Seri 11 :KITA TAK PUNYA AYAH
Abu Najmudin terjajar mundur. Sementara itu Sarpin terus maju menghampirinya. Ia bersiaga jika mendapat serangan mendadak. Wak Wardan yang berdiri tak jauh tampak menegang wajahnya.
“Mengapa Bapak mendorong saya?” Tanya Abu Najmudin dengan tatapan mata yang tajam.
“Mengapa? Mengapa katamu? Jelas laporan si Wardan kamu biang keladi ditutupnya makam. Benar kan kau yang melapor ke Sang Kyai?”
“Saya hanya menolong orang yang salah.... agar tidak berlanjut.”
“Siapa yang bersalah?”
“Semua orang yang mengurus makam, termasuk siapa yang mulai merancang perilaku menyimpang dengan menyebar kebohongan ke masyarakat.”
“Memangnya kamu tahu siapa yang punya ide?”
“Kalau menurut Pak Kyai Haji Soleh, Wak Wardan .... Kakek ini orangnya? Ya berarti kakek ini yang cerita bahwa yang punya ide membuat makam keramat palsu adalah Pak Sarpin.”
“Kamu tahu siapa Pak Sarpin?” Tanya Sarpin mengetes.
“Ya tahu, Pak Sarpin kan orang terkenal.”
“Kamu tahu seperti apa orangnya?”
“Tahu! Tadi pagi juga sewaktu Bapak menaruh burung hantu di warung, saya tahu kalau Bapak itu Pak Sarpin.”
“Bagus! Bagus kalau kamu mengenalku ... hehe siapa namamu gus?”
“Abu!”
“Abu Jahal? Hahahaaaa....”
“Abu Jahal itu orang yang bodoh, jahlun, yang menyembah berhala, yang mengandalkan pertolongan kepada selain Allah. Kepada jimat, kepada hewan-hewan dengan aura gelap....”
“Apa maksudnya? Kau menuduhku bodoh?!”
“Siapa yang menuduh?”
“He! Abu! Kamu pasti bukan orang sini! Kamu Perantau yang ingin mengaji di Widodaren. Widodaren itu tanahku! Kamu perantau bukan?”
“Ya benar, saya orang perantau.”
“Cobalah... mumpung aku belum marah, berhentilah bertingkah..... jangan mencari gara-gara. Baru saja kamu datang ke sini tidak beli apa-apa, tetapi malah seperti menyelidik. Kamu bikin onar.”
“Pak, saya tidak bikin onar.”
“Diam!”
“Bapak sebaiknya tidak berjualan barang-barang seperti ini di lingkungan pesantren Pak.... ini mencemarkan nama baik pesantren!” Terlanjur bicara, akhirnya Abu Najmudin tak terkendali. Mulutnya segera berkata terus terang melarang Sarpin berjualan di situ.
“Apa kamu bilang?!” Tanya Sarpin marah sambil menunjuk hidung Abu Najmudin . Pemuda ini tak gentar sama sekali. Tangannya menepis tangan Sarpin.
Sementara itu mendengar ada orang bertengkar, orang-orang di sekitar ingin tahu. Semakin lama yang mengerumuni semakin banyak. Sementara itu tanpa diketahui oleh Abu Najmudin dan Sarpin, Wak Wardan dan Naryo menyelinap meninggalkan tempat keributan.
“Saya bilang, jangan jualan barang-barang pembawa syirik semacam ini!”
“Syirik apaan?”
“Ini pesantren Pak!”
“Kalau aku tidak mau, kau mau apa?”
“Saya akan kerahkan anak-anak pesantren untuk membuang dagangan Bapak.”
“Saya akan kerahkan orang Widodaren untuk mengeroyok kamu!”
“Sadarlah Pak ... semua orang Widodaren tahu. Di sini banyak orang Widodaren, semua tahu bahwa Bapak ini orang yang ditakuti. Dan mereka itu ingin bahwa Bapak itu menjadi orang baik, yang tidak suka memeras orang, suka mengancam. Jadi mana mungkinada orang yang mau membantu Bapak mengeroyok saya... justru mereka ingin Bapak pergi dari Widodaren. Biar desa ini aman, nyaman, pas dengan kondisi pesantren yang dikenal banyak orang.”
“Sialan!”
“Tapi warga Widodaren lebih banyak yang mengharapkan Bapak jadi orang baik..... kembali ke kewajaran.”
“Sialan! Awas kau!” Kata Sarpin kembali menunjuk muka Abu Najmudin , kemudian berbalik. Abu Najmudin diam.
Beberapa saat kemudian laki-laki itu membereskan dagangannya sambil mengumpat-ngumpat. Sementara itu orang-orang yang berkerumun tadinya mengira akan terjadi pekelahian, namun tidak ada apa-apa. Orang-orang juga heran, mengapa Sarpin tak melakukan apa-apa terhadap Abu Najmudin.
“Si Mas berani sekali kepada Sarpin ..... “ Puji seorang lelaki tua pada Abu Najmudin . Pemuda ini tersenyum.
“Orang seperti dia harus digertak Pak.”
“Si Mastahu dia itu siapa?”
“Ya tahu Pak, saya dapat informasi dari banyak orang. Termasuk tadi pagi dari ibu-ibi yang punya warung rames tenda biru itu!” Kata Abu Najmudin sambil menunjuk warung yang dimaksud.
“Ooo Bu Sayem. Memang perempuan itu sering kerjasama dengan Sarpin.”
“Maksudnya?”
“Sarpin sering titip barang-barang ke dia. Rumah Bu Sayem kan dekat dengan rumah Sarpin.”
“Oooo....”
“Si Mas harus hati-hati, jangan-jangan nanti si Mas pulang dicegatnya.”
“Biar saja.... “
“Si Mas bukan orang sini to?”
“Ya bukan Pak. Tapi saya murid Sang Kyai Pak.”
“Oooo.... santri di sini?”
“Begitulah.”
“Ooo syukurlah ..... tadi kelihatannya si Sarpin itu malu juga tidak berani melawan si Mas.”
“Orang seperti dia harus dilawan Pak, harus berani. Apalagi badannya sebenarnya kan kecil. Jadi sebenarnya masyarakat sini harus berani melawan, agar dia tidak leluasa menjadi semacam penguasa.”
“Ya mungkin nanti setelah melihat kejadian ini kami menjadi semakin berani. “
“Harus Pak. Kemungkaran harus dilawan.”
“Iya, memang dagangan Sarpin sepertinya tidak cocok dengan suasana pesantren...”
“Nah itulah Pak. Itu yang membuat saya berani mengingatkan dia Pak...”
Beberapa saat kemudian tempat Sarpin berjualan telah kosong. Beberapa orang yang berada di dekat tempatnya berjualan merasa lega, sebab biasanya kalau dagangan tidak laku, Sarpin suka meminta uang. Dengan kepergian Sarpin maka harapan uang yang diperolehnya utuh akan kesampaian.
Abu Najmudin perlahan-lahan beranjak dari tempat itu. Kini langkahnya dilanjutkan ke arah timur. Ia ingin melihat bekas-bekas makam keramat, yang menurut keterangan Kyai Haji Soleh Darajat telah dibongkar. Ketika telah sampai di tempat bekas makam keramat Kyai Sendang Kawi ia bernafas lega karena benar apa kata Kyai Haji Soleh Darajat. Tempat itu telah rata dengan tanah.
Pukul dua siang Abu Najmudin telah kembali ke pesantren. Kedatangannya bersamaan dengan beberapa orang dari kantor desa yang hendak menemui Kyai Haji Soleh Darajat . Pemuda itu langsung ke kamarnya.
Assalaamu’alaikum! Salamnya kepada Kyai Ahmad Hong yang hendak keluar kamar.
“Wa’alaikumussalam.... sudah pulang?” Tanya Kyai Ahmad Hong .
“Alhamdulillah.”
“Anak santri ada yang melapor, katanya kamu buat keributan di depan ya?”
“Oh..hoho.. itu Ustadz.... bukan keributan namanya. Hanya berbeda pendapat dengan Pak Sarpin.”
“Bagaimana hasilnya?”
“Yaaah dia pergi. Tapi ya itu, sambil mengancam .... “
“Hahahaaa.... kamu takut?”
“Buat apa takut, apalagi menghadapi polah seperti Pak Sarpin yang menjual barang dagangan yang berbau-bau kemusyrikan.... Saya harap dia tidak bergadang barang-barang itu lagi.”
“Kamu terlalu kasar mengusir dia Din.”
“Sebenarnya bukan kasar. Menurut saya tegas. Ada kalanya tegas diperlukan.”
“Gayamu berbeda dengan Sang Kyai.”
“Gaya? Dalam hal apa?”
“Dalam hal Pak Sarpin itu.”
“Pasti Sang Kyai hanya menasehati ....”
“Ya begitulah gaya beliau...., beliau seperti Rasulullah, lemah lembut. Kalau kamu seperti sahabat Umar bin Khattab! Keras.”
“Ah Ustadz bisa saja menyanjungku ..... jauh, jauh sekali Ustadz.”
“Hahaha.... kamu tahu Sang Kyai juga pernah menasehati Pak Sarpin?”
“Tahu Ustadz, dari ibu pedagang nasi rames di tenda biru depan.”
“Bu Sayem?”
“Iya. Katanya, ketika dinasehati Sang Kyai , Pak Sarpin suka njawal ?”
“Ya begitulah ..... “
“O iya tadi sholat dzuhur di mana?”
“Ngg.... di musholla kecil, mmm.... dari arah makam keramat ke timur sedikit, belok kanan, dekat pos ronda.”
“Ooo mushollanya kyai Muchayat.”
“Tapi ada kejadian lucu di situ ....”
“Lucu apaan?
Ketika melewati bekas makam keramat Abu Najmudin berdoa bersyukur bahwa sebuah kemungkaran di lingkungan pesantren telah terkikis satu. Harapannya mudah-mudahan jika ada hal-hal yang berbau pengikisan aqidah masyarakat muslim segera dapat dicegah.
Dari kejauhan suara adzan dzuhur mulai terdengar. Pemuda itu bergegas menemui orang yang berjalan di dekatnya menanyakan musholla terdekat. Ketika telah diberitahu, Abu Najmudin berjalan cepat. Begitu sampai di depan musholla ia melihat ada dua orang duduk di tlundagan musholla. Ternyata keduanya adalah Wak Wardan dan Naryo.
“Sang ....Sang Kyai?” Kata Wak Wardan tergagap.
“Aku bukan Sang Kyai Wak..... “
“Lari Yooo..... !” Kata Wak Wardan sambil berlari. Namun dengan cepat Abu Najmudin menangkap pergelangan tangan laki-laki tua itu. Berhasil. Namun laki-laki satunya, Naryo, berhasil kabur.
“Jangan lari Wak!”
“Lepaskan!”
“Sabar dulu Waaak.... saya mau tanya.... kenapa Wak Wardan takut melihat saya?” Kata Abu Najmudin seraya melepaskan pergelangan tangan laki-laki tua itu.
“Kamu anak buah Sang Kyai.”
“Iya masalahnya kenapa? Saya ke sini mau shalat di musholla ini.”
“Kamu habis berkelahi dengan Sarpin kan? Sekarang kau cari aku kan?”
“Tidak. Saya tidak mencari Wak Wardan. Dengan Pak Sarpinpun saya tidak berkelahi.... “
“Jangan bohong! “
“Saya tidak bohong!”
“Setelah kau hajar Sarpin sekarang kau kejar aku! Jangan dikira aku akan menyerah begitu saja anak muda! Kau tahu ini apa?” Kata Wak Wardan yang tiba-tiba menyorongkan keris ke mukanya. Abu Najmudin kaget sambil meloncat mundur.
“Apa-apaan ini Wak?” Tanya Abu Najmudin sambil menunjuk keris yang dipegangnya.
“Kau tau apa ini?”
“Keris Wak! Jangan main-main dengan senjata tajam Wak.” Kata Abu Najmudin seraya mengamati ujud keris kusam dengan ukuran sedang berwarna hitam keabu-abuan.
“Ini keris Kyai Sendang Kawi ...... “
“Kok seperti makam keramat?”
“Diam! Makam itu tinggal sejarah gara-gara kau!”
“Ya maafkan saya Waaak..... kan malah sekarang jadi bagus, si Wak terhindar dari berbuat bohong kepada banyak orang.”
“Persetan!”
“Wak, harusnya Wak berterimakasih ada yang mengingatkan.....”
“Merasa menang berkelahi dengan Sarpin, kau kira aku takut?”
“Siapa yang berkelahi?”
“Awas kau!” Kata Wak Wardan sambil mengacungkan keris ke wajah Abu Najmudin . Setelah itu laki-laki tua itu bergegas meninggalkanAbu Najmudin sendirian. Pemuda itu hanya menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir dengan perilaku Wak Wardan.
“.... nah begitulah ceritanya Ustadz....”
“Hmmhhh... jadi hari ini kau diancam orang dua kali.”
“Iya.”
“Kalau begitu harus hati-hati, orang-orang semacam Wak Wardan dan Sarpin itu biasanya nalarnya pendek, tak banyak pikir tentang apa yang dilakukannya.”
“Insya AllahUstadz.”
“O ya, tadi pagi Sang Kyai menanyakanmu ....”
“Menanyakanku? Ada apa Ustadz?”
“Yah, tak tahulah. Tapi kayanya serius....”
“Ada apa ya?”
“Jangan-jangan Eyang Kyai Haji Mukhlis Abas cerita tentang sesuatu pada Sang Kyai.”
“Memangnya kamu punya latar belakang apa di sana?”
“Aaaahhh... biasa saja. Saya Insya Allah tak punya masalah.”
“Hehe.... mungkin kau akan diangkat jadi pengasuh pesantren?”
“Aaaah.... ustadz bisa saja. Ilmu saya masih cetek ustadz. Sangat belum pantas . Nanti laah... usia-usia empat puluh lima tahuuun.”
“Waaaah terlalu tua. Saya saja sekarangusia baru dua puluh enam, Sang Kyai telah mempercayakan saya sebagai salah pengasuh di sini. Hafidznya masih kalah denganmu, iya kan?” Kata Kyai Ahmad Hong memuji. Dipuji demikian Abu Najmudin salah tingkah.
“Sudah ah memujinya. Kalaupun misalnya saya jadi santri muqim di Widodaren, belum tentu juga menjadi pengasuh. Kan kemampuan saya hanya melulu di hafidz, dan sedikit yang lain. Beda dengan ustadz Hong, hafidz, ilmu haditsnya dalam, ilmu mantiq-nya dalam juga, retorika ustadz juga wuah..... subhanallah. Bagusnya bukan main!” Kini gantian Abu Najmudin yang memuji. Kyai Ahmad Hong tersenyum .
“Balas memuji ya?”
“Bukan balas memuji. Hanya mengatakan hal bagus yang sesungguhnya.”
“Itulah salah satu bentuk pujian.”
“Ya terserah ustadz lah. Tapi memang ustadz begitu kok. Saya malah kadang-kadang nakal ke ustadz lho .... ini membuka rahasia .”
“Rahasia apa?”
“Kita kan satu kamar, pernah nggak kalau tidur ustadz merasa ada yang memperhatikan?”
“Siapa? Kamu maksudnya?”
“Ya iyalah ustadz. Kadang-kadang ketika saya terjaga, seperti melihat sebuah sosok mutiara yang belum dimanfaatkan. Sayang rasanya. Tapi untuk menyampaikan rasanya sulit.”
“Maksud mutiara apa?”
“Ada kemampuan besar yang ada dalam diri ustadz, tadi belum ustadz manfaatkan .”
“Apa itu? Bikin penasaran saja...”
“Saya suka kagum kalau ustadz sedang menyampaikan materi, suaranya jernih. Mantap. Bahasanya enak didengar, mudah dicerna. Taktis kalau menjawab pertanyaan santri. Kadang-kadang suaranya lembut, kadang mengeras, terus di bagian-bagian tertentu yang perlu penekanan ustadz bicara dengan meledak-ledak dan ekspresi tangan dan wajah yang tepat!” Kata Abu Najmudin dengan meledak-ledak pula. Kyai Ahmad Hong terperanjat.
“Wowwww ......... ada fans rupanya......”
“Saya sangat terpesona, ketika malam kedua saya di sini pada saat acara pengajian bedah Matan Alfiyah. Uh, itulah ketertarikan pertama saya pada ustadz...”
“Hahahaaa.... bisa saja kamu Din. Terus yang mutiara-mutiara itu apa maksudnya?”
“Ya itulah. Maksudnya potensi retorika ustadz harus dimanfaatkan.”
“Kan sudah.”
“Ustadz harus melebarkan sayap.”
“Maksudnya?”
“Ustadz harus segera keluar keluar pesantren untuk menjadi mubaligh, dai, penyeru yang sasarannya lebih luas lagi. Tidak hanya di Widodaren. Saya yakin bahwa ustadz akan menjadi besar, lebih tenar, mungkin ketenarannya akan melebihi Sang Kyai yang dikenal hingga ke luar daerah.”
“Hmh... lucu kedengarannya.”
“Apanya yang lucu ustadz? Ini tidak lucu. Ini serius. Biasanya yang paling tahu potensi seseorang adalah orang lain. Saya tahu potensi ustadz seperti itu, tetapi sepertinya Sang Kyai orangnya termasuk yang teramat nrimo.... terlalu qonaah. Bagus sih, tetapi kalau potensi yang ada dikembangkan, maka manfaatnya akan lebih banyak lagi.”
“Saya tidak mau jadi da’i model yang kau maksud. Cukuplah saya mengabdikan ilmu yang saya miliki di Widodaren ini.”
“Ustadz, saya berani menjamin ustadz bakal jadi da’i , jadi mubaligh ternama. Saya jamin itu!” Kata Abu Najmudin.
“Kau terlalu yakin Diiiinn...”
“Ada satu lagi yang menjadi daya tarik jamaah yang akan dikunjungi yang mungkin ustadz lupakan.”
“Karena aku Cina kan?” Sergah Kyai Ahmad Hong cepat. Abu Najmudin terperangah.
“Aaaa....aahhhh...... ya.... ya.... begitulah, tapi maaf ustadz.”
“Tak perlu ada permintaan maaf. Aku menyadari itu. Karena ke-Cina-anku bisa dijual. Iya kan? Memang basis etnis umum yang katakanlah asing dengan Islam, ketika ada satu atau sekelompok yang muslim, maka akan menarik. Misalnya, orang Cina yang muslim itu menarik, orang Amerika bule yang muslim itu menarik, orang Thailand yang muslim itu menarik. “
“Tapi maaf... ustadz tersinggungkah dengan kata-kata saya?”
“Tidak. Kalau tersinggung berarti saya tidak bersyukur atas takdir yang menentukan bahwa aku dilahirkan dari keturunan Cina. Islam bukan hanya untuk orang Arab, walaupun Rasulullah dari sana. Jadi inilah yang aku tata dalam kesadaran hati, bahwa aku tidak boleh merasa apapaun terhadap fakta bahwa aku ini turunan Cina. Termasuk aku tata kesiapan hati saya bahwa saya adalah contoh nyata sebuah takdir terhadap seorang anak manusia, yang di awal terlahir menjadi orang yang tidak beruntung. Saya hanyalah seorang bayi yang ditemukan di pinggir jalan di Sambas. Keinginan hati sebenarnya ingin selalu menangis, ingiiiin sekali saya itu tahu, siapa sebenarnya orangtua saya ini. Mengapa saya sampai dibuang? Menjijikkankah saya? Memuakkkankah saya ini? Tapi rupanya ini adalah kebesaran Allah SWT Din.... dengan saya diangkat putra oleh Sang Kyai , kini saya hidup di lingkungan yang nyaman. Hati tenang. Bisa mendoakan orang tua saya walaupun saya tidak tahu siapa orang tua saya. Terlebih lagi, kalau bukan karena jalan hidup saya yang disia-siakan orang tua, rasanya tidak mungkinlah saya menjadi hafidz Qur’an sebanyak ini.”
“Maaf ustadz...... saya tidak bermaksud mengungkit masa lalu ustadz.”
“Tidak apa Din.” Kata Kyai Ahmad Hong lemah. Abu Najmudin tertunduk. Beberapa saat keduanya saling diam, tiba-tiba Abu Najmudinmenyeka air matanya.
“Kamu menangis Din?”
“Ohh...oh.... tidak ustadz. Saya hanya ....hanya.....”
“Sudahlaah.... memang itu sudah suratan jalan hidup saya.....”
“Maksud saya ustadz, sayapun mungkin mengalami hal yang sama dengan ustadz...... “
“Mengalami hal yang sama? Maksudnya?”
“Sampai sekarang juga saya tidak pernah tahu seperti apa rupa ayah saya. Ibu memang punya, tapi ayah tidak. Ibu tahu wajah ayah, tapi saya tidak. Saya sudah diserahkan ke Eyang Kyai Haji Mukhlis Abas sejak kecil. Tapi ya itu tadi, seperti ustadz yang ditakdirkan ketemu Sang Kyai , saya ditakdirkan bersama Eyang Kyai Haji Mukhlis Abas menjadi hafidz seperti sekarang ini. Kalau bersama ayah saya, mungkin saya tidak pernah mengenal pesantren, apalagi sampai seperti sekarang ini....”
Kyai Ahmad Hong sama sekali tak menyangka bahwa hari itu secara tidak sengaja menperoleh informasi baru tentang latar belakang hidup Abu Najmudin. Dia dan pemuda Kedungjati sama-sama hafidz, sama-sama berlatar belakang sebagai anak bayi yang ditelantarkan orang tuanya.
“Tapi setidaknya kau masih punya ibu Din...”
“Ya begitulah ustadz..... “
“Astaghfirullaahhhal’adziiiimm..... bangun Din, banguun..... kita ini tadi bicara apa sih? Sudahlah.... sudahlah lupakan masa lalu kita. Mari sekarang kita bicara yang nyata, tidak usah berandai-andai tentang orang tua kita. Kita doakan saja orang-orang tua kita, yang telah menjadi lantaran kita ada di dunia ......”
“Ya ustadz. Terus tawaran saya bagaimana?”
“Ustadz sebaiknya mencoba melebarkan sayap.”
“Menjadi da’i , mubaligh di luar Widodaren?”
“Iya ustadz. Demi menjangkau sasaran masyarakat yang lebih banyak lagi. Kita tidak tahu sedikit banyaknya tetesan-tetesan berkah bagi mereka yang mendengar seruan para da’i. Tapi itu harus tetap dilakukan. Apalagi sekarang sepertinya para kyai sepuh terhormat satu demi satu sudah dipanggil menghadap Allah. Yaaa misalnya saja, Kyai Haji Abdullah Salam, Kyai Haji Sahal Mahfudz, Abah Anom Tasik.... dan lainnya . Harus ada regenerasi. Dan itu sebaiknya dilakukan oleh para da’i yang punya latar belakang di pesantren ustadz. Agar ilmunya bukan ilmu mentah. Jangan sampai ada da’i yang tidak tahu nafwu-shorof, tidak tahu ilmu hadits, tidak banyak hafalan ...... “
Mungkin di mata Abu Najmudin telah terekam beberapa kasus, entah di lapangan, di radio, atau di televisi ada da’i yang seperti ia khawatirkan. Ada da’i yang menjawab pertanyaan tidak dengan ayat-ayat dan hadits, tetapi hanya dengan logika dia sendiri. Kacau jika demikian. Tabligh akbar digelar dengan tidak ada tanya jawab. Mungkin tampil di televisi karena mempunyai nilai jual dari kelucuan dan gantengnya da’i tersebut.
“Ustadz..... “
“Ya?”
“Bagimana ustadz?”
“Mmmm.... Insya Allah akan saya coba.... dengan bismillah.”
“Alhamdulillaaaahhh........”
Kyai Ahmad Hong terpekur. Ia sendiri tidak tahu mengapa dirinya tiba-tiba menyanggupi saran Abu Najmudin . Sekilas ia ingat, di pesantren ini ada pemuda yang datang ingin mendapat nasehat Sang Kyai agar menjadi da’i terkenal.
“Panggil Farid... Din. Ada orang yang lebih bersemangat jadi da’i.”***
Keterangan kata Bahasa Jawa :
Cetek = dangkal
Bersambung ke Seri 12
Insya Allah Selasa mendatang .........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H