakin hari semakin menjadi. Pertama ketika malam itu kalian pada semua sujud di hadapanku. Aku merasa bahwa itu tidak pantas, tidak seharusnya. Yang berikutnya, kehadiran orang-orang dengan niat bermacam-macam pula. Kalau memang hanya sekedar minta sarana kesembuhan sakit ya tidak apa-apa, tapi kalau yang datang tujuannya lain?”

“Apa misalnya Pak Kyai?”

“Ada yang jauh-jauh dari provinsi lain, katanya minta berkah mau maju jadi calon bupati.”

“Ya Allaaaaah...... sampai sebegitukah?”

“Di antara puluhan, bahkan di hari tertentu sampai ratusan, siapa yang akan mengecek apa maksud kedatangan mereka. Tahu-tahu ketika mengajak bersalaman, dia baru menyatakan keinginan yang sebenarnya.”

“Terus, apa saran Pak Kyai?”

“Saya jawab, Insya Allah yang jadi bupati adalah yang terbaik. Dia sangat gembira. Saya tidak salah mengatakan seperti bukan? Kalau dia yang jadi bupati, maka dia memang yang terbaik, kalau bukan, ya memang bukan dia yang terbaik.”

Kyai Ahmad Hong bersandar di kursinya. Nafasnya dihela dalam-dalam. Sama sekali tidak mengira bahwa yang menjadi kekhawatiran Sang Kyai benar-benar berdasar. Jika sudah demikian maka besar kemungkinan ada yang datang karena ingin mendapat jodoh, agar menjadi kaya, agar dagangannya laris dan sebagainya. Ia baru menyadari bahwa posisi ayahnya memang dipandang sebagian masyarakat sebagai dukun. Melihat Kyai Ahmad Hong terdiam Sang Kyai senang. Ia senang karena anaknya berarti sedang berfikir.

“Apa yang kau pikirkan Hong?” Tanya Sang Kyai setelah beberapa jenak Kyai Ahmad Hong terdiam.

“Seperti apa yang Pak Kyai khawatirkan.”

“Apa?”

“Pak Kyai mulai dianggap dukun oleh sebagian orang.”

“Itulah… itulah yang aku takutkan.”

“Ya, ya, saya paham Pak Kyai..”

“Hong…”

“Ya Pak Kyai.”

“Bagaimana kalau aku pergi dari pesantren ini?” Tanya Sang Kyai pelan. Tapi walaupun pelan sangat mengagetkan Kyai Ahmad Hong .

“Meninggalkan? Jangan. Jangan Pak Kyai….. apa jadinya pesantren Widodaren ini nanti.”

“Kenapa nanti? Sekarang saja sudah kejadian. Kegiatan rutin siangku terganggu. Kemarin-kemarin, setiap tiga hari saya bisa bersama santri ke huma, ke ladang. Nikmat, nyaman, segar, …. pikiran jadi bening. Sekarang? Mana sempat. Sehari penuh aku harus melayani tamu.”

Sang Kyai menghela nafas dalam. Kyai Ahmad Hong diam pula. Hati anak angkat pimpinan pesantren itu mencoba merasakan apa yang dirasakan ayahnya. Benar semua apa yang difikirkan ayahnya. Namun untuk sementara ia belum memperoleh ide untuk urun rembug yang jitu untuk mengatasi masalah.

Ketika Sang Kyai diam, tiba-tiba HP Sang Kyai berbunyi. Dengan serta merta Sang Kyai mengangkatnya.

“Assalaamu’alaikum! Kangmas Kyai!” Salam dari penelpon kedengaran jelas oleh Kyai Ahmad Hong.

“Wa’alaikumussalam …. aduuh…. aduhh…. sehat rayi Kyai?” Wajah Sang Kyai tampak ceria ketika mengetahui siapa yang menelepon. Kyai Ahmad Hong lega melihat ayahnya tertawa. Yang menelpon adalah Kyai Haji Mukhlis Abas, sahabatnya. Ia seorang pemimpin pesantren di Kedungjati. Tempat yang cukup jauh dari Widodaren.

“Alhamdulillah sehat. Kalaupun nanti aku sakit, aku akan datang ke Widodaren.”

“Kok ke sini?”

“ Kan ada Kyai mumpuni… hehehee….”

Sang Kyai kaget. Kyai Ahmad Hong mengamati perubahan raut muka ayahnya.

“Dari siapa Pak Kyai?”

“Kyai Haji Mukhlis Abas… Kedungjati.”

“Ooooo….. pak Lik Kyai Mukhlis.”

Halo! Halo…! Halo……!

Sang Kyai tersentak mendengar panggilan berkali-kali dari HP yang secara tidak sadar dibiarkan tak direspon.

“Ooo… maaf, maaf rayi …. “

“Syukurlah… saya sebagai saudara muda, sangat bangga mempunyai kakak yang sangat kawentar, kondhang kaonang-onang!

“Apa maksudnya?”

“Sudahlah, di Kedungjati, di pesantrenku semua turut bangga, ketika kuceritakan kepada mereka bahwa Kyai Ahmad Soderi adalah temanku waktu masih meguru di nDemak. Ada semacam ikatan. Kemonceran kangmas juga menjadi kemonceranku….. hahaha… boleh to nempil kamukten?”

“Itulah rayi ….. rayi Kyai telah salah membanggakan diriku. Aku ini hanya seorang dukun.”

“Dukun? Hihihi….. sudahlah kangmas. Intinya ada dua, pertama aku bersyukur bahwa kabar ketenaran Widodaren telah sampai di Kedungjati. Yang kedua, mudah-mudahan sore nanti ada seorang santriku yang mau ikut nyantri di Widodaren.”

“Nyantri?”

“Studi banding. Biarpun mungkin langkahku ini lancang kangmas, tapi mudah-mudahan kangmas Kyai maklum.”

“Ooo tidak apa-apa. Aku mengijinkan kok. Sepertinya masih ada kamar kosong.”

“Kelancanganku begini kangmas…. Si anak ini sekarang sudah sampai di jalan masuk Widodaren.”

“Hah? Lah rayi Kyai sekarang di mana? Malam-malam begini? Sudah di Widodaren?”

“Tidak….. aku di Kedungjati, tidak ke mana-mana. Hanya tadi di anak ini nelpon katanya sudah masuk gapura desa Widodaren. Minta tolong untuk diijinkan. Juga takut kalau disangka siapa-siapa sebagai orang asing.”

“Oooo… ya, biar anakku yang menjemput.”

“O ya trimakasih kangkas Kyai. La anak kangmas apa yang sipit-sipit itu?”

“Ya iya. Anakku hanya satu. Ahmad Hong Gie.”

“Oooo syukurlah. Sepertinya anak yang kukirim itu umurnya sama dengan anak kangmas itu.”

“Ooo ya. Namanya siapa?”

“Abu Najmudin.”

“Abu Najmudin? Yang benar saja. Masa di bulan ini banyak sekali Najam-najam yang ada di Widodaren. Tanggal enam belas yang lalu profesor Haji Najamudin juga ke Widodaren,memberi kuliah.”

“Oooo kangmas Haji Najam si tukang ngitung bintang?”

“Iya. Lah yang kedua, ya masjid di sini kan An Najm.”

“Oooo syukurlah….. mudah-mudahan Widodaren selalu berhias bintang-bintang.”

“Amin.”

Selang setengah jam setelah Kyai Ahmad Hong menjembut tamu titipan, keduanya datang. Pemuda yang disebut Abu Najmudin memberi salam takzim kepada Sang Kyai. Demi melihat mata pemuda itu, hati Sang Kyai berdesir. Ada sesuatu yang aneh dalam pandangan mata pemuda itu. Ada sebuah aura yang belum pernah dijumpai pada orang-orang yang dikenalnya.

Dada Sang Kyai berdegup. Namun sejenak ia berhasil menenangkan diri. Sang Kyai kemudian menyuruh Kyai Ahmad Hong untuk memanggil beberapa pengasuh untuk datang menyambut tamu titipan Kyai Mukhlis Abas. Sementara itu beberapa pengasuh putri menyiapkan minuman ala kadarnya untuk teman berkumpul.

“Para pengasuh yang dirahmati Allah, maaf, barangkali para kyai semua sudah mau beristirahat. Ya, boleh dikatakan terpaksa juga tidak apa-apa. Begini, sahabatku Kyai Haji Mukhlis Abas dari Kedungjati, baru saja menelpon, katanya mau titip santrinya ikut bergabung di Widodaren. Entah karena apa beliau mengirim santrinya ke sini. Nanti kita tanya yang bersangkutan. Bukankah begitu ananda?” Tanya Sang Kyai. Yang ditanya mengangguk.

“Insya Allah Sang Kyai.”

“Emmm sebentar, mengapa kau memanggilku Sang Kyai?”

“Atas perkenan Eyang Guru Kyai Haji Mukhlis, saya harus memanggil Eyang Kyai Ahmad Soderi dengan sebutan Sang Kyai. Kata beliau, tidak boleh tidak.”

“Wah….wahhh…. diktator juga gurumu itu! Ya, ya,… tapi tak apalah , sekarang kenalkan dulu namamu, asal-usul, status di pesantren Kedungjati, serta yang terpenting motivasi apa yang mendorong Kyai Haji Muklis mengirimmu ke sini. Silakan….. “

“Terima kasih Sang Kyai. Nama saya Abu Najmudin. Nama panggilan Udin. Asal dari Purwonegoro Banjarnegara.”

“Pur … Purwonegoro?” Sang Kyai agak tergagap.

“Iya Sang Kyai . Status santri, santri biasa. Santri muda, bukan jajaran pengasuh atau apalah yang punya kelebihan. Saya juga tidak mengerti mengapa tiba-tiba kemarin Eyang Guru Kyai Haji Muklis menyuruh saya mengaji di Widodaren.”

“Kamu dari Purwonegoro?” Secara tidak sadar Sang Kyai memotong pembicaraan Abu Najmudin dengan menanyakan asal pemuda itu, padahal baru saja pemuda mengatannya cukup jelas.

Semua yang hadir memandang Sang Kyai dengan keheranan. ***

 

 Bersambung ke Seri 3


Insya Allah Rabu mendatang ……………..

 

Keterangan kata bahasa daerah :

1)Mumpuni : ahli, sangat ahli, menguasai

2)Mbok direm cangkeme! : Tolong direm (dijaga) mulutnya!

3Nyuwun berkah : Minta berkah

4urun rembug : Sumbang Pembicaraan / sumbang saran

5)kawentar, kondhang kaonang-onang : sangat terkenal

6) nempil kamukten : mendompleng ketenaran / kemuliaan

 

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun