Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Lepaskan Jilbabmu!

30 Juli 2014   02:07 Diperbarui: 22 Januari 2017   19:14 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Purbaya keluar kantor.

Di luar tinggal Satpam Jaman yang masih ada di ruang jaga dekat gerbang. Laki-laki itu melihat kunci kontak yang digenggamnya. Huuh! Purbaya mendesah. Mobilnya tinggal sendirian. Nur, istrinya pasti belum mau dijemput. Sejak sebulan lalu perempuan itu konsentrasi ke pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Pulang ke rumah rata-rata pukul 20.00-an. Seringnya menyewa taxi. Purbaya menjemput hanya sesekali, jika ditelpon.

Kantor redaksi Majalah Keluarga Samara bagi Nurjanah adalah rumah keduanya. Namun kantor majalah yang punya visi Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah, akhir-akhir ini justru seperti menjadi rumah utamanya. Purbaya sebagai suami mencoba memakluminya. Majalah Samara berdiri atas perjuangan istri dan rekan-rekan satu pengajian di kampus dulu. Sebagai orang yang merasa membidani lahirnya Majalah Samara, tentu ia merasa punya tanggungjawab yang sangat besar. Apalagi di dalamnya visi yang dipilih memiliki misi mengimpelemnatsikan ajaran Islam di dalam keluarga, demi kebahagiaan sebuah keluarga.

Pertengahan bulan depan adalah perayaan Ulang Tahun ke-7 Majalah Samara. Sebuah angka yang menurut pendapat sebagian orang adalah angka yang bagus. Sebagaimana angka 1, 3, 4, 7, 8, 10, 25, 50. 1 berarti ulang tahun sawarsa, 3 ulang tahun triwarsa, 4 ulang tahun catur warsa, 7 ulang tahun saptawarsa, 8 ulang tahun windu mustika, 10 ulangtahun dasawarsa, 25 ulang tahun perak, 50 ulang tahun emas dan sebagainya.

Kadang-kadang orang menyemangati dirinya dengan angka-angka yang berkaitan dengan tanggal kelahirannya sendiri. Kadang-kadang sebagian orang Jawa menyemangati diri dengan ulang tahun neptu. Kelahiran Selasa Pon, Selasa 3, Pon 7, neptunya 10, maka ia akan menyemangati dirinya pada ulang tahun kelipatan angka 10. Ulang tahun disebutnya tanggap warsa, 10 tanggap warsa neptu kasiji, 20 tanggap warsa neptu kaloro, 30 tanggap warsa neptu katelu dan sebagainya. Para ayah atau orang kita mungkin sebagian masih menyimpan jimat berupa buku primbon. Entah dengan judul apa. Tetapi bagi para generasi mudanya jika penasaran, biasanya lari ke toko buku adalah Kitab Primbon Betal Jemur Adam Makna, atau bahkan di pedagang eceran di trotoar-trotoar.

Purbaya sendiri heran. Sebagai landasan visi majalahnya adalah nuansa Islam, tetapi mengapa istrinya masih bersikukuh bahwa angka 7 adalah angka istimewa. Tapi laki-laki sebenarnya tidak terlalu menggubrisnya. Yang menjadi fokus perhatiannya adalah ketidakadaan Nur di rumah menjadikan rumah sepi. Kadang ia pulang jam lima sore. Nur tidak ada. Setelah mandi ia menyeduh teh sendiri, kemudian mencari makanan kecil sendiri di kulkas atau di lemari makan.

Akan halnya kedua anaknya, Syifa dan Taufik, Purbaya dan Nur mengalah kepada keinginan kedua orang tuanya. Lagi-lagi urusan dengan angka 7. Kata orang tuanya pada tahun ke-7 pernikahannya dengan Nur, kedua anak itu harus pindah sekolah dulu. Nanti setelah satu tahun sekolah di neneknya, barulah kedua anaknya itu dikembalikan lagi. Dulu Purbaya dan Nur tidak memahami permintaan orang tua Nur, tapi karena itu nadzar ketika keduanya akan menikah, maka dengan berat hati, Purbaya dan Nur melepas kedua anaknya. Sekarang Syifa dan Taufik bersekolah di rumah kakek neneknya di Purwokerto. Ya, sebuah jarak yang cukup jauh dari Majalengka jika keduanya kangen kepada anaknya.

Purbaya mendadak menghentikan lamunannya ketika satpam tergopoh-gopoh mendekat.

“Bapak….. maaf ada telpon dari Ibu.” Purbaya kaget oleh kata-kata satpam Jaman.

“Ohh… telpon di mana? Wah iya, HP-ku ketinggalan.”

“Di line ruangan saya Pak. Katanya hubungi Ibu.”

“Oh ya sudah….”

Purbaya bergegas masuk ruangan. Benar, hand-phonemiliknya tergeletak di meja. Bergegas mengambil HP yang masih kelihatan log masuknya.

“Assalamu’alaikum Jeng, tadi nelpon ya?” tanya Purbaya pelan.

“Iya. Mas dimana?”

“Mau pulang. Tadi ini juga diberi tahu Pak Jaman, makanya saya kembali ke ruangan. HP ketinggalan.”

“Ooochhh…..”

“Mau dijemput?”

“Ah enggak Mas. Editing kali ini lumayan rumit Mas. Mohon pengertiannya ya. Aku pulang sekitar pukul 21-an.”

“Malam sekali?”

“Maafkan saya Mas. Di rumah sepertinya tak ada makanan. Mas makan saja di mana saja…..”

“Oooo.. ya sudah kalau begitu.”

“Mas nggak marah kan?”

“Nggak. Maksudnya nggak tahu nih.”

“Jangan marah dong Maaas…. Ini ulang tahun ke-7. Terbitan yang akan dilaunching pada perayaan nanti harus benar-benar mantap….. ijin ya Mas yaaaa…..”

“Ya…..”

Hari itu Jumat siang.

Purbaya tersenyum simpul. Ada ijin dari Nur. Istrinya telah menyuruh makan di luar, maka dengan bergegas ia memasuki mobilnya. Siang itu Purbaya menuju luar kota. Dua puluh menit mobilnya melaju menuju kota Rajagaluh, kota penyangga Metropolitan Majalengka. Mendekati Rumah Makan Zet Sari Tani, wajah Purbaya sumringah.Tepat seperti apa yang diduganya, di halaman rumah makan itu terparkir mobil Jazz merah metalik.

Jazz merah itu setiap Jumat siang selalu di sana. Dulu Purbaya mengamati seperti itu. Sekarang pemilik mobil itu telah menjadi kenalannya. Teman berbincang-bincang saat makan.

“Assalaamu’alaikum Dewiiii……” sapa Purbaya sambil duduk di depan perempuan muda. Yang disapa masih menghadapi meja kosong, hanya segelas jus warna jingga yang dipegangi gelasnya.

“Wa’alaikumussalam. Tumben agak siang Mas Pur?”

“Sekali-sekali nggak apa-apa kan. Jumat yang menyenangkan.”

“Bukannya malam Minggu yang menyenangkan.”

“Jumat.”

“Kenapa?”

“Ada ikon baru Jazz Jumat yang membawa rahmat!”

“Uuuiiiih… ngaco saja! Bagaimana kabar Mbak Nur? Sehat?”

“Alhamdulillah sehat. Katanya malah mau lembur. Tadi malah baru saja nyuruh aku makan di luar, ya sudah. Katanya sih ultah ke-7 Samara harus sukses.”

“Maklum Mas. Mohon dipahami. Punya seorang istri penulis, harus panjang ususnya, kudu sabaaaaaaaar. Penulis itu, kalau sudah ngurus tulisan karyanya, sampai lupa waktu. Kadang-kadang suami sampai diabaikan. Nuliiiiis melulu. “

“Betul itu.”

“Saya yakin Mas Pur punya pengalaman, Mbak Nur suka nulis hingga lewat tengah malam kan?”

“Tepat.”

“Itulah candu menulis Mas. Kalau sedang datang inspirasi, jangan harap orang lain menghentikan kegiatannya. Apalagi sekarang, sudah penulis, menjadi anggota dewan redaksinya. Ya sudah, hidupnya lengkap, bakat, kesempatan, kesenangan, rejeki, semuanya dari situ. Kaya saya ini laaahhh!” kata Dewi sambil memanggil pelayan untuk memesan makanan.

Dewi, perempuan itu pernah satu kampus dengan Nurjanah, istri Purbaya. Hanya beda jurusan. Pernah bareng-bareng mengurus bulletin mahasiswa di kampus. Kini setelah tujuh tahun kelulusan, keduanya berpisah, dan masing-masing punya tempat mengais rejeki di tempat yang disenangi. Nurjanah berkiprah di Majalah Samara Majalengka, Dewi di Taboid Tunas Cirebon. Purbaya mengenal Dewi tidak sengaja, ketika sedang makan di rumah makan Zet Sari Tani ini.Kedatangan Dewi yang rutin di kota Rajagaluh sebenarnya sedang melakukan riset tentang pengembangan varietas unggul durian Sinapeul. Sekitar enam Jumat laki-laki itu mengenal Dewi. Tak banyak perbedaan jalan pikiran Dewi dengan Nur, mungkin karena keduanya sama-sama penulis. Sebenarnya Purbaya tidak suka menulis, namun pembicaraan dengan penulis dirasakan Purbaya nyaman. Dengan Nurjanah nyaman, dengan Dewi pun nyaman.

***

Malam itu Purbaya gelisah.

Jam dinding sudah menunjukkan angka 10.05 . Nur belum pulang. Janji pulang sekitar pukul 21-an tak ditepati. Tidak biasanya istrinya mengingkari janji. Dihubungi HP-nya tidak aktif. Tapi laki-laki mencoba mencari sesuatu yang bisa melegitimasiketerlambatan istrinya. Mungkin jalan macet. Mungkin ada perubahan konsep layout.Mungkin HP sedang di-charge, dan masih banyak lagi kemungkinan.

Mempertimbangkan hal-hal yang tidak pasti membuat hati Purbaya tidak nyaman. Akhirnya Purbaya memutuskan untuk menyusul ke kantor Redaksi. Dengan kesal hati laki-laki itu mengeluarkan mobilnya dari garasi. Jalanan sudah tidak seramai siang hari. Maka jarak sekitar dua puluh kilometer hanya ditempuh dalam waktu sepuluh menitan.

Halaman kantor Redaksi Majalah Samara.

Benar, kantor itu masih semarak.Purbaya memarkir mobilnya perlahan. Beberapa oraang melihat ke arah mobilnya. Yang mengenali mobilnya manggut-manggut. Yang tidak terlalu mengenal bertanya kepada temannya. Laki-laki itu keluar dari mobil, kemudian menuju ke lobbykantor.

“Waduuuh….. Mas Purbaya! Kangen ya?” sambut salah seorang wanita sambil mendekati. Perempuan itu adalah Linda, pemimpin redaksi.

“Oooo Bu Linda, ramai sekali ya Bu.”

“Ya ramai dong. Ulang tahun ke-7, harus semarak. Jadi seluruh personal harus kerja keras.”

“Oh syukurlah, mudah-mudahan acaranya sukses.”

“Amin Mas Pur. Cari Nur ya?” tanya perempuan itu menebak.

“Benar Bu. Ada dia?”

“Ada… silakan duduk dulu Mas. Eh maaf ya jika sekali-kali sang istri pulangnya larut.”

“Saya pikir sampai jam sembilanan Bu.” kata Purbaya sambil duduk.

“Aaah… jam Sembilan masih terlalu sore. Tidak mungkin lah!”

“Wah, tadi istri saya bilang pulang sekitar jam sembilanan. Makanya saya susul , sekarang sudah pukul setengah sebelasan.”

Bu Linda tak menimpali lagi. Ia memanggil Otam, illustrator Samara yang ada di dekatnya.

“Ibu Nur suruh kemari Tam, kekasihnya datang. Bilangin begitu.”

“Mbak Nurjanah?”

“Iya.”

“Bukannya….. bukannya ia pergi bersama Mas Sapto?”

“Sapto? Bukannya ….. emmm…… “ Bu Linda mengatupkan bibir.

“Nur pergi dengan Mas Sapto? Siapa Sapto?” tanya Purbaya.

“Orang percetakan.”

“Hanya bedua?” tanya Purbaya menyelidik.

“Berdua Tam?” tanya Bu Linda pada Otam.

“Setahu saya begitu. Mungkin.”

“Pakai mobil?”

“Motor Bu.”

“Maaf Bu Linda….. “ kata Purbaya menyela, “ …… tadi Nur saya telpon berkali-kali tidak menyahut. Barangkali di ruangan HP-nya ketinggalan?”

“Oh iya, Tam , tolong chek di ruang Bu Nur, barangkali HP-nya ketinggalan.”

Pemuda yang disuruh Bu Linda bergegas memenuhi perintah atasannya. Sepeninggal Otam, Purbaya mendesah. Bu Linda mengerti apa yang menjadi kegelisahan Purbaya.

“Tenang Mas Pur …. tak ada yang dikhawatirkan di Samara ini.”

“Ibu yakin?”

“Saya tahu siapa Sapto, saya tahu siapa Nur. Tak ada apa-apa di antara keduanya.”

“Tapi ini malam-malam Bu. Setengah sebelas malam. Bagaimana mungkin keduanya tak dipandang ada apa-apanya pergi berduaan. Pakaimotor lagi.”

“Ya, ya ….. kami mohon maaf Mas Pur. Saya sebagai pemimpin redaksi menjamin, tak ada apa-apa di antara keduanya.”

“Maaf, ibukah yang menyuruh keduanya pergi?”

“Tidak. Saya hampir tidak mengurus langsung masalah teknis. Memang saya tidak tahu kepergiannya, tetapi saya jaminannya Mas.” kata Bu Linda meyakinkan.

Beberapa jenak kemudian Otam datang. Ia melapor bahwa HP Nur ada di ruangannya sedang di-charge.Purbaya meminta agar Otam mengambilkan HP istrinya. Pemuda itu berbalik kembali, kemudian datang dengan membawa HP.

“HP ini saya bawa pulang Bu.” kata Purbaya seraya menerima HP dari Otam.

“Kalau Nur mau menghubungi Mas, bagaimana?”

“Biarlah. Tak perlu menghubungi saya.”

“Emmmm …. Terserahlah.”

“Saya pamit dulu Bu.”

“Tidak menunggu Nur datang?”

“Tidak. Terimakasih atas keterangannya….”

Tanpa berpanjang kata lagi Purbaya meninggalkan kantor redaksi Samara. HP istrinya dimasukkan ke dalam sakunya. Dadanya benar-benar terasa sesak. Ia sama sekali tak menyangka Nur melakukan hal ini. Sangat jauh dari dugaan. Istrinya yang menurut pandangan banyak orang sebagai orang berkeyakinan ekstrimkini justru pergi berduaan malam-malam. Bahkan sampai kini juga tak jelas entah ke mana.

Nurjanah dipandang ekstrimdi kalangan teman-temannya karena beberapa hal. Ia tak mau bersalaman dengan laki-laki selain muhrimnya. Ia tak masuk koperasi anggota Samara lantaran memandang jasa koperasi adalah haram. Tak mau menemui tamu laki-laki jika Purbaya, suaminya, tak ada di rumah.

Tengah malam Purbaya masih tergeletak di sofa. HP Nurjanah ada di genggamannya. Barang inilah yang tentu banyak menyimpan rahasia. Purbaya dan Nurjanah telah sepakat tak akan membuka HP satu sama lain kecuali atas ijin yang empunya. Namun kali ini hati Purbaya penasaran ingin sekali membuka isi HP istrinya. Ia ingin tahu ada rahasia apa di dalam benda itu.

Jari-jari Purbaya siap menekan tombol untuk membuka HP Nurjanah, namun hingga beberapa detik jari itu terdiam di atas tuts. Hatinya gundah campur penasaran. Seandainya ia menemukan affair di dalam HP itu antara istrinya dengan laki-laki lain, apa yang yang akan dilakukan? Seandainya tidak? Sejenak dalam kebingungannya terlintas wajah Dewi.

Ah! Dewi, Dewiiii! Gumamnya.

HP istrinya diletakkan di atas meja. Ia mengambil HP miliknya. Ditulisnya beberapa kalimat dalam SMS, “….. maaf mengganggu tengah malam begini. Boleh menelepon Wi?”. SMS itu kemudian dikirim. Dalam hitungan tidak sampai dua puluh detik datang balasan Dewi , “ boleh

Akhirnya dengan wajah ceria Purbaya menelepon Dewi.

“Maaf nih Wi, malam-malam begini.” katanya basa-basi.

“Aku belum tidur kok.”

“Tengah malam begini?”

“Tau sendiri Mas Pur, pasca lebaran Tabloid kami harus tampil beda.”

“Apa hubungannya dengan tengah malam?”

“Aku masih di kantor.”

“Astaghfirullah ….. masih di kantor?”

“Di kantor?”

“Iya di kantor?”

“Taka da hari esok ya Wi.”

“Ada, tapi sudah dihitung volume kerjannya.”

“Oooo detail banget!”

“Iya lah, harus begitu. Eh Mas, ada apa malam-malam nelpon aku sih? Ntar Nur-nya marah malam-malam suaminya perempuan lain.”

“Justru mumpung Nur nggak ada.”

“Mau selingkuh ya?”

“Iiih siapa yang mau selingkuh, nggak ada gadis yang mau sama aku.”

“Maksudnya kalau ada yang mau selingkuh, Mas Mau?"

“Hhhh ….. nggak tahulah Wi!”

“Eh itu Nur di mana sih?”

“Justru itu, sama seperti Dewi, nglembur, untuk ultah 7 itu. Tapi jam segini belum pulang.”

“Oalaaahh Mas, Maaasss ….. maklumi saja to!”

“Maklum bagaimana?”

“Kan dia orang nomor dua di Samara. Dan pastinya Nur sudah ijin kan Mas?”

“Ijin sampai jam Sembilan. Ini sudah jam berapa? Dini hari. Pantaskah seorang perempuan bekerja sampai malam seperti ini?”

“Kau menyindirku Mas?”

“Ah, aahhh…. tidak. Maaf bukan itu masalahnya.”

“Lalu apa?”

“Dia pergi bersama laki-laki lain. Katanya sih ke percetakan. Bayangkan Wi, malam-malam ke percetakan, bersama laki-laki, berboncengan naik sepeda motor. Suami mana yang tidak marah?”

“Telpon saja laaah….”

“HP-nya tidak dibawa. Sekarang di tanganku. Sekarang aku di rumah, sendirian.”

“Wahhhh….”

“Makanya aku minta saran Wi, bagaimana baiknya. Aku mengira Nur selingkuh di belakangku.”

“Jangan sejauh itu Mas.”

“Tapi aku menduganya begitu. Mmmm…. Wi, aku mau minta saran Wi.”

“Apa?”

“Bagus nggak, kalau HP Nur aku buka-buka.”

“Ah nggak mau ngasih saran ah… aku tidak mau terlibat urusan rumah tangga Mas.”

“Iiih minta saran begitu saja nggak mau.”

“Asli Mas, jangan libatkan aku. Mas bukan anak kecil, atasilah masalah itu sendiri.”

Mendengar perkataan Dewi seperti itu Purbaya diam. Ingin rasanya ia membagi masalahnya itu kepada Dewi. Sebenarnya hati kecil Purbaya ingin menunjukkan bahwa Dewi ada pikirannya ketika ia menghadapi masalah, Dewi ada dalam pikirannya di tengah malam-malam begini. Dan yang paling disukai dari Dewi adalah suaranya.

“Wi, jadi benar nih nggak mau membantu?”

“Kali ini aku tak mau ikut campur Mas.”

“Yaaaah…. Sudahlah, nggak apa-apa. Saya senang malam-malam sudah dilayani bicara.”

“Saya hanya berharap Mas Pur dan Nur nggak ada masalah lagi.”

“Ya terima kasih harapannya. Tapi, Jumat depan kita ketemu lagi di Sari Tani ya?”

”Maaf Mas, riset artikelku tentang Duren Sinapeul sudah tuntas. Mulai Jumat depan saya sudah tak nongkrong lagi di Sari Tani.”

“Yaaaahhhh………. Wi …… Dewiiiii……”

“Apa merengek?”

“Kapan ketemuan lagi?”

“Nggak tahu lah Mas.”

“Tapi boleh aku kangen sama Dewi kan?”

“Iiiihhhh sebel!”

“Aku suka suara Dewi, yang sekarang nempel di telinga …. Wiiii….”

“Mas, ingat istrimu Nur.”

“Wi, permintaan terakhir dariku boleh ya?”

“Mas Pur mau mati ya? Pakai permintaan terakhir segala!”

“Justru enggak mau mati, ntar kalau sewaktu-waktu Dewi ganti nomor HP, beritahu aku ya?”

“Bisa saja!”

“Serius ya Wi?”

“Iya, yaaaa…. lagian siapa sih yang mau ganti nomor? Kalau kepengin ketemu datang saja ke Cirebon, bareng Nur, ntar kita makan bersama di Ampera, atau di Empal Asem Mas Tamim.”

“Hmh … nggak rame. Tak nggak apa-apa lah, terimakasih atas waktunya.”

“Iya sama-sama.”

“Wiiiii……”

“Apalagi?”

“Jaga kondisi dong, pulang segera. Istirahat, jangan sampai sakit ya....”

“Iya terimakasih diingatkan.”

“Wiiiiii……”

“Apalagi?”

“Selamat malam …… "

"Selamat malam."

"Satu lagi."

"Apa lagi Mas?"

"Dewiiii…… cantiiiiik…” kata Purbaya lembut.

“………. Hhhhhh”

Purbaya hanya mendengar desah nafas Dewi. Setelah itu Purbaya merasakan nada kontak diputus. Sejenak Purbaya merasa puas. Laki-laki itu menyandarkan punggungnya di tembok. Senyuman kecil menghiasi bibirnya. Wajah Dewi yang cantik berkelebat. Namun sejenak ada perasaan kecewa ketika ingat kata-kata Dewi bahwa mulai minggu depan perempuan itu taka da lagi di sekitar Rajagaluh. Materi liputannya sudah tuntas.

Setelah mengambil nafas dalam, pikirannya kembali ke masalah semula. HP Nur diambilnya. Dengan penuh emosi ia membuka HP Nurjanah. Ia lihat di kiriman SMS masuk. Tak ada yang aneh. Di SMS keluar juga tak ada yang aneh. Purbaya mencoba di-logtelephon juga tak ada nama Sapto. Bahkan di daftar kontak pun tak menjumpai nama Sapto atau yang sejenis. Nama yang awalnya menggunakan Mas juga tak ada Mas Sapto. Mas Darmoyo ada, itu kakak Nurjanah. Mas Tauchid, itu kakak Purbaya. Taka da lagi selain itu. Atau dengan nama disamarkan? Duganya.

Thok! Thok! Thok!

Purbaya tersentak. Ia memasang telinga. HP yang digenggam perlahan diletakkan di atas buffet dekat televisi. Telinganya kembali mendengar pintu diketuk. Kali ini bahkan terdengar klakson mobil. Bergegas kemudian laki-laki itu ke ruang depan. Matanya sempa melirik kea rah jam dinding yang menunjuk angka 1.

Assalaamu’alakum Mas…..!

Purbaya mendesah ketika Nurjanah mengucap salam kemudian mencium tangannya. Ia hanya diam.

“Mobil siapa itu?”

“Bu Linda.”

Mendengar nama pemimpin redaksinya disebut Purbaya buru-buru menghampirinya.

“Ibu masuk dulu.”

“Terimakasih, sudah larut.”

“Ibu sendirian?”

“Sendirian. Insya Allah Majalengka masih aman.”

“Aaaaah …. bisa saja.”

“Jangan marahi istrimu ya , kasihan, capek. Saya terimakasih telah dibantu sedemikian keras oleh Nur. Maaf juga kami dari kantor mengambil banyak waktu yang seharusnya untuk keluarga. Tapi aman kok.”

Sepeninggal Bu Linda, Purbaya masuk rumah. Setelah mengunci pintu laki-laki itu ke ruang tengah. Nurjanah duduk diam. Perempuan itu telah diberitahu perihal kedatangan dirinya tadi sore ke kantor redaksi. Rupanya perempuan itu memang merasa bersalah.

“Maafkan saya Mas …….”

“Jam berapa sekarang?” tanya Purbaya dengan nada tinggi.

“Jam satu. Maafkan saya Mas, saya akui salah. HP juga ketinggalan di meja kerja.”

“Ditinggal ke mana?”

“Percetakan.”

“Pantas nggak? Jeng, pikir pakai akal yang jernih, jangan menuruti hawa nafsu! Pantas nggak malam-malam, seorang perempuan bersuami, seorang pengasuh majalah Islam, majalah yang punya visi Saakinah, Mawaddah dan Rahmah, pergi berduaan dengan laki-laki!”

“Astaghfirullah Mas ….. laki-laki siapa yang Mas maksud?”

“Pura-pura lagi!”

“Benar Mas, saya tidak paham maksud Mas….. tidak paham…”

“Sok suci lah! Anti bukan muhrim , tak mau makan riba, atau apalah …… “

“Apa maksudnya Mas?”

“Tadinya aku sangat bangga punya istri yang agamanya kuat, bahkan sangat kuat. Jarang perempuan yang sekuat kamu Jeng. Tapi ternyata sama saja …..”

“Mas bicara apa Mas…….”

“Malam-malam berboncengan dengan Sapto, apa itu bukan selingkuh?”

“Sapto siapa? Mas Sapto?”

“Itu, ituuuu…. Kamu menyebutnya Jeng.”

“Kenapa dengan Mas Sapto?

“Kamu ke percetakan malam-malam dengan dia kan? Ber-bon-ceng-an! Berboncengan!”

“Astaghfirullaaahhhh……….. “ Nurjanah menutup wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya. Tangisnya datang. Purbaya puas mampu mengatakan sesuatu yang membuat Nurjanah menangis karena kesalahannya.

Beberapa jenak Purbaya membiarkan istrinya menangis. Dadanya naik turun menahan marah, namun ia tak mau berbuat lebih jauh marah dengan cara kasar. Baginya kata-kata yang membuat istrinya menangis sudah cukup kasar dibanding dengan tamparan.

“Jeng………..”

“Iya Mas…………” kata Nurjanah seraya menyeka air mata dengan punggung tangannya.

“Sebaiknya kamu nggak usah munafik!”

“Maaas! Aku tidak mengertiiiii…….”

“Lepaskan saja jilbabmu ituuuuuu! Lepaskaaaaaan!”

“Maaaaaaaaaaassssss!”

“Tidak pantas bagi perempuan sepertimu. Selingkuh memang harus rapi, di HP-mu tak ada sama sekali SMS atau apa yang berhubungan dengan laki-laki bernama Sapto.”

“Apa Mas? Jadi ….. jadi…. Mas membuka-buka HP saya?”

“Iya? Saya ingin tahu siapa Sapto, sejauh mana hubunganmu dengan Sapto.”

“Mas Pur telah melanggar janji. Telah melanggar janji ….. melanggar janji untuk tidak saling membuka HP kita masing-masing.”

“Demi kebaikan!”

“Kebaikan yang mana Mas? Apakah Mas temukan sesuatu di HP-ku?”

“Rapi, memang rapi. Tak ada jejak. Rapi sekali …….”

“Mas….. baiklah……” kata Nurjanah sambil menata nafasnya, “ …. Baiklah kalau memang Mas menuduh saya. Saya terima tuduhan Mas. Suatu saat jilbab ini akan saya lepas.”

“Bagus, bagus kalau begitu ……”

“Tapi ingat, jika ini perintah suami, saya akan taat, tetapi ingat Mas, berjanjilah bahwa  semua dosaku Mas yang menanggung!”

“Enak saja?! Siapa yang berbuat?”

“Mas mau kalau saya bersumpah.”

“Terserah.”

“Mas mau kalau saya bersumpah demi Allah?”

“Terserah.”

“Jangan terserah, kalau memang sumpah ini akan melegakan Mas, saya akan bersumpah demi Allah! Ini derajat sumpah yang paling tinggi. Mas berani menanggung resiko apa tidak?”

“Terserah.”

“Mas berani?”

“Hmh…..”

“Maaf Mas, atas perintah Mas selaku suamiku, saya akan cabut jilbab saya , demi Allah …. Ji….jika…….”

Belum selesai perkataan Nurjanah, Purbaya meremang bulu kuduknya. Hatinya gundah. Mendadak laki-laki itu bergegas meninggalkan Nurjanah menuju kamar depan. Nurjanah tersentak mendengar suara pintu yang dibanting.

Astaghfirullahal ‘adziim…… perempuan itu beristighfar.

Dini hari telah lewat. Malam yang seharusnya dipergunakan untuk beristirahat, kini tak mau kompromi dengan matanya. Rasa kantuk tak kunjung datang bersamaan dengan tuduhan suaminya. Mungkin tuduhan itu akan segera menjadi terang, jikalau suaminya mau mendengar penjelasannya.

Nurjanah bukanlah tipe orang yang suka berdebat. Ia tak pandai mengolah kata-kata dalam kehidupan nyata. Sebab baginya, keluarga adalah kejujuran. Jika A dikatakan A, B dikatakan B, maka sebenarnya taka da masalah yang harus berlama-lama tanpa selesai. Adapun dengan tiba-tiba ia punya keberanian menantang suaminya sumpah dengan demi Allah,adalah agar masalah cepat selesai. Bagi Nurjanah yang tak ada masalah,sumpah demi Allahadalah sesuatu yang ringan. Dan sumpah inilah yang akan menyelesaikanmasalah dengan cepat. Akan tetapi ternyata suaminya tak berani meneruskan keinginannya untuk bersumpah.

Nurjanah mendesah dalam.

Setengah empat pagi. Tanpa tidur ia merasa bahwa waktu tak ada batasnya sama sekali. Kehidupan kemarin dengan sekarang tak ada bedanya sama sekali. Ia merasakannya ketika tak tidur sekejappun seperti sekarang. Perlahan ia melangkah ke dapur. Segayung air ia jerang, kemudian ia masukkan ke dalam termos. Setelah itu ia menengok ke macig-com. Tak ada nasi. Ia merasa bersalah kepada suaminya kemarin ia menyuruhnya makan di luar. Mungkinkah ini salah satu sebab emosi suaminya meletup? Seorang suami yang merasa tak diurus oleh istrinya? Pikirnya. Nurjanah kembali mendesah dalam.

Maafkan aku Maaas….., gumamnya perlahan.

Pukul setengah lima adzan shubuh berkumandang. Nurjanah melihat Purbaya sudah keluar dari kamar mandi, kemudian menuju mushala dekat ruang belajar. Keduanya berpapasan.

“Berjamaah Mas…. ikut….. “ pinta Nurjanah pelan.

“Nggak ah, aku shalat duluan saja.” kata Purbaya langsung takbiratul ihram.

Air mata Nurjanah menitik. Berjamaah bersama suami adalah hal terindah yang bisa dibangun di dalam rumah setiap hari. Ia ingin dapatkan keindahan dan berkah, mudah-mudahan suaminya luluh. Tetapi tidak. Ia melihat suaminya shalat masih dalam keadaan marah. Sebagai pihak yang dituduh, Nurjanah mengalah. Saat ini sepertinya tidak ada gunanya ngotot mengedepankan alasan. Sebenarnya ia tahu, bahwa suaminya ragu atas tantangan sumpah tadi malam. Namun ia tak ingin memperpanjangnya.

Usai shalat shubuh Purbaya memanaskan mesin mobil. Sambil menunggu mesin panas, ia membereskan tas dan beberapa dokumen yang harus dibawa hari itu.

“Makan dulu Mas, sarapan sudah siap.”

“Gampang, nanti di kantor saja, belum lapar.”

“Nasi goreng nagget bumbu Turki  mumpung hangat, kesukaan Mas.”

“Nggak ah. Ini HP-mu …… “ kata Purbaya seraya menyodorkan HP milik Nurjanah. Nurjanah menerima dengan malas.

“Benar nggak sarapan Mas?”

“Kamu juga cepat-cepat tuh bantu Bu Linda. Samara bakal timpang, bahkan runtuh, tanpa peran sertamu …..” kata suaminya. Nurjanah mendesah. Ia tahu suaminya menyindir.

“Nggak, aku di rumah saja …..”

“Terserah…..”

Nurjanah maklum, suaminya benar-benar belum bisa diajak kompromi. Pergipun tanpa mengucap salam sama sekali. Sepeninggal suaminya Nurjanah menutup pintu, kemudian masuk dan duduk di kursi tepian meja makan. Nasi goreng nagget bumbu Turki kesukaan suaminya sama sekali tak mampu meluluhkan hati suaminya. Nurjanah melihat nasi buatan sendiri juga tak ada selera sama sekali.

***

Jam delapan pagi kota Majalengka telah ramai. Laju kendaraan tak terlalu lancar. Purbaya tak berniat langsung menuju ke kantornya. Mobilnya dibelokkan ke halaman kantor percetakanGrafika Mulya, percetakan mitra Majalah Samara. Hanya satu orang yang dicarinya, Sapto.

Kantor percetakan masih sepi, baru tampak dua orang di ruangan depan.

“Maaf, saya mau ketemu dengan Pak Sapto ada?” tanya Purbaya kaeapa mereka.

“Belum datang Pak.”

“Jam berapa biasanya datang?”

“Bisanya jam setengah sembilanan.”

“Saya tunggu.”

“Waduuuh Pak, pak Sapto sudah empat hari dirawat di rumah sakit. Kalaupun sembuh rasanya hari belum datang Pak, harus pemulihan dulu.”

“Dirawat? Emmmm ….. di kantor ini yang namanya Pak Sapto ada berapa orang?”

“Hanya satu, ya Pak Sapto ini. Pak Sapto Wibowo.”

Terpekur Purbaya demi mendengar keterangan orang di percetakan. Laki-laki itu memegang jidatnya sendiri. Tadi malam ia mendengar Otam di kantor redaksi mengatakan Nurjanah dibonceng Mas Sapto. Apa aku mimpi? Katanya seraya menepuk jidatnya sendiri.

“Kenal dengan Bu Nurjanah nggak?” tanya Purbaya kemudian.

“Yang dari Samara.”

“Iya.”

“Kemarin memang Bu Nur ke sini, sore sih. Memang pulangnya agak malam. Tadi malam juga kalau tidak salah dijemput oleh Bu Linda langsung.”

“Jadi Bu Nur di sini sejak sore?”

“Ya begitulah. Shalat maghrib dan ‘Isyanya juga di situ …. “ kata orang itu seraya menunjuk masjid kecil di halaman samping kantor percetakan.

Gila orang itu!

Dalam benak Purbaya ia berkelebat wajah Otam. Pemuda itulah yang harus bertanggungjawab atas kemarahannya kepada Nurjanah. Ingat hal tersebut, Purbaya menelpon Bu Linda.

“Hallo maaf ibu …..”

“Kok gugup begitu, ada apa Mas Pur?”

“Mau bicara dengan Otam bisa nggak?”

“Emmm… sebentar, saya juga baru sampai kantor. Nanti saya beritahu nomornya….. eh, itu ada orangnya Otaaam…. ada telephon untuk kamu.“ Purbaya mendengar dialog di telephon. Kemudian ia merasakan ada gemerisik HP yang dialihkan tangan.

“Ooo…. Ini dengan suaminya Mbak Nurjanah ya?”

“Hei, maaf, tadi malam anda ngomong apa tentang istriku?”

“Ngomong apa Mas?”

“Katamu tadi malam istriku pergi dibonceng Mas Sapto gitu.”

“Hah? Saya ngomong begitu?”

“Mas Sapto di percetakan itu sedang sakit sudah empat hari.”

“Siapa yang ngomong begitu Mas? Saya hanya mengatakan Mbak Nur ada di percetakan. Mungkin kalau ada yang nimbrung ngomong kalau dibonceng Mas Sapto ya nggak tahu Mas…. Mas salah dengar kali!”

Purbaya diam. Apa yang baru saja didengarnya sama sekali tidak seperti apa yang diduganya. Mungkin saja tadi malam ada yang nimbrung ngomong kalau Nurjanah dibonceng Sapto. Tapi Purbaya tidak sadar, antara mendengar dan tidak. Memang tadi malam suasana kantor redaksi ramai.

***

Jam sepuluh pagi sebuahjazz warna merah memasuki halaman rumah Purbaya. Dari dalam mobil keluar perempuan muda, Dewi. Sementara dari dalam rumah keluar Nurjanah, rupanya keduanya sudah saling janjian. Tampak keduanya berpelukan lama sekali melepas rasa rindu.

Keduanya ngobrol lama tentang kegiatan di redaksi masing-masing. Hingga akhirnya Dewi sampai kepada masalah utama. Perempuana itu kemudian mengeluarkan barang kecil.

“Semua ada di flash-disk.

"Apa maksudnya?"

“Mas Purbaya sedang simpati kepada seseorang, simpati bisa tumbuh menjadi cinta. Kalau ia punya istri, maka seorang laki-laki dapat berselingkuh.”

“Maksudnya apa?”

“Kita stel rekaman ini bareng-bareng …… “

Akhirnya keduanya mendengarkan pembicaraan telephon yang telah direkam Dewi. Itu adalah percakapan antara Dewi dan Purbaya tadi malam. Usai mendengarkan percakapan secara tuntas, Dewi tersenyum. Nurjanah mendesah.

“Untung yang dirayu sahabatku.” kata Nurjanah.

“Hei, kita malah bisa menjadi madu. Kita menjadi istri Mas Purbaya.”

“Kau sendiri bagaimana Wi?”

“Aku layani rayuan Mas Purbaya.”

“Benar Wi?”

“Benar. Tapi kalau aku sudah gila!”

“Hihihi……. bisa saja!” kata Nurjanah sambil mencubit lengan Dewi.

Sedang keduanya asyik bercanda HP Nurjanah berbunyi. Nurjanah kaget ketika yang menelphon adalah suaminya.

“Suamiku …. sssttt… jangan bersuara.” kata Nurjanah memberi kode diam kepada Dewi. Dewi paham. Perempuan itu menjauh, menuju ruang tamu tak ingin mendengar pembicaraan.

“Hallo Mas, ada apa ya?”

“Kamu masih di rumah sayang?”

“Masih.”

“Maafkan Mas ya sayang.”

“Nggak apa-apa Mas, nggak ada yang salah …" kata-kata tulus itu meluncur begitu saja tanpa merasa harus kembali menyalahkan suaminya yang telah menuduhnya. Baginya inilah jalan terbaik untuk menata hubungan suami istri.

“Aku mau pulang nih!”

“Lho kok?”

“Kangen sama nasi goreng nagget bumbu Turki.”

“Ah bisa saja ……”

Berbinar mata Nurjanah. Senyumnya mengembang. Bibirnya mengucap syukur atas kejadian ini. Sejenak kemudian ia memanggil Dewi kembali. Yang dipanggil tergopoh-gopoh mendekat.

“Mas Pur mau pulang!” kata Nurjanah. Dewi terbelalak. Namun kemudian tawanya meledak.

“Hahaaaa…. Bakal seru nih!”

“Seru apaan?”

“Seru … ih ….. bikin ngiri saja! Pagi-pagi lho Nur!” kata Dewi bercanda.

“Ssst jangan bawa-bawa kata-kata itu. Emmm Wi, kayanya ini gawat darurat. Kayanya kamu harus segera pergi dari rumah ini, sebelum suamiku pulang.”

“Oke! Okeeee….. aku paham. Nur, ntar kamu perdengarkan rekaman itu ke Mas Pur untuk pelajaran baginya. Biar tidak terulang lagi.”

“Tidak Wi. Biarlah Mas Pur tidak tahu kalau aku tahu bahwa Mas Pur suka sama kamu. Biarkan dia melupakanmu karena perhatianku. Tidak baik tuduhan dibalas dengan membuka aibnya.”

“Masya Allaaaah Nuuur …… hebat sekali kamu.”

“Makanya aku minta tolong, jangan pernah katakan pada Mas Pur tentang rekaman ini.”

“Oke Nur. Siap. Tapi apa kamu tidak sakit dengan kata-kata Mas Pur bahwa aku ini cantik?”

“Ya enggak laaah. Kamu memang cantik Wi, bahkan cantiiiik banget. Kalau Mas Pur mengatakan kamu jelek, malah aku harus sakit hati.”

“Nuuurrrr……….” Dewi mengulurkan kedua tangannya isyarat minta berpelukan. Nurjanah membalasnya dengan hangat.

“Maafkan suamiku Wiiii……” kata Nurjanah lembut.

“Beruntung Mas Pur dikaruniai istri seshalihah Nurjanah sahabatku……”

Dewi melepas pelukannya perlahan. Keduanya saling tatap kemudian tersenyum.

“Satu lagi pertanyaanku Nur, kata Mas Pur, waktu di Sari Tani, kamu seperti terobsesi pada ulang tahun ke 7. Pada angka 7. Kata Mas Pur, angka 7 bagi kamu sangat istimewa, kenapa Nur?”

“Oooh…. Itu Wi. Dewi, aku pernah tak sengaja membaca buku kerjanya yang terbuka, di halaman pertama, tulisannya …. aku ingin punya punya 7 anak dari Nurjanah, istriku tercinta…..”

“Wooowww! Suamimu harus tahu ini.”

“Pasti Wi….. aku memang siap punya anak berapapun sesuka Mas Pur, bahkan sampai seratuspun aku siap asal dari orang yang aku cintai seperti Mas Pur-ku.“

“Masya Allaaaaahhh………. Nuuuuuuurrr…..”

Siang itu Dewi bergegas meninggalkan halaman rumah Purbaya. Selang sepuluh menit mobil Purbaya benar-benar datang. Nurjanah mengintip dari balik gordyn. Senyumnya mengembang. Air matanya menitik melihat suaminya dengan wajah ceria turun dari mobil.

Ketika dilihatnya ada senyum di sudut bibir suaminya, tak terasa titik air mata Nurjanah semakin deras. Alhamdulillaaah ya Allah. Jilbab atas perintah-Mu tak perlu aku buka ya Allaaahh……, gumamnya lembut. ***

Majalengka, 2 Syawal 1435 H

















Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun