Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel: Kyai Keramat (23) Tamat

2 Juli 2014   06:06 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:53 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KUCIUM TANGANMU, KYAI ….

Menjelang pagi pesantren Kedungjati mulai menggeliat. Gemericik air wudhu para santri semakin ramai terdengar. Beberapa menit kemudian adzan shubuh berkumandang. Sebagian santri sudah berada di dalam masjid untuk melakukan shalat sunah. Sementara di dapur para ibu yang memasak nasi sudah menaikkan nasi akeu-nya ke atas kompor. Biasanya jika sudah demikian masakan nasi ditinggal berjamaah shalat shubuh.

Pagi itu Sunarti sudah menggelar sajadahnya. Shalat sunnah dua rakaat telah dilalui. Di sampingnya Hj. Sarmunah juga telah menunaikan shalat sunah. Dari pengeras suara Kyai Haji Mukhlis Abas memberi pengumuman bahwa yang akan menjadi imam, dan sekaligus ceramah shubuh adalah Sang Kyai dari Widodaren.

Demi mendengar pengumumantersebut, beberapa santri perempaun yang ada di luar menjerit histeris, hingga diingatkan oleh yang lain. Dari dalam kamar semuanya keluar dengan tergesa-gesa menuju masjid.

Sang Kyaiiii! Sang Kyaiiii! Sang Kyai datang lagiiii…..!

Adapun bagi Sunarti, demi mendengar pengumuman itu duduknya menjadi tidak nyaman. Dari kemarin memang telah diberitahu Kyai Haji Mukhlis Abas bahwa Sang Kyai diundang ke Kedungjati bersama Abu Najmudin.

“Berarti datangnya tadi malam…. “ Bisik Hj. Sarmunah.

“Hmh.”

“Anak ibu ikut datang ke sini?”

“Ya kata Eyang Kyai.”

“Jadi mirip ayah dan anak ya Bu…”

“Ah bisa saja memirip-miripkan.”

Ketika shalat shubuh berlangsung, sama sekali tak ada kekhusyuan dalam diri Sunarti. Yang ada adalah gelisah. Perempuan itu sangat gelisah karena Kyai Haji Mukhlis Abas memaksa dirinya untuk menemui Sang Kyai. Alasannya agar jangan sampai ada kekecewaan pada salah satu pihak. Apalagi untuk takaran seorang kyai semacam Sang Kyai, sebaiknya dibantu untuk mengatasi masalah. Ketika menyampaikan alasan, Kyai Haji Mukhlis Abas memang menyampakan beberapa kasus yang sedang menimpa Sang Kyai dan anaknya. Untuk kasus anaknya Kyai Haji Mukhlis Abas memberikan jaminan kepada Sunarti bahwa anaknya tidak apa-apa.

Berbekal keterangan Kyai Haji Mukhlis Abas, maka sejak kemarin siang perempuan itu ada di Kedungjati. Perempuan itu dijemput langsung oleh Kyai Haji Mukhlis Abas ke Purwonegoro. Kini perempuan itu sangat gelisah ketika hari ini Sang Kyai sudah ada di Kedungjati. Jantungnya semakin berdebar kencang ketika ia diminta datang ke ruang atas tempat menerima tamu pribadi. Sunarti menggengggam erat tangan Hj. Sarmunah yang menemaninya. Kakinya bergetar ketika kakinya melangkah masuk ke ruang tamu. Kyai Haji Mukhlis Abas dan Sang Kyai telah menantinya.

Assalaamu’alaikum!

Hj. Sarmunah memberi salam. Kedua kyai yang didalam menjawab salam serempak. Sunarti tertunduk dalam.

“Silakan duduk, Bu Hajjah. Ayo Bu Nartiii……. duduklah sini . Tak ada yang perlu ditakutkan di sini …….” kata Kyai Haji Mukhlis Abas pelan.

Adapun halnya dengan Sang Kyai, begitu melihat Sunarti masuk ia merasa kan adanya getaran yang aneh dalam hatinya. Padahal menurut perasaannya, ia baru melihat perempuan ini beberapa hari yang lalu. Namun tak demikian dengan Sunarti. Yang sekarang ada di hadapannya laki-laki yang pernah menghancurkan hidupnya. Kini ia telah duduk di hadapan laki-laki dibencinya itu.

“Bu Narti…., Bu Hajjah, dan kangmas Sang Kyai. Kita ini semua saudara. Tak baik di antara kita ada saling duga yang memang akibatnya kelihatan serius. Kasus kemarin-kemarin, kedatangan Sang Kyai membuat bu Narti meninggalkan pesantren ini dua kali. Yang kedua sengaja saya langsung datangi ibu ke Purwonegoro sana, karena hal ini menjadi sangat mengkhawatirkan. Saat ini kita sudah berhadapan semua, semoga tak akan ada lagi masalah. Tak ada lagi rahasia, biarpun mungkin telah terjadi latar belakang kehidupan yang pahit, yang menyakitkan, pada salah satu, atau mungkin dua-duanya. Silakan kangmas bicara….” Kata Kyai Haji Mukhlis Abas mempersilakan. Sang Kyai diam sejenak, kemudian ia memandang Sunarti yang masih tertunduk.

“Bu Narti …… “ Sang Kyai mulai berbicara setelah menekan perasaan menggelegak di dadanya. Yang dipanggil namanya semakin dalam tertunduk. Hingga beberapa jenak tak terdengar respon dari perempuan itu.

“Bu Narti dengar suara saya?” tanya Sang Kyai mengulangi pertanyaan dengan pelan.

“Ya.” Kata Sunarti hampir tidak kedengaran.Sang Kyai merasa lega karena akhirnya perempuan itu bersuara juga merespon pertanyaannya.

“Apakah Bu Narti mengenal saya sebelumnya?” tanya Sang Kyai dengan pelan dengan suara sangat jelas. Ya, dalam telinganya itu suara Sugiyono. Tak salah lagi.

“Kang ….kaaang Giyono ….”

“Siapa dia Bu?”

“Kang Giyo selalu menjadi lak-laki yang menyebalkan…..tak bertanggungjawab.”

“Bu Narti …… kata Kyai Haji Mukhlis Abas pernah menuduh bahwa beliau berbohong pada ibu ya?”

“EyangKyai dengan Sang Kyai itu bersahabat, pasti kyai berdua berbohong…. Karena malu mengakui hal yang sebenarnya. Malu nama baik Sang Kyai tercemar, malu pesantren Widodaren tercemar, malu pesantren Kedungjati ini tercemar karena ulah Sang Kyai di masa lalu……”

“Ibu yakin bahwa rayi Kyai Haji Mukhlis Abas berbohong?”

“Yakin.”

“Ibu, maaf, silakan boleh pandang saya sesuka ibu. Jangan ragu Bu Narti, jangan sungkan, mungkin ibu menduga bahwa saya orang yang ibu maksud. Ibu ingatlah ciri-cirinya.”

Perlahan Sunarti mengangkat muka. Perempuan itu menatap Sang Kyai. Keduanya beradu pandang. Dada Sang Kyai bergetar. Sunarti cepat membuang muka karena tidak kuat beradu pandang dengan Sang Kyai yang sangat tajam. Namun Sunarti sendiri sebenarnya merasakan getaran yang sangat hebat. Muka perempuan itu memerah.

“Bu Narti, barangkali ibu punya ciri-ciri yang mudah diingat.”

“Di atas siku kanan ada tahi lalat lebar …… “

“Ya….yaaa….. inilah tahi lalat yang ibu maksud….” Kata Sang Kyai sambil perlahan menyingkapkan lengan baju gamisnya, hingga sepatas pangkal lengan. Kemudian membalikkan bagian belakang untuk dilihat Sunarti.

Mata Sunarti terbelalak melihat ciri seperti apa yang ia katakan tak ada sama sekali. Perlahan Sunarti memandang kembali wajah Sang Kyai. Perlahan sekali ada sebuah penurunan ketegangan dalam diri perempuan itu. Kini Sunarti mencoba mengamati Sang Kyai dengan seksama. Ia mulai memiliki keberanian.

“Jadi Sang Kyai buu…..bukan Sugiyono?”

“Bukan Bu Narti. Saya Soderi. Ahmad Soderi.”

“Oooo…hhh……. Maafkan saya Eyang Kyaiii…….. “ kata Sunarti kemudian meraih tangan Kyai Haji Mukhlis Abas menciumnya, sambil berulang-ulang meminta maaf atas tuduhannya bahwa kyai Kedungjati itu berbohong untuk melindungi sahabatnya. Hingga beberapa saat kemudian Sunarti menangis.

“Bu….saya mau tanya sesuatu, boleh?” tanya Sang Kyai ketika tangis Sunarti reda.

“Tanya hal apa Sang Kyai?”

“Apakah benar ibu itu putranya Haji Sayur?”

“Hah?! Haji Sayur?” Sunarti kaget bukan kepalang.

“Iya Haji Sayur.”

“Sang Kyai tahu ayah saya?” kini Sunarti kaget bukan kepalang ketika Sang Kyai menyebut nama ayahnya dengan sebutan populernya waktu itu.

“Mengerti, tetapi kenal tidak.”

“Oooo….”

“Apakah Bu Narti kenal Pak Parjono?”

“Itu….itu….itukah paman Kang Sugiyono?”

“Ya Sugiyono. Apakah Bu Narti tahu latar belakang Sugiyono?” Tanya Sang Kyai

“Sugiyono itu laki-laki yang telah menghancurkan hidup saya ….. atas kesalahan kami juga, akhirnya kami punya anak haram.”

“Abu Najmudin maksudnya?”

“Ya.”

“Astaghfirullah ibuuuu…… Allah tidak menciptakan anak haram. Lihat ibu, Abu Najmudin adalah mutiara yang sangat berharga. Manusia bermutu, kualitas, tatag tanggon yang melewati hidup tanpa ayah dengan menjadi manusia pilihan Allah. Itulah keikhlasan yang dimilikinya….” kata Kyai Haji Mukhlis Abas, “ … Abu Najmudin telah cerita semuanya padaku, karena ia telah menganggap saya ayahnya. Tak ada rahasia. Saya terangkan hakekat hidup, serta berbagai macam jalan kelahiran manusia. Abu Najmudin manusia pilihan ibu….. ibu telah melahirkan manusia pilihan, manusia sholeh yang akan menolong ibu masuk sorga….”

Eyaaaaannnggg…….! Eyang…hhhh..hkkk …… Maafkan sayaaaaa ….. sayaaa selama ini saya selalu memendam kebencian pada laki-laki itu……”

Sunarti menangis tertelungkup di lutut Kyai Haji Mukhlis Abas . Sementara itu mata Sang Kyai berkaca-kaca. Bahkan sejenak kemudian laki-laki itu menitikkan air mata. Hingga beberapa lama akhirnya tangis Sunarti reda. Sang Kyai bersyukur melihat perempuan itu mulai mengangkat wajahnya .

“Bu Narti….. “ panggil Sang Kyai pelan.

“Ya Sang Kyai …..”

“Saya bernama Soderi. Sugiyono itu saudara kembar saya.”

“Hah?! Suuu…Sugiyono….. sang…. Sang Kyai?”

“Iya. Berarti saya pamannya Abu Najmudin ….”

“Oooo…..”

“Sugiyono lahir setengah jamlebih tua.”

“Ooohhhh…..”

“Sejak bayi merah, kang Sugi telah diasuh oleh Pak Parjono, Paman saya, orang kaya ….”

“Oooo…..oohhhh…..”

“Waktu itu, karena kemiskinan keluarga saya, saya minggat. Ya, waktu itu saya benar-benar minggat. Pokoknya ingin mengembara ke mana saja. Asal tidak di Purwonegoro. Di mBuntu ketemu Mukhlis Abas , beliau ini yang mengajakku berkelana ke nDemak. Sama seperti Abu Najmudin , dia menjadi hafidz karena keadaan, sayapun Alhamdulillah menjadi hafidz karena kemiskinan. Kemiskinankulah yang ingin aku maknai artinya, kemiskinan itu taqdir Allah. Jika saya anak orang kaya, mungkin aku tak seperti sekarang ini.”

Tertegun Sunarti mendengar cerita. Seorang kyai hafidz, seorang kyai karomah yang lahir dari lingkungan kesengsaraan. Di sini perempuan itu merasa menemukan jalan terang.

“Bu Narti, bagaimana sebenarnya kabar Kang Giyo?”

“Saya tidak tahu Sang Kyai ….tapi pernah dapat selentingan kabar, katanya ia telah meninggal di Jakarta.”

Dalam keadaan yang mengharu biru itu muncul Abu Najmudin. Pemuda itu tertegun sejenak melihat ibunya tengah duduk bersama para kyai yang sangat dia hormati.

“Ibu……”

“Diiinnnn…….ddiiiin….hhhhmmmmkhhkkk….hh…..” Sunarti memeluk erat anaknya. Ia sama sekali tak berfikir bahwa Abu Najmudin anak Sugiyono. Abu Najmudin baginya sekarang bukan anak Sugiyono, tetapi anak titipan Allah.

“Ibu…. “

“Maafkan ibu Diinnn….”

“Maaf apa ibu?”

“Ibu tak pernah bicara tentang ayahmu karena kelakuannya. Tapi mungkin juga kelakuan ibu yang sama-sama bejad.”

“Sudahlah ibuuuu…. tak ada yang salah ibu. Kita ini manusia bu, ketika kita nanti pulang keharibaan Allah, tak akan ditanya kamu anak siapa? Tak akan ditanya ayah saya siapa? Ibu juga tak akan ditanya siapa suami ibu ….. rahasia Allah sangat dalam ibu. Memang kadang-kadang lahir dari kepedihan.”

“Diiiinn…. Kamu dewasa sekali. Kamu tahu bahwa Sang Kyai adalah pamanmu?”

“Paman? Sang Kyai?”

“Ya , Sang Kyaiadalah adik ayahmu, saudara kembar ayahmu. Makanya ketika Sang Kyai dulu datang ke sini pertama kali, ibu mengira Sang Kyai adalah ayahmu…. “

“Wajahnya sama Bu?”

“Mirip. Mirip sekali …..” Kata Sunarti sambil melihat anaknya yang matanya menatap tajam wajah Sang Kyai. Bahkan kemudian melihat seluruh tubuh Sang Kyai hingga lama.

“ Paman?”

“Iyaa.. Diin bersyukurlah ……. “

“Alhamdulillaaaah….. pamaaaannn……..” Abu Najmudin memeluk tangan Sang Kyai , kemudian menangis sesenggukan di pangkuan Sang Kyai . Sang Kyai tak tahan mendengar tangis Abu Najmudin, dia pun menangis, tapi hanya terlihat dari naik turunnya dada. Kemudian air matanya meleleh. Tak tahan dengan keadaan seperti itu, Sang Kyai memeluk lama keponakannya. Sunarti kembali menangis, bahkan kemudian perempuan itu ikut memeluk anaknya yang masih menangis di pangkuan Sang Kyai.

“Sudah….sudahh…… sekarang semua balung pisah telah terkumpul. Bu Sunarti, Abu Najmudin, Sang Kyai, Ahmad Hong, dan saya semuanya adalah saudara. Baik saudara tautan darah, tautan iman, maupun tautan tanggung jawab. Semua akan mejadi sebuah keluarga besar, ditambah lagi sebentar lagi Kyai Ahmad Hong pun akan membawa keluarga besar Kyai Haji Soleh Darajat dengan menikahnya Kyai Ahmad Hongdengan Zaniar putrinya.”

“Ustadz Hong menikah dengan Mbak Zaniar?” tanya Abu Najmudin menatap Sang Kyai dalam-dalam. Sang Kyai mengerti apa yang tersirat dalam mata anak muda itu. Kyai Ahmad Hong telah menceritakan tentang ketertarikan Abu Najmudin pada gadis itu.

“Diiinn…. Kamu kalah duluan dengan Hong. Hong telah mengenal Zaniar sejak kecil …..”

“Ya Sang Kyai …….”

“Mudah-mudahan kamu maklum hal ini …. Kau belum lama mengenal, baru juga beberapa hari. Masih banyak gadis lain, mau yang di Kedungjati , atau di Widodaren …… banyak, yang sholihah, yang cantik….“

Terdiam Abu Najmudin mendengar wejangan pamannya. Namun benar juga, memang ia baru mengenal Zaniar beberapa hari yang lalu. Pemuda itu menghela nafas dalam. Pikirannya segera ingat ketika ia bercerita tentang Zaniar pada Kyai Ahmad Hong , namun ustadz Cina itu seperti banyak tak mau menanggapi. Rupanya ustadz itu sedang berusaha mencoba menahan diri agar dirinya tidak kecewa.

“Din…. kini Allah telah memberikan kamu jalan yang baik. Hidup di tengah-tengah orang yang menyayangimu. Hidupmu tak hanya berdua dengan ibumu saja..”

“Ya Sang Kyai.”

“Jangan panggil Sang Kyai. Panggil saya paman.”

“Ya paman Sang Kyai.”

“Paman.”

“Ya paman ……”

Malam itu Kyai Haji Mukhlis Abas mengumumkan berita tentang hubungan Sang Kyai dengan Abu Najmudin , juga bu Sunarti. Adapun cerita tentang Sugiyono yang berlatar belakang buruk tentu disimpan rapat-rapat menjadi sejarah. Hanya dikatakan bahwa ayah Abu Najmudin telah meninggal.

Hari berikutnya Sunarti dipanggil menghadap Kyai Haji Mukhlis Abas. Kali ini Sunarti hanya didampingi Abu Najmudin. Di situ telah ada Ahmad Hong yang dipanggil untuk datang.

“Bu Narti masih punya sanak saudara di Purwonegoro?” tanya Kyai Haji Mukhlis Abas ketika semuanya sudah berkumpul.

“Tidak. Di sana hanya menumpang pada Mak Runtah, tetangga yang dulu kadang mengasuhnya ketika saya masih kecil. Sudah tak ada siapa-siapa, kalaupun ada sepertinya sudah tak ada yang peduli lagi sejak bapak saya meninggal.”

“Bu Narti dulu pernah bertemu dengan Sang Kyai waktu masih bernama Soderi?”

“Rasanya tidak. Tapi tidak tahu dengan Sang Kyai , apakah dulu pernah ketemu saya lupa lagi.”

“Bagaimana kangmas?” tanya Kyai Haji Mukhlis Abas pada Sang Kyai.

“Saya pernah beberapa kali melihat Bu Narti, tetapi yang berkesan dan masih saya ingat hanya dua kali. Sekitar tiga puluh yang tahun lalu.”

“Ochhh……” kalimat pendek terlontar dari bibir Sunarti.

“Sewaktu Pak Warsito, tetangga Bu Sunarti punya hajat, ibu ada di sana menjadi pengipas pengantin anak Pak Warsito. Saya melihatnya dari jauh.”

“Och…..”

“Yang kedua di pasar Purwonegoro.” kata Sang Kyai sambil tersenyum melihat perubahan roman muka Sunarti.

“Pasar Purwonegoro?”

“Ya, di pasar itu , saya pernah melihatgadis Sunarti waktu sedang membeli sandal warna merah di pasar Purwonegoro.”

“Mmmm…..”

“Ingat-ingatlahbu, tiga puluh tahun yang silam Bu Sunarti pernah punya sandal warna merah…….. “

Sunarti tertunduk dalam. Dadanya bergetar. Jemarinya juga bergetar. Tiba-tiba perempuan merasakan sesuatu yang pernah hilang dalam hatinya sebagai seorang wanita. Perhatian seorang laki-laki. Tanpa terasa mata Sunarti terasa sembab. Air matanya menitik. Perempuan itu menghapus dengan punggung tangannya.

Tiga puluh tahun yang silam bukan waktu yang singkat. Itu seumur anaknya. Ia tak menyangka ada laki-laki yang begitu memperhatikan dirinya hingga hal-hal yang sangat kecil. Dan di usia yang telah cukup tua, orang itu masih mengingatnya.

“Ibu ….. “ Panggil Kyai Haji Mukhlis Abas.

“Ya Eyang.”

“Ibu tahu sekarang, mengapa sejak ketemu belum lama di pesantren ini, Sang Kyai gelisah. Apalagi setelah saya beritahu bahwa ibunya Abu Najmudin adalah orang Purwonegoro. Beliau semakin yakin bahwa Sunarti yang ini, adalah Sunarti yang dulu membeli sandal merah di pasar Purwonegoro, dua puluh tahun yang lalu.” Kata-kata Kyai Haji Mukhlis Abas semakin membuat wajah Sunarti memerah. Perempuan itu kikuk mendapat perlakuan yang demikian.

“Terima kasih paman, paman telah begitu perhatian pada ibu ….. “ Sela Abu Najmudin. Ia tersenyum ditahan melihat ibunya menunduk malu.

“Din, Bu Narti , kalau di Purwonegoro Bu Narti tak punya sanak saudara, berarti ibu tidak punya wali.” Kata Kyai Haji Mukhlis Abas selanjutnya. Abu Najmudin terperanjat. Mendengar itu Sunarti gelisah duduknya.

“Maksud Eyang?” Tanya Abu Najmudin dengan tatapan tajam.

“Din, Bu Narti, ibu tahu dari cerita Sang Kyai kan? Ternyata sekarang ibu baru tahu bahwa Sang Kyai sejak masih muda suka memperhatikan ibu. Hanya ibu tidak tahu. Sang Kyai hanya mampu mencintai gadis Sunarti dari jauh, dulu tidak punya keberanian.” Kata-kata Kyai Haji Mukhlis Abas semakin membuat perempuan itu bingung.

“Bu, ini bukan kholwat. Ada saksi banyak. Udin, Hong, dan saya sendiri. Jadi menyatakan keinginan, atau rasa suka itu di depan banyak saksi bukan kholwat. Bukankah begitu kangmas?”

“Benar Bu Narti, saya suka pada ibu sejak dulu, tapi hanya dari jauh, karena saya tahu ibu waktu itu menjadi sahabat orang lain…..” Kini Sang Kyai yang bicara langsung.

“Bu Narti, ibu tahu nggak, hingga sekarang Sang Kyai masih membujang?” Kyai Haji Mukhlis Abas menyela.

“Och!”

“Itu karena dulu Sang Kyai kecewa, yang ditunggu hanya Sunarti.”

“….mmm..”

“Langsung saja bicara kangmas!”

Sang Kyai diam sejenak. Setelah menata nafasnya, iaa berbicara perlahan namun mantap.

“Yaaa… langsung saja. Ya, Bu Narti, mohon maaf, siap atau tidak siap, demi kebaikan, saya berniat melamar ibu, menjadi istri saya ……. “

Gemuruh dada Sunarti mendengar lamaran Sang Kyai di depan anaknya dan anak serta sahabat Sang Kyai. Perempuan itu merasa kepalanya melayang. Hatinya yang masih sedikit tertata memang mengagumi Sang Kyai. Namun ia tidak tahu apakah karena wajah Sang Kyai mirip dengan Sugiyono atau bukan.

“Sayaa terima lamaran paman …. “ Kata Abu Najmudin.

“Heh! Bukan kamu yang menjawab! Enak saja!” Kata Kyai Haji Mukhlis Abas kaget, tapi tertawa melihat sikap Abu Najmudin . Sang Kyai dan Kyai Ahmad Hong pun ikut tertawa.

“Biar ibumu yang menjawab Din… “, sela Sang Kyai ,” …. tidak perlu sekarang Bu Narti. Tapi dalam tiga hari ini harus ada kepastian, menerima atau menolak. Diterima atau ditolak, Sang Kyai tak akan apa-apa. Ia akan tetap menjadi paman Abu Najmudin yang baik, yang akan tetap membimbing keponakannya.”

“Ibu pasti mau paman. Saya siap menjadi putra Sang Kyai .Kalau ibu sudah menikah nanti, saya akan kejar target hafidz yang tartil dalam satu tahun. Insya Allah….” kata Abu Najmudin sambil melihat ibunya yang masih diam menunduk kebingungan.

Di tengah kebingungan itu kedua kyai itu berpamitan meninggalkan Abu Najmudin, Kyai Ahmad Hong, dan Sunarti. Perempuan itu merasa lega seperti terbebas dari himpitan. Abu Najmudin tersenyum melihat ibunya tampak bernafas lega. Kyai Ahmad Hong hanya bisa tersenyum sambil membuang muka.

“Din, maafkan saya ya….” kata Kyai Ahmad Hong kepada Abu Najmudin . Abu Najmudin menatap sejenak.

“Masalah Mbak Niar?”

“Iya.”

“Saya yang minta maaf. Saya tidak tahu kalau ustad sejak kecil sudah suka dengan Mbak Niar. Sama seperti Sang Kyai yang suka sama ibu sejak masih muda!”

“Udiin! Apaan sih?” tiba-tiba Sunarti bangkit dari duduknya terus menabok lengan anaknya. Tapi Abu Najmudin tak menghiraukan.

“Din, besok rencananya saya mau ke Kutoarjo.”

“Ooo… mencari Farid ya?”

“Iya. Saya telah menyakiti hatinya, padahal itu perlu penjelasan. Besok kalau ketemu akan saya ajak ke sini, saya minta dia mesantren di Kedungjati atau di Widodaren.”

“Yaaah mudah-mudahan besok ketemu, dan dia mau. Saya siap mengantar.”

“Satu lagi Din, Wak Wardan kini telah bahagia mengurus An Najm. Apalagi kusen pawudon buatannya telah dipasang, dan dia merasakah kebahagiaan yang tiada tara. Sekarang ia sudah mau sholat, sudah mulai ingat bacaan sholat. “

“Alhamdulillaaaah…..”

“Satu lagi Din, Wak Wardan sudah mencabut sumpahnya dengan mengatakan bahwa karomah, kebisaan Sang Kyai mengobati hanya akan bertahan tiga pekan.”

“Alhamdulillah….. mudah-mudahan Sang Kyai masih bisa selalu bermanfaat bagi orang lain, memberi jalan rizki bagi mereka yang berdagang di lingkungan pesantren.” kata Abu Najmudin turut bahagia.

Sejenak kemudian Kyai Ahmad Hong berpamitan. Kini tinggal dia dan Sunarti. Perempuan itu menggamit lengan anaknya, kemudian mengajaknya duduk.Hingga beberapa saat keduanya diam.

“Ibu bicara dong…”

“Kamu.”

“Ya ibu. Yang punya masalah kan Ibu.”

“Ini masalahmu juga!”

“Masalah apa bagi saya Bu? Saya setuju Sang Kyai jadi ayahku.”

“Aaah kamu ini.”

“Paman sejak lama mencintai ibu. Sejak ibu masih gadis.”

“Kan ibu tidak tahu ….. “

“Kan waktu ceritanya paman pergi bersama Eyang ke nDemak dulu, sebenarnya bukan karena keluarganya, tapi karena kecewa, gadis yang membeli sandal merah di Pasar Purwonegoro telah menjadi kekasih orang!”

“Aaahhh kamu! Ibu harus istikhoroh dulu!”

“Saya tidak setuju!”

“Kenapa?”

“Sholat istikhoroh itu dilaksanakan kalau pilihan ibu itu orangnya meragukan, meragukan cintanya, meragukan keimanannya, meragukan kesungguhannya! Kaya ayah Sugi dulu.”

“Aaaahhh kamu ini….”

“Sang Kyai itu jaminan. Seribu persen. Ibu tidak usah sholat istikhoroh. Kalau mau memaksa sholat istikhoroh ya silakan. Tapi doa ibu begini, ya Allah, tunjukkanlah kepada hamba, saya mengiyakan lamaran Sang Kyai itu baiknya sekarang atau besok! Begitu……”

Tengahmalam hari ketiga setelah Sang Kyai menyampaikan lamaran ke Sunarti . Sang Kyai yang terpekur di mihrab gelisah. Detak jam dinding di masjid menambah degup jantung Sang Kyai bertambah. Jarum panjang kurang lima menit untuk mencapai tengah malam tepat. Jika lewat pukul 00.00 malam ini tak ada jawaban, maka pupuslah sudah harapan Sang Kyai untuk memiliki seorang istri.

Assalaamu’alaikum!

Terdengar ada yang datang perlahan di belakang Sang Kyai yang sedang terpekur sendirian. Sang Kyai menoleh. Dilihatnya Abu Najmudin telah bersila di belakangnya. Sang Kyai berbalik duduknya.

“Maaf menggangu ketenangan paman….. “

“Tidak apa-apa. Ada apa Din.”

“Saya ke sini mewakili ibu mengenai lamaran paman kemarin.”

“Oh ya bagaimana kata ibumu?”

Abu Najmudin tak berkata-kata. Tangan Sang Kyai diraih, kemudian ia cium lama sekali. Sang Kyai bedebar-debar, mengapa hingga lama sekali pemuda itu tidak berkata apa-apa.

“Ibu menerima lamaran paman ……”

Bagaikan mendapati malam lailatul qodar kebahagiaan Sang Kyai tak terperi. Berkali-kali Sang Kyai fenomenalitu mengucapsyukur. Sementara ituAbu Najmudin masih mencium tangan Sang Kyai . Pemuda itu menangis bahagia. Tak terkira bahagianya , seorang kyai yang sangat dikagumi dan sangat dihormati kini akan menjadi ayahnya.

Sangat lama pemuda itu mencium tangan pamannya. Setelah itu Abu Najmudin melepas tangan Sang Kyai. Abu Najmudin tengadah. Sang Kyai melihat pemuda ini dengan penuh rasa sayang dan bangga. Tak berapa lama kemudian Sang Kyai memeluk erat pemuda itu. Hingga lama sekali.

Tepat dentang jam dinding dua belas kali, Sang Kyai melakukan sujud syukur lama sekali. Di luar langit bertabur bintang. Sementara itu dari berbagai kamar masih terdengar lantunan tadarus yang selalu menghiasi pesantren Kedungjati, seolah mengucapkan selamat berbahagia kepada Sang Kyai . ***

Keterangan kata Bahasa Jawa :

1.Tatag tanggon = tahan banting

2. balung pisah = keluarga yang terpencar-pencar

T A M A T

Jatimapor, 2013

Insya Allah pada postingan berikutnya akan saya turunkanNovel Kyai Megawulung Menagih Janji . Kyai Megawulung adalah sebuah keris. Kisahnya terjadi dalam hingar bingar pemilihan kepala desa. Sebenarnya kisah ini menunjukkan cinta seorang laki-laki kepada seorang perempuan, istrinya. Apalagi kalau bukan karena takut kehilangan hiasan hidupnya ……….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun