Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel: Kyai Keramat (17)

15 Juni 2014   13:39 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:40 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seri 17 : CINTA TAK MENGENAL DERAJAT

Zaniar merupakan gadis dengan dua dunia. Ibarat berdiri dengan dua kaki tapi dengan pijakan yang berbeda. Sejak kecil ia dikenalkan dengan dunia pesantren, akan tetapi kedua orang tuanya menentukan pilihan bahwa pendidikan formal harus diikuti. Jadilah ia sosok anak-anak dengan pendidikan formal pada umumnya. SD di Widodaren, SMP di Bobotsari, SMA di Purbalingga, dan sekarang ia kuliah di Yogyakarta. Dari SD hingga SMA, separo kehidupannya adalah lingkungan pesantren. Pengaruhnya tampak pada keseharian yang bersahaja, pandai membaca Al Qur’an, banyak hafalan pula hadits-hadits pada kitab semacam Matan Alfiyah, kitab hadits dengan sajian seperti puisi, Bulughul Marom untuk hadits-hadits fiqih.

Ilmu umum yang diperoleh sejak SD hingga perguruan tinggi menyebabkan pola pikiran gadis ini maju, kreatif, dan taktis. Sikapnya juga enerjik, suka menyelesaikan masalah dengan cepat tanpa menunda-nunda. Termasuk ketika beberapa waktu lalu Sang Kyai mendapat karomah, kemudian muncul di media massa. Ia langsung mengadakan penelitian di pesantren yang salah satu pengasuh seniornya adalah ayahnya. Data yang diperoleh dianalisis, kemudian dimintakan tanggapan secara natural tanpa rekayasa dari para santri. Seperti yang disampaikan dalam acara cemarah kemarin malam, sebenarnya juga berlangsung acara membahasan data dan fakta dari tinjauan kultur dan sosiologis atas kejadian besar di Widodaren.

Di awal-awal keputusan untuk memilih pendidikan formal bagi anak-anaknya, Kyai Haji Soleh Darajat mendapat kritikan dari sesama rekan pengasuh. Bisa dibayangkan ketika ada penilaian bahwa Kyai Haji Soleh Darajat tidak sepenuh hati membina pesantren. Namun ia berani membantah bahwa Islam tidak boleh satu jalur. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh orang Islam. Dunia ini menjadi maju seperti sekarang ini bukan oleh ilmu dari pesantren. Memang diakui juga bahwa peletak dasar beberapa ilmu, semacam kedokteran dan matematika adalah dari ilmuwan Islam. Tetapi yang mengembangkan ilmu kedokteran tentu bukan pesantren. Yang membuat matematika berguna dalam aplikasidalam pembangunan infrastrukturitu bukan pesantren, tapi ilmu umum matematika. Oleh karena itu Kyai Haji Soleh Darajat yang ingin anaknya menjadi ahli ekonomi maka ia tentu harus menyekolahkan anaknya pada jurusan ekonomi.

Lain halnya dengan Kyai Ahmad Hong. Ia hampir murni berada dalam jalur pendidikan non formal, namun pernah mengenyam bangku aliyah. Kelebihan ustadz berdarah Cina ini adalah kemampuan menghafal yang bagus. Makanya sampai saat ini salah satu yang menjadi sumber motivasi bagi para santri di Widodaren adalah hafidz-nya itu.

Hidup di lingkungan pesantren salafiyah semacam Widodaren ternyata tak membuat ia terkungkung dalam sebuah paham yang bersifat taqlid. Ia selalu membuka diri untuk maju dalam berfikir. Kemampuan yang tinggi dalam ilmu mantiq atau logika menyebabkan ia merupakan salah satu ustadz yang sulit untuk dikalahkan dalam berdebat atau tukar pendapat.

Dalam kaitannya dengan kehidupan wajar sebagai orang muda, Kyai Ahmad Hong memang memendam rasa suka pada Zaniar. Rasa suka itu memang hanya dipendam. Hanya pada saat-saat tertentu saja ia mengungkapkannya, walaupun tidak dengan kata-kata. Rasa cemburu juga ia miliki manakala Zaniar sering bersama-sama dengan bekas guru SMP-nya, Pak Guru Damar. Termasuk kemarin malam juga, LCD projector juga dipinjam Zaniar dari guru itu.

Kyai Haji Soleh Darajat seleku orang tua Zaniar sendiri pernah mengatakan bahwa ia lebih cocok jika Zaniar diperistri oleh guru Damar. Tapi guru itu sepertinya tidak punya keberanian untuk menyatakan apa-apa terhadap Kyai Haji Soleh Darajat . Adapun terhadap Kyai Ahmad Hong, sebenarnya hati kecil kyai itu kurang setuju. Yang pertama karena dia turunan Cina, yang kedua karena tidak jelas nasabnya, yang ketiga karena pengaruh Kyai Ahmad Hong di Widodaren lebih besar dibanding Kyai Haji Soleh Darajat. Mungkin hal yang ketiga inilah yang paling sering memberikan tekanan dalam hati Kyai Haji Soleh Darajat. Namun dalam sebuah kesempatan, secara terpaksa, Kyai Haji Soleh Darajat pernah mengatakan bahwa iamerestui hubungan Zaniar dengan Kyai Ahmad Hong.

Dari sisi Kyai Ahmad Hong, sebenarnya ia merasa malu. Tahu diri. Zaniar adalah mahasiswa perguruan tinggi ternama di Yogyakarta. Ia paham dengan model pergaulan anak muda sekarang. Zaniar yang cantik bukan tidak mungkin ada yang menyukainya di kampus, bahkan pasti ada yang menyukai. Pikiran-pikiran semacam inilah yang kadang melemahkan Kyai Ahmad Hong untuk memberanikan diri menyatakan sesuatu yang lebih bermakna dalam mengungkapkan rasa sukanya.

“Ustadz melamun yaa....... “ Kata istri Kyai Haji Soleh Darajat menyadarkan Kyai Ahmad Hong.

“Ah... tiii...tidak. Saya tidak melamun.”

“Tuh Niar , kalau di dekat kamu ustadz ini bawaannya melamun melulu.”

“Biar saja Bu..... “ Kata Zaniar yang masih berdiri di belakang ibunya.

“Mbak Niar ..... aahh... tidak jadi, tidak jadi ah.... “ Kata Kyai Ahmad Hong mengurungkan niatnya.

“Mau bicara apa ya?”

“Oh tidak ah, malu.... “

“Bicara saja. Tak boleh membuat orang lain penasaran. Begitu kan Bu?” Kata Zaniar kepada ibunya.

Hingga beberapa saat Kyai Ahmad Hong diam. Dalam diamnya ustadz muda ini tersenyum.

“Kenapa tersenyum.”

“Maaf ya Mbak Niar, maaf kalau yang saya sampaikan ini tidak berkenan.”

“Aaah bisa saja ustadz membuat semakin penasaran.”

“Begini Bu, juga Mbak Niar ..... di kampus mbak Niar punya berapa banyak penggemar?”

“Maksudnya?”

“Yang suka pada Mbak Niar.”

“Aaahh... ini ustadz gaul. Masa menanyakan yang seperti itu.”

“Nahh itu kan, tadi kan saya sudah minta maaf.”

“Iya..ya...sudah... lanjutkan.”

“Ya tadi dijawab dulu.”

“Yang mana?”

“Banyak nggak di kampus yang suka pada Mbak Niar.”

“Uuu banyak... banyak.... semua suka pada saya...” Kata Zaniar bercanda.

“Ya tentu banyak ustadz, Zaniar kan cantik banget. Nurun ibunya!” Kata ibunya tertawa. Zaniar mencubit lengan ibunya.

“Ibu narsis banget siiih!”

“Memang ibu cantik kok! Ya kan ustadz?” Ditanya begitu Kyai Ahmad Hong tersenyum kecut.

“Ya, ya... cantik.”

“Sudah, sudah, ibu kok malah ikut-ikutan. Di kampus memang banyak yang suka sama saya ustadz.... tapi saya anggap semua teman biasa.”

“Aaahhh.. mbak Niar bisa saja. Bukan itu yang saya maksud. Aaahhh... sudahlah tidak jadi bertanya .... “

“Naaa...naaaa..... ustadz ternyata suka mutungan. Nggak baik ustad.”

“Biar saja....”

“Mmm terus kenapa kalau misalnya saya banyak yang suka ustadz?”

“Bukan apa-apa, maksudnya saya hanya memberi tahu bahwa ada satu lagi yang suka pada Mbak Niar....” Kata Kyai Ahmad Hong pelan. Zaniar tersipu-sipu.

“Kalau mau merayu jangan di depan orang.” Kini ibunya yang bicara sambil tertawa. Kyai Ahmad Hong ikut tertawa.

“Lho kan malah nggak benar kalau saya bicara seperti ini hanya berduaan. Mengundang setan Bu.....”

“Apa tadi ustadz?” Tanya Zaniar.

“Ada satu lagi yang suka dengan Mbak Niar.”

“Ustadz. Bilang saja bahwa ustadz yang suka dengan anak saya.”

“Bukan saya Bu, Mbak Niar.”

“Bukan ustadz?”

“Maksud saya yang satu ini bukan saya. Ada orang lain. Kalau saya memang suka Mbak Niar sejak SMP dulu .....”

“Waaa...... romantis banget.”

“Heheee.. sekalian mohon ijin Bu.”

“Tuh Niar ... ustadz sudah lama suka ke kamu sejak SMP, sejak tujuh tahun yang lalu ya?”

“Sudah tahu Bu.... “ Kata Niar.

“Sudah tahu? Kenapa nggak bilang ke Ibu?”

“Ibu apaan sih?! Memang harus lapor ke ibu... oooo jadi selama ini kamu dengan ustadz main kucing-kucingan ya? Hehehe, jangan-jangan kalian saling sudah menjanjikan sesuatu ya?”

“Tidak Bu.... saya dengan Mbak Niar tidak terlalu aneh-aneh... biasa saja.”

“O ya terus yang tadi, ada orang lain yang suka dengan Niar siapa? Mungkin yang dimaksud Pak Guru Damar ?”

“Bukan. Pak Guru Damar memang suka membuat saya cemburu.....”

“Hihihi.... bisa juga ustadz cemburu ya?”

“Ustadz juga manusia Bu.”

“Tenang kalau yang itu ustadz. Pak Guru Damar nanti bulan Haji mau menikah kok.”

“Oooo.... syukurlah....” Kata Kyai Ahmad Hong dengan wajah tampak lega.

“Kamu sudah siap kan Niar?”

“Siap dong Bu!” Kata Niar.

Mendengar itu Kyai Ahmad Hong kaget. Matanya melotot. Kedua orang didepannya dipandanginya dengan tidak percaya.

“Jadi Pak Guru mau menikah dengan Mbak Niar?” Kyai Ahmad Hong bertanya dengan nada kecewa.

“Kalau memang mau menikah kenapa?”

“Eee...eee... tapi.. eee tapi ya tidak apa-apa.... “

“Kalau pihak perempuan biasanya kan tinggal nunggu ada yang melamar. Kalau kebetulan yang dilamar menyatakan siap, ya sudah. Tinggal menentukan tanggal pernikahannya. Bukan begitu Niar?”

“Betul Bu.”

“Yaaa.... bagaimana ya?” Kata Kyai Ahmad Hong dengan kecewa. Beberapa kali ia mencoba menelan ludah, tapi lehernya terasa sakit.

“Ustadz setuju kan jika Pak Guru Damar menikah nanti bulan besar?”

“Ngg....nganu... sebaiknya ibu jangan minta pertimbangan ke saya. Kalau semuanya sudah terlanjur ya sudah tinggal dijalani saja ..... saya tidak apa-apa kok!” Kata Kyai Ahmad Hong hambar.

“Benar nih, setuju Pak Damar menikah?”

“Sudahlah Bu ..... tanyakan saja pada Mbak Niar, kalau Mbak Niarnya sudah siap ya silakan saja.”

“Ya menurut pengamatan saya semuanya sudah siap...” Kata Zaniar mantap.

“Mengapa menurut pengamatan?”

“Ya namanya berada pada pihak yang tidak hubungannya, mengapa tidak boleh kalau hanya sekedar mengatakan pe-nga-ma-tan.....”

“Bukannya Mbak Niar yang mau melaksanakan? Bukan hanya sekedar mengamati.

“Memang siapa yang bilang saya mau menikah ustadz?”

“Itu tadi ibu kan bertanya, Mbak Niar siap apa tidak? Iya kan?”

“Ya siapnya siap apa dulu. Tanya dulu ke kami ya ?”

“Jadi siapnya siap apa?”

“Naaahhh begitu .... siap apa Niar?”

“Siap jadi juru rekam, video shooting. Kebetulan saya dan beberapa teman punya grup yang aktif di bidang pergituan, maksudnya bidang editing film, foto dan video. Kebetulan pas bulan haji nanti kami sedang rest di kampus, jadi kami menawarkan ke Pak Damar untuk membantu.”

“Ooooo....... “ Kata Kyai Ahmad Hong manggut-manggut. Terlihat sekali ada perubahan roman muka yang semula kecewa, sekarang tak bisa menahan senyum.

“Ada yang lega Niaaaaaar.....” Bisik ibunya Zaniar sambil tertawa kecil.

“Ah ibu, ibu ini orangnya suka ngerjain orang lain. Saya sama sekali tidak mengira kalau ibu seperti ini ...” Kyai Ahmad Hong tersipu-sipu. Untuk menghilangkan rasa malunya, pemuda itu mengambil air kemudian meminumnya.

“Minum ibu, Mbak Niar ... “ Kata Kyai Ahmad Hong sambil menunjuk ke arah gelas-gelas air mineral.

“Ini hari Kamiiiiis, ustadz.”

“Astaghfirullah ...... maafkan saya Bu, maafkan saya Mbak Niar. Saya lupa, betul Bu .... saya jadi lupa kalau hari ini seluruh warga Widodaren berpuasa. Kecuali ....”

“Kecuali yang halangan!”

“Ya, kecuali juga ...”

“Ustadz Hong!”

“Ada lagi Bu.... kecuali... kecuali...”

“Siapa?”

“Sang Kyai ....”

“Hah?! Sang Kyai tidak puasa hari Kamis?”

Ibu dan anak itu merasa tidak percaya atas keterangan Kyai Ahmad Hong kalau pimpinan utama pesantren Widodaren itu tidak berpuasa. Namun akhirnya Kyai Ahmad Hong memberikan penjelasan, mengapa hari ini Sang Kyai tidak berpuasa.

“Pikiran beliau kalut. Dua orang buah hatinya sakit.... “

“Hmm….. memang kalau ustadz saya tahu, Sang Kyai sayang banget. Tapi yang satunya itu siapa sih?”

“Ya anaknya juga. Kadang-kadang Sang Kyai itu melihat seluruh anak pesantren ini sebagai anaknya. Apalagi Sang Kyai bersahabat kental sejak sama-sama belajar di pesantrennDemak dengan kyai Kedungjati. Maka anak titipan itu juga bakal tetap dirasakan sebagai anak. Apalagi kalau sampai terjadi si Udin itu kenapa-kenapa, pasti Sang Kyai tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri seumur hidup.”

“Begitukah?”

“Iya. Dan perlu Mbak Niar ketahui, Udin, Abu Najmudin itu ..... “

“Wajahnya mirip Sang Kyai.”

“Benar, saya juga merasakan demikian. Mudah-mudahan bukan sebuah kebetulan, akan tetapi saya harapkan ada sebuah keajaiban lagi yang ada di Widodaren.”

“Maksudnya?”

“Mudah-mudahan si Udin itu titisan Sang Kyai.”

“Haaahhh... ustadz ada-ada saja. Nitis itu bukan ajaran Islam ustaaadz...”

“Iya, iya, bercanda. Nah begini Mbak Niar, jadi si Udin inilah yang ..... “

“Yang menyebabkan Sang Kyai tidak berpuasa.”

“Iya, di antaranya.”

“Udin inilah ....”

“Saingan ustadz dalam hafalan Al Qur’an.”

“Betuuuul... itu diantaranya. Tapi saingan positif. Udin ini ...... “

“Udin adalah ...... “

“Mbak Niar..... “ Kata Kyai Ahmad Hong seraya menghela nafas, kemudian menggelengkan kepala.

“Niar! Bagaimana dari tadi ustadz mau bicara kok disergah terus.” Ibu gadis itu memotong ketus.

“Hihihi.... untuk menguji kecerdasan saya...” Kata Zaniar tanpa perasaan bersalah.

“Sombong! Nggak boleh sombong .... apalagi kamu anak perempuan...” Ibunya buru-buru mengingatkan.

“Iya, iya ... maaf ustadz, lanjutkan ustadz .... “ Kata Zaniar malu setelah diingatkan ibunya.

“Tadi, saya mengatakan bahwa ada satu lagi orang yang suka dengan Mbak Niarii..... “

“O ya. Siapa dia ustadz?”

“Ya yaaaa.... Udin inilah.... Abu Najmudin.”

“Oooooo...hhhh...... Udiiiinn.....”

Beberapa saat Kyai Ahmad Hong mencoba melihat perubahan roman muka Zaniar, akan tetapi ia tak melihat ada sesuatu yang berubah dalam roman muka gadis itu.

“Apa masalahnya ustadz?” Tanya Zaniar.

“Yaaa.... tidak tahu ... saya bingung saja.”

“Bingung kenapa?”

“Udin itu satu kamar denganku. Udin sudah dua kali melihat Mbak Niar, hari pertama setelah malamnya datang ke sini. Hari kemarin itu pas Mbak Niar katanya datang ke warung bu Sayem. Sepertinya Udin itu terkesan pada Mbak Niar....”

“Aduuuh Bu, inilah kalau jadi anak cantik!” Kata Zaniar bercanda.

“Ssst, jangan sombong. Bersyukurlah kalau memang kamu merasa bahwa kamu cantik. Ustadz... Zaniar itu cantik apa tidak?” Tanya ibunya Zaniar menggoda. Rupanya perempuan ini sama sekali memang punya sifat tak menghiraukan dengan siapa dia bicara.

“Mmm...... bagaimana ya?”

“Ragu ya?”

“Aaahhh Ibu... kan saya sudah katakan, saya suka Mbak Niar sejak Mbak Niar masih SMP.”

“Kan belum dijawab, Niar cantik apa tidak .... “

“Nanti SMS saja ya Mbak Niar...”

“Lho... jadi belum pernah merayu?”

“Belum. Malu, tidak pantas ....”

“Kan tidak ada yang tahu.”

“Tidak ah, malu. Kalau tidak percaya ibu tanya sendiri ke Mbak Niar.”

“Tapi cantik kan?”

“Mmmm.....mmm... “

“Kenapa mmm? Cantik nggak?”

“Ya.”

“Ya apa?”

“Ya, iya. Iya yang ibu tanyakan.”

“Apa?”

“Nggg.... cannn...cantik.” Gemuruh dada Kyai Ahmad Hong. Ia sama sekali tak mengira bahwa pada hari ini ia harus memuji seorang perempuan di hadapan dua orang perempuan sekaligus.

“Alhamdulilaah..... hanya cantik?” Ibunya Zaniar mengejar dengan pertanyaan lagi.

“Cantik bangeeett..... ibuuu....aduuh malu.”

“Hanya itu.”

“Astaghfirullah... ibuuu... malu... saya ini ustadz.”

“Cantik banget ya? Cantik apalagi ....”

“Wahh...sudahlah saya menyerah Bu. Terlanjur basah! Ibu, Mbak Niar cantik. Cantik banget. Cantik jelita. Sholihah. Pinter. Calon sarjanaaa. Beruntung yang kelak jadi suaminya. Alhamudulillah dalam hidup saya dikenalkan oleh Allah pada gadis seperti Mbak Niar...... sampun ibuuu....

“Alhamdulilaaaah.... Niar ..... berapa banyak pujian ustadz padamu.” Kata ibunya. Sementara Zaniar mukanya merah dipuji begitu banyak, walaupun pujian itu datangnya dari paksaan ibunya. Tapi gadis itu juga tidak bakal menyangka kalau Kyai Ahmad Hong akan memuji seperti itu.

“Tapi nanti ingat, ustadz tidak boleh memanggil Zaniar dengan sebutan Mbak Niar.”

“Harus apa? Ah, iya...iya, Mbak Zaniar Latifurrahmah, S.E.”

“Bukan itu, jangan bawa-bawa S.E. Tidak bagus! Tidak romantis.”

“Terus apa?”

“Terserah .... tapi ...hehehee..... sudahlah.”

“Ah ibu bisa saja...”

Hari itu sama sekali tak terduga. Banyak hal yang bagi Kyai Ahmad Hong tadinya hanya angan-angan, ternyata hari ini jadi kenyataan. Termasuk memuji Zaniar. Selama ini ia hanya membayangkan serta memujinya dalam angan-angan. Walaupun sebenarnya malu akan kedudukannya sebagai ustadz, akan tetapi di sisi dia sebagai manusia biasa, ia punya kebahagiaan yang tiada tara.

“Maaf ustad .... barangkali ibu tadi agresif banget yaa...... “

“Oh tidak apa-apa Bu. Saya malah jadi bahagia sekali. Sakit saya rasanya hilang semua.... alhamdulillah.”

“Tuh Niar.... ada yang sakitnya langsung hilang. Obatnya mahal siiih!”

“Ah ibu! Ngomong apa sih ah!” Kata Zaniar dengan wajah kemerahan.

“Begini ustadz, sebenarnya ibu ini berani begini karena sebuah cerminan keseriusan sesorang.”

“Maksud ibu?”

“Beberapa hari yang lalu Sang Kyai datang ke kami, beliau mengatakan bahwa sebentar lagi ustadz akan melamar Zaniar .....”

“Oooo....hhh...... “

Kyai Ahmad Hong mendesah malu. Mukanya ditutupi dengan kedua tangannya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa obrolannya dengan ayahnya, Sang Kyai , benar-benar akan disampaikan. Ada kebahagiaan yang sangat dalam di hati Kyai Ahmad Hong . Sementara itu Zaniar menyembunyikan wajahnya di belakang punggung ibunya. Jemarinya yang lentik memainkan kuku-kukunya.

Sebenarnya gadis itu sendiri juga heran, keduanya tak pernah berpacaran. Tak pernah ada rayuan. Tak pernah ada memberi dan menunggu harapan. Semuanya diserahkan kepada Allah. Jodoh tak perlu dirancang sedemikian rumit. Sebab, orang baik akan berjodoh dengan orang baik. Itu yang diyakini Zaniar anak gadis pengasuh Widodaren, dan pasti juga diyakini Ahmad Hong, anak Sang Kyai.***

Keterangan kata Bahasa Jawa :

1.mutungan = mudah patah arang

2.titisan = reinkarnasi

3.sampun ibuuu.... = sudah ibuuuu

Bersambung ke Seri 18

Insya Allah Rabu mendatang ............

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun