Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel: Kyai Keramat (16)

10 Juni 2014   04:22 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:27 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1402326417840571448

Seri 16 : KEMBALI HILANG

Bergetar tangan Sang Kyai .

Degup jantung semakin cepat. Laki-laki itu berfikir inilah kesempatan untuk bertanya langsung pada Sunarti. Namun ia juga bingung mau menanyakan apa. Ia takut jika pertanyaannya tidak sopan. Ini pertanyaan kepada seorang perempuan. Hal yang tak pernah ia lakukan selama puluhan tahun. Ia telah lama melupakan urusan perempuan. Jadi, untuk sekedar mengatakan sesuatu, rasanya bibirnya tak sanggup berbicara.

“Halloooo.... halloooo... kangmas....”

“Aaa... iii....iya apa raaa...rayi?”

“Kangmas kanapa grogi begini....”

“Tttiiidak... biasa...biasa saja...mhhmm...”

“Saya harus cegah apa kangmas?” tanya Kyai Haji Mukhlis Abas memastikan.

“Cegah apa? Ya apa saja...”

“Maksudnya?”

“Ya tadi saya ngomong apa agar dicegah?”

“Bu Narti ?”

“Iya, iya itu Bu Narti.”

“Kangmas mau bicara?”

“Aaaa...iii....ah bicara apa ya?”

“Apa saja! Untuk menghilangkan grogi kangmas.”

“Enak saja! Saya tidak grogi .... “

“Kalau tidak grogi, saya panggil Bu Narti, biar bicara langsung dengan kaangmas....”

“Aaa... jangan... sampaikan bahwa .... bahwa..... “

“Bahwa saya mau bicara?”

“Bukan...bukan....”

“Sudahlah... masa kangmas jadi kaya anak kecil begini. Tunggu sebentar, matikan dulu, saya cari Bu Narti dulu .... nanti saya telpon lagi.”

Begitu HP Kyai Haji Mukhlis Abas dimatikan, hati Sang Kyai merasa lega. Laki-laki itu duduk. Namun tiba-tiba degup jantungnya kembali berdenyut cepat ketika ingat bahwa sekarang Kyai Haji Mukhlis Abas sedang mencari Sunarti untuk diajak bicara dengannya.

Jauh di Kedungjati.

Usai mematikan HP Kyai Haji Mukhlis Abas menyuruh salah seorang santri ke dapur, mencari Sunarti agar menghadap dirinya. Santri yang disuruh segera menunaikan tugas. Beberapa saat kemudian yang dipanggil datang.

“Assalaamu’alaikum Pak Kyai.” salamnya.

“Sibuk?”

“Tidak Pak Kyai.”

“Tadi ada telephon dari Sang Kyai Widodaren.”

“Oooo... bagaimana kabar anak saya?”

“Baik, baik .... “

“Syukurlah. Mudah-mudahan dia betah di sana.... “

“Amin. Juga tambah ngelmunya.”

“Amin.”

“Emmm Bu Narti, baru saja saya ditelephon Sang Kyai .... “

“Sang Kyai ? Sang Kyai Widodaren?”

“Iya, maksudnya ya dia. Dia kan sahabat saya .... apakah bu Narti tahu kalau Sang Kyai itu sahabat saya sejak muda?”

“Sahabat Sang Kyai?”

“Iya.”

“Tidak tahu Pak Kyai... “

“Dia itu sahabat yang paling menyenangkan. Orangnya pinter. Cerdas. Sepertinya ia punyai ilmu laduni ... kemampyuan bawaan yang tidak dimiliki orang lain.”

“Pak Kyai mesantren bareng Sang Kyai?”

“Ya, kami belajar di Demak. Niatnya tadinya hanya main ke Demak, sama-sama ibarat anak gelandangan, eh tahunya ada yang menunjukkan agar masuk pesantren. Ya sudah .... jadinya begini.”

“Hingga hafidz satu Qur’an?”

“Alhamdulillah, atas izin Allah. Karena waktu itu kami berdua sudah tidak berfikir tentang dunia, yaaah..mungkin kami waktu putus asa atau apa, akhirnya ya sudah hidup ini kami fokuskan ke menghafal Qur’an. Ibaratnya tiap detik kami manfaatkan untuk menghafal. Selesai makan, kami hafalkan, selesai mandi kami hafalkan, yang ini yang itu kami hafalkan. Dan alhamdulillah ketika orang lain mungkin masih leha-leha, kami tetap fokus. Alhasil, kalau kita sekarang kita lihat, banyak orang Islam, mungkin umurnya sudah menginjak enam puluh tahun, paling-paling hafal surat-surat pendek hanya sedikit. Padahal ia diberi umur hingga enam puluh tahun. Kami kadang-kadang tidak tahu, berapa porsi nuansa agama yang ia miliki.... tapi rasanya sedikit.“

“Ya, Pak. Alhamdulillah anak saya Udin menurun sifatnya seperti Eyang Kyai. Walaupun dia sudah hafal tiga puluh juzz, tapi masih clotat-clatet ....”

“Oh itu sebuah kemajuan luar biasa. Sekarang umur Udin kan masih muda , bandingkan saya sekarang sudah lima puluh tahun lebih sedikit. Nanti jika Udin seusia saya sekarang, tentu Udin sudah pasti hafidz total, lancar, dan tartil.”

“Amin.”

“Emmm... aaah saya kok malah jadi ngomong panjang.”

“Ya tidak apa-apa Eyang. Mau tanya sedikit Eyang, apakah Sang Kyai itu nama aslinya Kyai Haji Ahmad Soderi?”

“Iya, iya betul. Ibu tahu dari siapa?”

“Kemarin waktu Sang Kyai baru datang. Yang crita Bu Hajjah Sarmunah.”

“Ya memang dia bernama Ahmad Soderi.”

“Apa dia tidak punya nama lain?”

“Maksudnya?”

“Yaaa... misalnya saja nama itu adalah nama pesantren. Dulunya mungkin nama Banyumas, seperti Warno, Sadun, Jono, Sarkum, Parman atau yang lain?”

“O iya. Dulu namanya Soderi. Seingat saya, waktu pertama bertemu di di pertigaan mBuntu, namanya Soderi. Nah oleh Eyang Guru di nDemak, si Soderi itu namanya ditambah Ahmad. Jadilah nama Ahmad Soderi sampai sekarang. Malah anehnya, sekarang ini orang-orang tidak banyak yang tahu bahwa pimpinan pesantren Widodaren itu bernama Ahmad Soderi. Tahunya sebutan populer Sang Kyai. Itu saja. Ya sebenarnya Sang Kyai Ahmad Soderi. Termasuk banyak orang yang tidak tahu bahwa di pesantren Babussalam juga ada orang mumpuni bisa mengobati orang sakit, hampir semua penyakit apa saja...”

“Pesantren mana lagi itu Eyang?”

“Widodaren.”

“Widodaren?”

“Ya, pesantren Widodaren itu nama aslinya Babussalam!”

“Oooo.... “

“Baru tahu kan?”

“Benar Sang Kyai tak punya nama lain Eyang?”

“Benar.”

“Iyaa...yaaaa.....Ya sudah kalau begitu Eyang, untuk kabar Udin yang sehat baik-baik saja, saya berterimakasih. Saya ke belakang dulu.” Kata Bu Sunarti seraya bangkit dari duduknya kemudian bergegas meninggalkan Kyai Haji Mukhlis Abas .

“Lhooo...lhoo.... nanti dulu Bu, ini tadi saya belum selesai bicara.”

“O belum selesai?” Sunarti menghentikan langkahnya.

“Belum. Masih ada satu lagi yang lebih penting. Duduklah dulu .....”

“Ya Eyang.”

“Tadi itu Sang Kyai menelphon saya, katanya ia ingin bicara dengan Bu Narti.....”

“Ssss... saya? Sang Kyai mau bicara dengan saya?” Sunarti kaget. Duduknya tampak tidak tenang.

“Iya. Dengan bu Narti.”

“Salah orang mungkin Eyang? Apa hubungan saya dengan Sang Kyai? Rasanya terlalu jauh.....”

“Salah apanya? Sang Kyai mau bicara dengan ibunya Abu Najmudin. Ibu Sunarti ....”

“Ohh .. tidak...jangan Eyang.” Kata Sunarti sambil memberikan isyarat tidak mau.

“Tunggu sebentar ... saya telephon dulu Sang Kyai ....” Kata Kyai Haji Mukhlis Abas tak peduli penolakan Sunarti sambil mengaktifkan HP-nya lagi. Tak berapa lama yang dituju tersambung,

“Wa’alaikumussalam.... lama banget rayi....” Terdengar suara dari HP cukup keras.

“Lama apanya? Baru beberapa menit kok.” Kata Kyai Haji Mukhlis Abas sambil tertawa.

“Orangnya ada rayi?”

“Ada. Mau sekarang?”

“Ngg... se...sekarang boo.... tapi begini rayi, mohon maaf, rayi pergi dulu, jangan nguping pembicaraan saya.”

“Siaaap.....”

Kyai Haji Mukhlis Abas mengiyakan permintaan Sang Kyai. HP disodorkan ke Sunarti. Sunarti ragu-ragu. Tapi Kyai Haji Mukhlis Abas terus menyorongkan HP itu. Tampak tangan perempuan itu bergetar menerima HP dari Kyai Haji Mukhlis Abas. Laki-laki itu bergegas meninggalkan Sunarti sendirian.

“Assalamu’alaikum .....” terdengar suara dari HP. Muka Sunarti memerah. Suara Sang Kyai begitu lekat di telinganya. Dekat sekali.

“Waa..waaa ‘alaikumus..sss...salam.” perempuan itu mukanya merah. Suaranya terbata-bata. Bibirnya bergetar.

“Naar....naarti.... betulkah..... bee....”

Tidaaaaaak! Tiba-tiba Sunarti menjerit histeris.

HP Kyai Haji Mukhlis Abas dilempar jauh, Klotak! Beberapa kali barang rentan itu jatuh di lantai terpelanting beberapa kali. HP itu kini diam. Perempuan itu lari meninggalkan tempatnya bicara. Sementara itu Kyai Haji Mukhlis Abas sangat kaget demi melihat Sunarti lari terbirit-birit.

“Bu Nartiiiii......ada apa Bu?” tanya Kyai Haji Mukhlis Abas sambil mengejar perempuan itu. Yang melihat juga ikut tertegun.

“Kenapa Bu Narti?” tanya Hj. Sarmunah.

“Ikuti dia ke kamar.... tanya kenapa.“ perintah Kyai Haji Mukhlis Abas. Sementara pimpinan pesantren itu kembali menuju ke tempat Sunarti menelpon.Laki-laki itu terbengong-bengong mendapati HP-nya tergeletak di lantai. Dengan penuh tanda tanya HP itu diambilnya. Ternyata mati. Dicoba dihidupkan tidak mau. Mungkin HP telah rusak. Kyai Haji Mukhlis Abas hanya bisa menghela nafas dalam. Hatinya merasa ada yang tidak beres dengan kelakuan Sunarti.

Perlahan Kyai Haji Mukhlis Abas menuju ke depan. Demi dilihatnya salah satu pengasuh pesantren yang lewat, laki-laki itu memanggilnya.

Ustadz... ustadz bisa membetulkan HP ini?” tanya Kyai Haji Mukhlis Abas sambil menyodorkan HP-nya ke Kyai Sambas.

“Kenapa?” katanya sambil menerima HP dari tangan Kyai Haji Mukhlis Abas .

“Mungkin jatuh, terus mati.”

“Kenapa mungkin Pak Kyai Haji?”

“Bukan aku yang menjatuhkan.....”

“Oooo..... waaah... ini harus anak muda yang ngurus. Biar saya bawa ke anak-anak Pak Kyai....”

“Boleh. Silakan.”

Sementara itu di kamar Sunarti duduk diam.

Matanya menatap gundah ke depan. Hj. Sarmunah yang berada di sampingnya belumdiresponnya. Perempuan separuh baya yang menjadi kepala dapur pun masih menunggu dengan sabar. Hingga ada dua menit keduanya diam. Merasa bahwa tak akan tahan berlama-lama, maka Hj. Sarmunah memegang bahu Sunarti.

“Apa ada yang salah dengan Eyang Bu?” tanya Hj. Sarmunah hati-hati.

“Hmh.... tidak tahu.”

“Tanya Eyang Kyai, Bu Narti kenapa?”

“Eyang Kyai berbohong..... “

“Berbohong? Tidak mungkin Eyang Kyai berbohong.” Hj. Sarmunah kaget mendengar pernyataan Sunarti.

“Tanyakan padanya , apa benar bahwa nama Soderi, atau Ahmad Soderi masih ada sangkut pautnya dengan Sugiyono.”

“Ini menyangkut Sang Kyai?”

“Iya.”

“Kalau begitu... ayo, sekarang kita temui Eyang Kyai.”

“Tidak. Saya tidak mau Bu Hajjah.... saya kecewa. Biarkan dulu saya menghilangkan kekesalan saya di sini.”

“Maafkan Eyang Kyai bu Narti kalau memang salah.”

“Bukan ibu yang meminta maaf.... “

“Iya. Maksud saya, kalau Eyang Kyai salah pasti akan minta maaf.”

“Tinggalkan saya sendirian Bu Hajjah .... “

Tak kuasa menolak perintah halus Sunarti, Hj. Sarmunah meninggalkan kamar Sunarti. Pintu ditutupnya pelan-pelan. Perempuan itu berjalan gontai menuju ke ruang depan di mana Kyai Haji Mukhlis Abas tadi berada. Namun yang ditujunya tidak kelihatan. Rupanya Kyai Haji Mukhlis Abas sedang di depan bersama beberapa santri sedang memperbaiki HP yang rusak. HP Kyai Haji Mukhlis Abas telah diganti baterai tetapi tidak menyala juga.

“Pindahkan saja kartunya ke HP lain.” saran yang satu.

“Benar.”

“Kalau begitu pakai ini tolong dibuka HP-ku.” Kata Kyai Sambas ke santri tadi.

“Waaahhh... tapi kalau nomor itu tidak ada di kartu bagaimana?”

“Ya terpaksa minta nomer lagi.”

Setelah beberapa kali dicoba, ternyata nomor Sang Kyai termasuk yang hilang. Daftar nomor yang ada diulang lagi. Tapi sampai beberapa balikan tak ditemui juga. Kyai Sambas melapor ke Kyai Haji Mukhlis Abas.

“Yaaahh hilang sudah. Eh, apakah kalian ada yang punya nomor Sang Kyai?”

“Kan kami tidak boleh bawa HP Eyang .....”

“Aaahhhhh iya, ya... lupa...lupa. Mmm kalau begitu tolong ke Bu Hajjah Munah, ke Bu Sunarti minta nomor HP Udin di Widodaren. Nanti dari situ kita bisa hubungi Sang Kyai.” Kata Kyai Haji Mukhlis Abas menyuruh salah seorang santri. Tak berapa lama perempuan yang dipanggil datang.

“Apa Eyang?”

“Ini HP saya kan rusak ... tolong ke Bu Narti...”

“Minta diganti Eyang?”

“Astaghfirullah.... dengarkan dulu saya bicara.... “

“Wah iya. Maaf, maaaaf.....”

“Ke Bu Narti, minta nomor HP di Udin, si Abu Najmudin. Catat, terus hubungi Udin, minta dihubungkan dengan Sang Kyai. Cepat ya.... “

“Tapi sebentar Eyang, mau bicara masalah penting dulu sebentar.” kata Hj. Sarmunah pelan.

“Penting apa?”

“Tadi Bu Narti mengatakan bahwa Eyang Kyai bohong.”

“Apa? Dia mengatakan saya bohong?”

“Iya.”

“Bohong apa katanya?”

“Tentang nama Sang Kyai.”

“Nama Sang Kyai?Bukankah namanya Ahmad Soderi. Soderi.”

“Mungkin masih ada nama lain?”

“Aaah tidak. Saya sudah katakan pada Bu Narti begitu.”

“Tapi sepertinya ia tidak percaya.”

“Terserah dialah .... biar saja Bu, dia sedang kacau. Sekarang ibu ke kamar Bu Narti, minta nomor si Udin, anaknya itu.”

“Ya Eyang...”

Hj. Sarmunah kembali ke kamar Sunarti. Hatinya lama-lama kesal juga. Masakan di dapur seharusnya menjadi urusannya, kini terbengkalai. Namun ia mencoba membuang rasa kesalnya dengan menghela nafas dalam. Apalagi ini urusannya dengan amanat pimpinan pesantren Kedungjati.

“Bu Nartiiii..... ijin masuk....” kata Hj. Sarmunah sambil mengetuk pintu.

Sepi tak ada jawaban. Perempuan itu beberapa kali mencoba mendengar barang gemerisik atau apa dari kamar, namun benar-benar sepi. Perlahan permpuan itu mendorong daun pintu.

“Bu.... Bu .... Bu Narti.... weeee.... lah nyang endi wong iku tah? Kemana orang ini..... “ kata Hj. Sarmunah sambil keluar kamar.

Perempuan itu ingat kejadian yang lalu ketika Sunarti pergi tanpa pesan. Kali ini juga tidak ada di kamar. Ia ingat kemarinnya ia menyuruh santriwati untuk mencari Sunarti di seluruh sudut , namun tak ada. Akankah kali ini juga demikian?

Setelah tahu bahwa Sunarti tak ada di kamar, perempuan itu keluar lagi kemudian menyuruh santriwati untuk mencari Sunarti . Benar juga seperti kejadian sebelumnya, hari ini para santriwati ribut mencari Sunarti. Perihal ketidakadaan Sunarti di kamar langsung diberitahukan kepada Kyai Haji Mukhlis Abas. Laki-laki pemimpin pesantren Kedungjati itu tak habis pikir dengan Sunarti yang mengatakan bahwa dirinya bohong.

“Mungkinkah Bu Narti benar-benar pergi?” kata Kyai Haji Mukhlis Abas seperti bertanya pada dirinya sendiri.

“Sepertinya begitu. Bahkan kalau sekarang pergi yang kedua, ada kemungkinan ia tak akan kembali lagi.” kata Hj. Sarmunah .

“Yaaa ada kemungkinan.”

“Eyang, apakah ada di antara kita yang punya nomor Udin?”

“Tidak tahu. Tapi rasanya tidak. Udin saja diijinkan bawa HP juga kemarin saja pas berangkat ke Widodaren. Memang , Udin pasti punya nomor-nomor kita, nomor Eyang Kyai Haji, nomor Kyai Sambas... atau yang lain. Tapi belum tentu ia tiba-tiba ia mengontak kita. Ia terlalu pemalu.Harapan paling juga tinggal berdoa, mudah-mudahan Sang Kyai minta nomor ke Udin, terus menelphon atau kirim SMS ke kita.”

Kyai Haji Mukhlis Abas bingung. Ditunggu sampai sore ternyata tak ada satupun kabar dari Widodaren. Akhirnya Kyai Haji Mukhlis Abas memutuskan untuk pergi ke Widodaren besok pagi.

Siang itu rumah sakit Sumber Waras cukup ramai.

Sang Kyai nampak kesal. Ia tak habis pikir mengapa HP Kyai Haji Mukhlis Abas tiba-tiba mati. Ia bahkan baru bicara beberapa kalimat dengan Sunarti. Tadinya ia ingin mengatakan banyak hal pada Kyai Haji Mukhlis Abas , juga pada Sunarti . Kepada Kyai Haji Mukhlis Abas tadinya ingin mengabari perihal Abu Najmudin, tapi malah pembicaraan dibelokkan sehingga Sang Kyai belum sempat menyampaikannya. Kepada Sunarti terlebih lagi. Ia merasa sangat kecewa. Ia baru memiliki keberanian untuk berbicara pada perempuan, tapi kenyataan malah tidak seperti yang diharapkan.

Sang Kyai duduk terdiam. Dihelanya nafas dalam-dalam. Namun ia tiba-tiba tersentak, kemudian bangkit dari duduk. Sang Kyai mau masuk ke ruang ICU, namun dicegah oleh petugas.

“Belum waktunya bezoek. Pasien jangan banyak diganggu.”

“Tapi saya ayahnya Mbak.”

“Kami tahu Pak. Dan bapak sepertinya pasti akan lebih memilih yang terbaik untuk putra Bapak, jadi mohon patuhi aturan ....”

“Ya...ya... maaf ya Mbak. Tapi kalau mau titip sedikit boleh apa tidak. Hanya titip tanya ke pasien penusukan yang tengkurap itu...”

“Apa pertanyaanya?”

“Tanyakan HP nya disimpan di mana, punya nomor Kyai Haji Mukhlis apa tidak.”

“Ya, saya tanyakan. Mudah-mudahan ia bisa menjawab.”

Bebera saat menunggu, Sang Kyai gelisah. Ketika petugas keluar lagi Sang Kyai bertanya penuh harap.

“Bagaimana mbak?”

“Nomor kyai Mukhlis punya, tapi HP-nya tidak tahu di mana. Mungkin diambil orang sewaktu ditikam orang...”

“Waaaahh..... waaah... ya sudah terima kasih Mbak.”

“Sama-sama...”

Pupus sudah harapan Sang Kyai. Di tengah kekecewaannya ia mencoba sekali lagi menghubungi, tapi gagal. Tak ada tanda-tanda HP itu aktif. Akhirnya Sang Kyai pasrah. Ia kembali ke bangku. Duduk. Dua santri yang menemaninya disuruh menemani Kyai Ahmad Hong.

“Assalaamu’alaikum Sang Kyai !” tiba ada yang memberi salam. Sang Kyai yang sedang termenung kaget.

“Wa’alaikumusslaam... ya Allah, bu Kyai ..... kamu Zaniar.”

Yang datang adalah istrinya Kyai Haji Soleh Darajat bersama anaknya, Zaniar.

“Iya Sang Kyai. Tadi pagi bapaknya Niar menelpon, katanya tadi malam ada yang kena musibah lagi.”

“Iya itu si Hong. Motornya nubruk gapura. Tapi tidak apa-apa kok, nanti sore dia boleh keluar ruangan.”

“Mau ketemu bapak dulu ... mana Sang Kyai?”

“Pak Kyai Soleh?”

“Iya.”

“Apa beliau tidak memberitahu?”

“Memberi tahu apa?”

“Beliau tadi sudah pulang ke Widodaren. Saya minta tolong untuk mengurus pesantren.”

“Ya Allaaaah bu ...... bagaimana bapak? Masa pulang tidak memberi tahu.”

“Saya pikir selalu kontak.”

“Emm mungkin lupa. Konsentrasinya ke pesantren.”

“Tadi dengan siapa ke sini?”

“Hanya berdua.”

“Oooo.....”

“Kapan kami boleh menengok pasien Sang Kyai?”

“Kalau yang rawat biasa, sekarang masih buka kok. Tapi untuk yang ICU, si Udin itu... baru dibuka jam lima sore. Kalau mau ke Hong bisa langsung.”

“Terima kasih Sang Kyai, kami mau ke sana ...”

Beberapa menit kemudian kedua perempuan itu masuk kamar rawat Kyai Ahmad Hong . Ustadz muda itu kaget melihat yang datang. Apalagi melihat kedatangan Zaniar, gadis yang menjadi dambaan hatinya.

“Waduuuh.... ibu....... , Mbak Niar...... mengapa repot-repopt ke sini.”

“Tak ada yang repot ustadz. Tadi pagi bapaknya Niar menelpon, katanya ustadz kena musibah.”

“Oooo terimakasih ditengok Bu, Mbak Niar. Tapi nanti sore saya boleh pulang kok.”

“Syukurlah kalau begitu.”

“Emmm Mbak Niar acaranya sukses tadi malam?”

“Alhamdulillah.... cukup sukses.”

“Syukurlah .... apalagi dengan peralatan yang canggih, pasti para santriwati sangat tertarik. Baik juga Pak Guru Damar membantu ya Mbak...”

“Ya, Pak Guru dari dulu memang baik. Ada apa ustadz membicarakan Pak Guru?” Tanya Zaniar dengan tatapan menyelidik.

“Aaah... tidak apa-apa.” kata Kyai Ahmad Hong pelan.

“Niar... kamu ini bagaimana sih? Ustadz Hong ini cemburu, tahu?”

“Iiih ... ibu.... ibu ngomong apa siiih....” kata Zaniar sambil tersenyum malu, kemudian menyembunyikan wajahnya di balik punggung ibunya.

Kyai Ahmad Hong tersenyum bahagia. Ia tunggu wajah Zaniar muncul dari balik punggung ibunya. Ia ingin melihat sekali senyum Zaniar yang manis.***

Bersambung ke Seri 17

Insya Allah hari Minggu mendatang ........

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun