Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel : Kyai Keramat (15)

7 Juni 2014   05:34 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:54 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Seri 15 : KERIS YANG HILANG

Dini hari telah bergeser hingga menjelang pagi. Koridor rumah sakit semakin sepi. Sesekali terdengar suara batuk-batuk. Kadang suara orang menjerit kesakitan. Beberapa perawat jaga malam sesekali lewat tanpa banyak bicara. Namun suasana sepi itu kadang dipecahkan pula oleh suara deru kendaraan di jalan Purwokerto – Sokaraja.

Di masjid rumah sakit Asy-Syifa,Sang Kyai hendak melakukan shalat tahajud. Ini tahajud yang menurut perhitungannya kali yang kedua. Ia tidak habis pikir kalau santri mengatakan ia tidur di lantai. Namun akhirnya ia tak ambil pusing. Sang Kyai telahbersiap untuk takbirotul ihram.

Belum juga ia melafalkan huruf a, telinganya mendengar ribut-ribut. Niatnya kemudian diurungkan. Laki-laki itu lantas duduk terpekur. Perlahan ia mengangkat mukanya, perlahan ia menoleh ke belakang. Sementara itu beberapa santri yang tadi terlanjur bangun mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Selang beberapa saat dari arah depan ada petugas rumah sakit menggotong sesosok tubuh lunglai.

“Kenapa Pak?” tanya santri dari kejauhan.

“Tidak tahu ini. Mungkin mengantuk. Sepeda motornya menghantam gerbang rumah sakit. Padahal jalanan sepi.”

“Waaahhh....kasihan.”

“Beruntung yang satunya tidak apa-apa. Tapi ini yang belakang, rupanya terlempar ke depan.”

“Pingsan dia Pak?”

“Iya.”

“Karyonoooo! Karyonoooo!” tiba-tiba di belakang para petugas yang menggotong sesosok tubuh itu ada yang berteriak. Santri yang mendengar namanya disebut kaget.

“Sssst...sssttt.... jangan ribut.Yusuf ? Yusufkah ini?”

“Iya ini Yusuf! Itu dia ustadz Hong!”

“Kan ustadz Hong bersamamu?”

“Itu...itu... ustadz Hong!”

“Oh mana dia... kebetulan Sang Kyai sedang shalat di masjid.”

“Itu yang digotong! Itu ustadz Hong.”

“Hah?! Ustadz Hong?”

“Iya! Aduuuh..... lekas beritahu Sang Kyai.”

“Jadi ustadz yang pingsan?”

“Iya.”

Beberapa detik kemudian santri yang bernama Karyono tergopoh-gopoh menemui Sang Kyai di surau.

“Sang Kyaiii.....maaf, maaf Sang Kyai .”

“Ada apa?” Tanya Sang Kyai yang rupanya tadi benar-benar mengurungkan niatnya shalat tahajud.

“Ustadz Hong menyusul.”

“Ooohhh... malam-malam begini. Biar dia istirahat dulu. Si Udin tidak apa-apa ini....”

“Maksudnya... ustadz Hong menyusul ke sini. Tapi pingsan !”

“Astaghfurullah! Apa katamu?” Sang Kyai kaget demi mendengar penuturan Karyono. Laki-laki itu bangkit dari duduknya kemudian keluar surau.

“Kenapa dia?”

“Motornya menabrak pilar gerbang!”

“Astaghfirullah ... Hoooongg.... !”

“Mungkin Yusuf mengantuk Sang Kyai ”

“Dibonceng Yusuf?”

“Iya.”

“Ya Allah.... ada apa gerangan hari-hariku penuh cobaan...... “ kata sang Kyai sambil berlari mengejar para petugas yang menggotong Kyai Ahmad Hong seperti kaya Karyono. Beruntung bagi Sang Kyai, ketika ia tergopoh-gopoh menghampiri Kyai Ahmad Hong , pemuda itu ternyata telah siuman.

“Hoooong!” teriak Sang Kyai seraya memeluk pemuda itu.

“Sang Kyai .... Sang Kyaitidak apa-apa?” tanya Kyai Ahmad Hong lemah.

“Jangan tanya begitu! Terbalik! Kamu yang tidak apa-apa?”

“Tidak.... hanya sedikit pusing. Terus ini lengan seperti lecet... perih.”

“Tapi benar tidak apa-apa?”

“Sepertinyaa..... hhhhmhhh,,,,,”

“Kamu ini kenapa jadi ikutan ke sini? Di Widodaren saja kenapa sih?”

“Siapa yang tenang melihat pesantren tak ada siapa-siapa.”

“Kan banyak yang piket.”

“Iya. Tapi mending mbalik lagi ke sini.”

“Sudah Pak?” tanya petugas itu ke Sang Kyai. Laki-laki itu tersadar telah menghentikan jalan mereka.

“Ooo su..sudah... silakan.”

“Sudahlah... sayaa... saya di sini saja.” kata Kyai Ahmad Hong .

“Tidak boleh. Mas tadi sempat pingsan, harus diperiksa terlebih dahulu....”

“Tapi hanya pusing sedikit.”

“Sudahlah Hooong...... “

Kyai Ahmad Hong tak berani menyangkal Sang Kyai . Malam ini badannya terasa lemas. Lengan perih. Kepalanya berat. Ia tidak hafal kapan ia diperiksa. Tahu-tahu ia merasa ada yang memegang tangannya. Kyai Ahmad Hong membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa berat.

“Subuh ...... “

“Oh Sang Kyai ...... Sang Kyai sudah?”

“Sudah.”

“Yaa....yaa...iiiyaaa..iya.... tapi kaki saya ngilu. Kepala beraaat.”

“Repot untuk turun dari ranjang?”

“Mungkin bisa... aahhh....mmmhhh....”

Akhirnya Kyai Ahmad Hong dipapah perlahan oleh Sang Kyai. Dalam waktu yang bersamaan salah satu santri melihat Sang Kyai memapah Kyai Ahmad Hong . Dengan serta merta santri mendekat.

“Biar saya yang urus Sang Kyai .....” katanya seraya berusaha menggantikan pegangan tangan Sang Kyai pada Kyai Ahmad Hong .

“Hati-hati.” kata Sang Kyai sambil melepas pegangannya.

“Ya Sang Kyai .”

“Setelah ini tunggu ustadz Hong shalat dan lainnya...”

Sendika Sang Kyai .”

Keluar dari ruangan Kyai Ahmad Hong Sang Kyai menuju ke depan ruang ICU.Hatinya sedikit merasa tenang. Di ruang itu tak ada kesibukan apa-apa, berarti pasien tak bermasalah. Sang Kyai berjalan mondar-mandir.

“Sang Kyai mau minum?” tawar seorang santri kepadanya.

“Nanti dulu, kau belikan aku sikat gigi dan odol. Sabun juga.” kata Sang Kyai sambil menyodorkan uang.

“Baik Sang Kyai .”

“Sekalian beli kopi instan. Hitung saja ada berapa orangnya... “

“Kami tidak usah Sang Kyai.”

“Sudahlah ... jangan malu-malu.”

“Bukan begitu Sang Kyai, kami puasa....”

“Astaghfirullaaaaahhh..... lupa, lupa. Ini hari apa?” kata Sang Kyai seraya menepuk-nepuk dahinya.

“Kamis Sang Kyai.”

“Ya sudah, saya puasa juga.”

“Sebaiknya jangan. Sang Kyai butuh tenaga banyak, Sang Kyai cape pikiran juga.... “

“Yaaa.... ya.... terserah kamu sajalah.”

Kebiasaan yang tak pernah ditinggalkan sejak menjadi pimpinan pesantren adalah puasa Senin – Kamis. Kali ini ia lupa. Namun santri asuhannya sungguh bijaksana dengan menyarankan Sang Kyai untuk tidak berpuasa. Di sudut hatinya Sang Kyai merasa jadi sangat lemah. Baru kali ini ia diberi saran oleh santrinya, dan ia langsung menurut.

Matahari mulai terbit. Kehidupan di lingkungan rumah sakit semakin tampak. Para pegawai aplus malam terjadi. Para penjaga kebersihan mulai menyapu dan mengepel. Di dapur tukang masak bahkan sudah sejak pagi menyiapkan menu untuk pasien. Bagian kebersihan peralatan telah mengganti selimut para pasien dengan yang baru. Sprei kotor telah dimasukkan ke dalam gerobak, kemudian dibawa ke tempat cucian. Keluarga pasien rawat inappun demikian. Mereka memulai kegiatannya. Ada yang pergi ke kamar mandi, ada yang datang dari warung luar membawa termos air panas. Sebagian membawa makanan pagi, baik nasi, lontong, mendoan atau apa saja untuk menangsal perut.

“Apa rencana kita hari ini Sang Kyai ?” tanya Kyai Haji Soleh Darajat.

“Pak Kyai nanti siang pulang dulu ... urus pesantren. Biar satu santri saja yang tinggal di sini menemani saya.”

“Yusuf bagaimana?” tanya Kyai Haji Soleh Darajat kepada santri yang memboncengkan Kyai Ahmad Hong.

“Tidak apa-apa Sang Kyai , saya sehat kok.”

“Jadi sebaiknya kamu pulang, tapi jangan pakai motor. Kamu di mobil saja. Biar motor dipakai santri lain.”

“Ya Sang Kyai. Yang mau pakai motor silakan sekarang saja, tetapi yang lain nanti agak siang bersama Pak Kyai Haji Soleh dengan mobil.”

Pagi itu santri yang mau naik motor pamitan pulang. Kyai Haji Soleh Darajat menemani Sang Kyai menunggu datangnya dokter. Dua santri dan Iman sedang mengantri mandi.

“Sang Kyai ..... “ bisik Kyai Haji Soleh Darajat .

“Ya?”

“Apa tidak sebaiknya Kyai Haji Mukhlis Abas kita beritahu perihal nasib yang dialami Udin?”

“Bagaimana ya? Saya juga bingung. Memberi tahu, khawatir sahabatku itu kaget, tidak memberi tahu juga salah. Bagaimana sebaiknya menurut Pak Kyai?” kini malah Sang Kyai yang minta pertimbangan.

“Waaahh.... tapi sebaiknya sih Kyai Haji Mukhlis diberitahu saja.”

“Kalau dia marah?”

“Aaahh... mana mungkin. Lagi pula keadaan Udin sepertinya tidak mengkhawatirkan.”

“Jadi kita beritahu saja.”

“Sebaiknya begitu.... “

Kedua kyai yang sedang bercakap-cakap berhenti sejenak ketika mendengar suara sepatu. Keduanya menoleh. Yang ditunggunya datang. Rupanya dokter itu juga sedang ada perlu dengan Sang Kyai.

“Bapaknya Abu Najmudin ya?” tanyanya.

“Ya saya dokter.”

“Menurut laporan perawat tadi pagi, kondisi putra bapak membaik. Nanti malam akan dialihkan ke ruang rawat inap.”

“Maksudnya keluar dari ICU?”

“Ya.”

“Alhamdulillaaahh.....”

Tampak ekspresi kebahagiaan di mata Sang Kyai tatkala mengucap syukur. Demikian pula Kyai Haji Soleh Darajat yang berada di sampingnya. Laki-laki itu menengadahkan tangan sebentar, kemudian menyaputkan ke wajahnya.

“Terus kira-kira butuh berapa lama untuk penyembuhan dokter?”

“Kalau melihat lukanya dalam, yaaaa.... barang dua minggu. Hanya kebetulan keris itu tidak mengenai organ vital, hanya otot saja yang kena, maka waktu dua minggu cukup untuk pulih. Setelah itu tentu dilanjutkan dengan membuka jahitan yang ada. Walaupun itu juga dipengaruhi oleh faktor si pasien itu sendiri.”

“O ya, ya, .... mmm... tapi apakah keris itu tidak mengandung racun dok?”

“Rasanya tidak. Suhu badan putra badan semalaman normal, tak mengalami fluktuasi yang berarti seperti layaknya orang yang terkena racun di darahnya, seperti digigit ular misalnya... Mudah-mudahan keadaan ini akan tetap terjaga. Tapi kita lihat juga nanti sore. Pagi ini juga kebetulan sampel darah sudah diambil untuk mengecek kemungkinan apakah darahnya tercemar racun atau tidak.”

“O ya,ya ….. nggg...ngg... kira-kira sekarang kita boleh menjenguknya sebentar dokter?”

“Silakan saja, tapi hanya lima menit.”

“Terimakasih dokter...”

Kedua kyai itu segera memakai seragam baju bezoek. Keduanya perlahan membuka ruang ICU. Hawa dingin meresapi tubuh mereka berdua. Pandangannya tertuju kepada sesosok tubuh tertelungkup di ranjang pojok. Keduanya bergegas.

“Udiiin......” sapa Sang Kyai seraya mengelus lengan Abu Najmudin . Yang dielus tangannya merespon lemah.

“Siapa?”

“Saya...., kamu lupa suara saya?”

“Ooooo.... Sang Kyai.”

“Benar Din... ini saya bersama Kyai Haji Soleh.”

“Ooooh Pak Kyai Haji.....”

“Tabahkan hatimu ya Din.... ini cobaan.... “ kata Kyai Haji Soleh Darajat mengingatkan.

“Iya terimakasih.....”

“Din..... “

“Ya Sang Kyai ....”

“Kamu ingat nggak sekarang, kamu kenapa?”

“Lupa-lupa ingat Sang Kyai.”

“Kemarin malam kamu berkelahi?”

“Tidak Sang Kyai .... saya tidak berkelahi. Saya tidak tahu, katanya ada yang mau ketemu saya di pintu barat. Tapi begitu saya keluar, tiba-tiba ada yang menyerang saya dari belakang..... saya tidak tahu siapa.”

“Kamu ditusuk keris Din....”

Keris? Keris kata Sang Kyai?”

“Iya, keris....”

“Aaaahhh.... keris kecil Sang Kyai?”

“Ya keris kecil, tidak terlalu kecil sih.”

“Warna abu-abu?”

“Ya.”

“Itu keris Wak Wardan .... kemarin siang di depan surau Kyai Muchayat, dia mengancam saya Sang Kyai.....”

“Mengancammu?”

“Benar Sang Kyai .”

“Hmhhh...Wardan, Wardaaann.”

Sebenarnya Sang Kyai ingin bicara lebih lama. Namun dokter telah mengingatkan bahwa waktu bezoek habis. Tak banyak keterangan yang ingin dikorek untuk melacak siapa pelaku penikaman. Namun menurut perhitungannya sudah nampak jelas siapa yang melakukan.

“Sudah dulu Diiinn... kata dokter kamu tidak apa-apa.”

“Terimakasih Sang Kyai ... oya Sang Kyai, kata Kyai Ahmad Hong kemarin pagi Sang Kyai menanyakan saya?”

“Ooo itu... sudahlah nanti saja.”

Sepatah kata dari Sang Kyai yang terakhir membuat Abu Najmudin penasaran. Namun keinginannya tak kesampaian, sebab kedua kyai itu telah meninggalkan tempat. Sang Kyai sendiri juga tidak mengatakan bahwa Kyai Ahmad Hong juga ada di rumah sakit itu.

Sekeluar dari ruang ICU, keduanya dipanggil dokter. Kedua kyai itu menghadap.

“Siang ini bapak-bapak silakan urus masalah ini dengan polisi. Bisa salah satu yang pulang dulu, yang satu tinggal di sini, apalagi ternyata bapak punya dua tanggungan pasien. Ngomong-ngomong, ibunya belum ke sini Pak?”

“Ibunya siapa?”

“Ya ibunya pasien.”

“Belum dokter. Malah mungkin belum tahu. Nanti siang saya beritahu.”

“Memangnya ibunya sedang di mana?”

“Jauh dokter. Di Kedungjati. Pesantren Kedungjati, Tambak.”

“Oooo....” hanya itu yang terucap dari dokter. Mungkin dokter yang cerdas itu menilai bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan jawaban Sang Kyai , makanya dokter itu tak melanjutkan bertanya tentang ibu Abu Najmudin .

“Dokter, bagaimana kalau misalnya kami tidak lapor polisi?” Tanya Sang Kyai. Dokter itu memandangnya tajam sambil berfikir.

“Mengapa?”

“Kalau dengan polisi urusannya panjang. Sepertinya kami sudah mengetahui titik terang siapa pelaku penikaman itu.”

“Bapak mau apa dengan pelaku penikaman itu? Mau balas dendam?”

“Ya tidak. Kita mau selesaikan secara kekeluargaan.”

“Bapak mungkin punya pendirian seperti itu, tapi keluarga bapak yang lain bisa berbeda pendapat. Jangan-jangan nanti si pelaku malah dihakimi massa. Kalau ada polisi kan bisa langsung diamankan di polsek, atau polres malahan. Apalagi bapak sudah mengetahui siapa pelakunya.”

“Tapi rasanya keluarga kami baik-baik Pak, kami dari pesantren.”

“Maaf Pak, bukan meremehkan kualitas hati orang-orang pesantren, tetapi ini untuk antisipasi, kalau-kalau! Ya, kalau-kalau lah! Jadi saran saya, bapak harus tetap lapor polisi. Oke pak?”

“Yaaa.... bolehlah kalau begitu. Tapi kami ingin tahu wujud keris itu di tempat terang ini Pak, agar kami bisa memastikan bahwa keris itu adalah milik orang yang dimaksud anak saya...”

“Boleh... tunggu sebentar....”

Kemudian dokter itu membuka lemari tempat keris itu disimpan dalam bungkus plastik. Namun dokter itu tertegun sejenak, melihat tempat penyimpanan itu tidak ada apa-apanya. Dokter itu terdiam, mengingat-ingat di mana ia menyimpan keris. Beberapa saat kemudian dokter membuka seluruh pintu lemari, kemudian lacinya. Setelah di semua tempat lemari tak ditemukan, ia membuka laci meja kerjanya. Nihil. Keris tak ditemukan. Wajah dokter itu tegang. Keringat tampak merembes keluar di pori-pori dahinya.

“Tidak adaaa.....” gumam dokter.

“Tidak ada dok?” Sang Kyai kaget, demikian pula Kyai Haji Soleh.

“Atau barangkali bapak-bapak tahu di mana?”

“Ya tidak mungkin tahu dok.”

“Tadi malam?”

“Kan dokter hanya cerita bahwa keris itu sudah dibungkus. Bentuknya setelah dibungkus kami tidak tahu..... “

“Aneh. Jadi benar bapak-bapak tidak tahu?”

“Masa kami bohong, buat apa kami bohong. Saya sedang punya dua pasien dokter, kedua-duanya anak saya, masa saya harus berbuat hal-hal jelek seperti mencuri misalnya....”

“Tapi bagaimana keris itu tidak ada?”

“Ya apalagi kami dokter .... “

Dokter itu bingung. Perawat yang lewat dipanggil untuk mencari perawat yang menjadi pembantu dokter. Tak lama kemudian yang dibutuhkan datang.

“Ada apa dok?”

“Kamu tahu dimana disimpan keris kasus penikaman tadi malam?”

“Bukannya tadi shubuh itu orang suruhan dokter?”

“Orang yang mana?”

“Kan ada yang keluar dari ruang dokter. Perawat juga tampaknya.”

“Laki-laki atau perempuan?”

“Laki-laki , orangnya tinggi kecil.”

“Tidaaak... saya tidak menyuruh siapa-siapa?”

“Lalu siapa yang masuk ke ruang dokter?”

“Tidak tahu...... “

“Lalu bagaimana dokter?”

“Kami minta maaf..... “

“Jika barang bukti itu hilang... saya pikir pihak rumah sakit harus lapor polisi. Jikalau kami yang lapor tentang peristiwa ini, polisi di kami juga butuh barang bukti.”

“Emm..... baik, baik, sambil kita berjalan nanti kita selesaikan.”

“Begini saja dokter, sebenarnya kalaupun itu hilang juga tidak apa-apa. Tapi tolong anak saya dokter, bahkan dua-duanya.. semoga keduanya cepat sembuh.”

“Iya pasti. Tapi untuk kasus yang tadi malam, kata dokter teman saya yang menangani, siang ini ia sudah boleh keluar. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Paling-paling besok pagi setelah bangun tidur, badannya akan terasa sakit pegal-pegal. Biasa untuk kasus orang yang jatuh begitu .... “

Sambil berulangkali minta maaf, dokter itu berjanji kepada Sang Kyai untuk menyelesaikan masalah ini dengan menyelidiki kejadian aneh. Sang Kyai juga bingung dengan hilangnya keris itu. Mungkinkah ada yang menyelinap masuk ruangan dokter? Ataukah dokter itu pura-pura berlaku demikian karena mungkin ada sangkut pautnya dengan penikaman itu? Tapi rasanya yang kedua mustahil. Pihak dokter baru tadi malam mengenal Abu Najmudin. Jauh, bukan dokter. Dokter tidak terlibat. Ia tidak ingin mengotori harinya dengan su’udzon terhadap dokter yang tulus punya inisiatif menyimpan barang bukti tadi malam, bantah hati kecil Sang Kyai sendiri.

“Bagaimana ini Sang Kyai?” tanya Kyai Haji Soleh Darajat bingung.

“Sekarang juga Pak Kyai pulang, ada dua tugas, pertama sampaikan ke orang-orang yang mau berobat, sampaikan maaf saya karena hari ini saya tidak bisa pulang. Dongengkan kasus yang dialami anak saya ini. Yang kedua tentu, cari Wak Wardan.”

“Sang Kyai yakin akan hubungan Wak Wardan dengan kasus hilangnya keris?”

“Tadi kanUdin bercerita bahwa kemarin ia baru diancam oleh Wak Wardan dengan keris. Sedikit banyak mudah-mudahan ia tahu perihal keris itu. Untuk sementara, sepertinya hanya dia yang tahu pokok persoalan ini.”

“Tapi kerisnya hilang Sang Kyai ..... “

“Iya. Memang tadinya kita ingin melihat detail kerisnya itu seperti apa. Kalau memang benar-benar itu milik Wak Wardan ya tinggal ditanyai saja orang itu.”

“Ya.”

“Tanyai dia suruh tunjukkan keris yang kemarin untuk mengancam Udin.”

“Ya.”

Setelah memahami apa yang diperintahkan Sang Kyai , Kyai Haji Soleh Darajat berpamitan. Di rumah sakit tinggal Sang Kyai dan dua orang santrinya. Sepeninggal Kyai Haji Soleh Darajat,Sang Kyai sudah bulat ingin memberitahu Kyai Haji Mukhlis Abas . Laki-laki merogoh saku baju kemudian menelpon pimpinan pesantren Kedungjati.

“Assalaamu’alaikum rayi...... “

“Alhamdulillah kangmas.... bagaimana sebaliknya?”

“Alhamdulillah rayi ..... hanya anak-anak di Widodaren sedikit tidak sehat.”

“Aaaahh.... ya biasa kalau kurang sehat sedikit. Mudah-mudahan lekas sembuh. Nggg... ini ada kabar gembira kangmas.”

“Kabar gembira? Kabar apa? Bikin deg-degan saja.”

“Ibunya Abu Najmudin sudah kembali ke Kedungjati.....”

“Apa? Ibu... ibu Sunarti maksudnya?”

“Iyaaa.... kemarin sore dia datang lagi. Mudah-mudahan tak ada masalah. Mudah-mudahan ia datang tidak untuk mengambil barang-barang.”

“Maksudnya?”

“Ya siapa tahu ia mau kukud mberesin barang-barang, lalu pergi dari Kedungjati untuk selamanya .......”

“Too....tolong.. ce... cegah dia rayi. Tolong!” kata Sang Kyai terbata-bata.***

Keterangan bahasa Jawa :

1.Sendika = siap (jawaban untuk mengiyakan perintah orang yang sangat dihormati)

2.Kukud = berkemas-kemas

Bersambung ke seri 16

Insya Allah Senin mendatang ......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun