Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pilpahit : Zakat Profesi, Uangnya Masih di Rekening Orang Kaya

27 Agustus 2014   07:34 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:25 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar :

Rubrik Pilpahit (telah diposting pula beberapa naskah sebelumnya) merupakan rubrik kritik konstruktif terhadap dunia pendidikan kita. Tulisan ini disuarakan oleh tokoh-tokoh yang tidak normal, eh tidak formal. Namanya juga Pilpahit, tentu pahit dan mungkin bikin (e)nek. Tetapi menurut dokter, pahit-pahit juga namanya obat. Siapa tahu jodoh dengan penyakitnya, sehingga membaik. Hehe.

Ketika ada pengumuman “Dicari orang kaya!”, maka dapat dipastikan tak ada yang mau mengaku. Sulit untuk menetukan definisi kaya. Kaya menurut sebagian orang adalah ukuran kepuasan hati. Namun sayangnya hati manusia itu sepertinya tak pernah puas. Jadilah tak akan pernah kita jumpai orang kaya.

Dulu ketika awal-awal ada booming sertifikasinya – maksudnya uangnya – , sebagian orang merasa bakal menjadi orang kaya, sebab setahun diperkirakan dapat gaji – turun  dari langit – sekitar 35 jutaan. Berbagai macam pikiran dan keinginan mulai tumbuh bersama datangnya uang sertifikasi. Butuh Ini sekian, butuh itu sekian. Bahkan kadang-kadang ada butuh untuk menuruti keinginan nakal. Ketika dihitung dengan semua keinginan, ternyata uang 35 juta itu kurang sekali. Akibatnya bisa digambarkan, justru dengan datangnya rizki dari langit ini malah jadi tidak tenteram.

“Pak Tata .... saya salut dengan Bapak!” Kata Bu Lentik menyanjung.

“Perkara apa lagi ini? Biasanya Bu Lentik suka membawa masalah sepele menjadi besar bermakna!” Kata Pak Tata gantian menyanjung.

“Ih bisa saja! Ini lho Pak .... ini tentang anak asuh saya, Cecep.”

“Cecep kenapa?”

“Minggu lalu kata bapaknya Cecep, Mang Jamil, katanya Bapak baru ngasih uang 500-ribu. Benar Pak? Bapak tidak bermaksud merebut Cecep dari asuhan saya kan Pak?” Kata Bu Lentik serius.

“Oooo ... jangan begitu! Tidak, tidak! Saya tidak memberikan Cecep uang itu! Saya memberikan uang itu untuk Jalu, yang sedang kuliah di Unkami. Kemarin. Kasihan kan, katanya sebentar lagi mau ujian akhir semester. Cecep biarlah oleh Bu Lentik, sebentar lagi mau masuk ke SMA 1, harus beli formulir PMDK 50-ribu. Belum lagi nanti setelah masuk harus bayar uang gedung 2 juta-an,  hayo terusin lah Bu!”

“Bukan ke Cecep?”

“Bukan! Swear!” Kata Pak Tata dengan memberi kode jari “V”.

“Bapak royal sekali memberi uang Mang Jamil 500-ribu.”

“Haha! Bu, itu bukan uang saya! Itu uang hak dia sebagai fakir miskin. Saya menyisihkan 2,5 % dari uang sertifikasiku! Apalagi itu uang dari langit, harus disucikan! Kalau belum sampai istilah zakat , yaaah barangkali infaq. Saya infaq-kan segitu!”

Benar juga, dua guru ini benar-benar tokoh yang hampir setiap sepak terjang, pikiran, ide-ide dan keinginanaya berbeda dengan orang lain. Bahkan untuk urusan infaq gaji, kepala sekolahnya kalah. Bu Lentik membiayai Cecep yang sekarang duduk di kelas IX SMP kaki Langit 171, sedangkan Pak Tata menyumbang 500-ribu untuk Jalu, kakak Cecep yang hampir ujian di Unkami. Pendidikan kedua anak ini memang menjadi tertolong setelah kedua guru ini membagi rizkinya sedikit-sedikit.

Memang benar, banyak orang kaya di kabupaten Nukami, banyak guru yang mendapatkan uang sertifikasi tetapi masih sangat sedikit yang mau menyisihkan 2,5 % perolehannya itu untuk mensucikan hartanya itu. Itu yang membuat gemas Pak Tata, tapi seorang Tata apalah artinya hanya seorang guru kecil. Gemaslah ia sendirian.

Besok harinya Pak Tata dan Bu Lentik menghitung harta orang lain. Dari tunjangan sertifikasi guru, tiap angkatan ada 100 orang, sekarang sudah 6 angkatan berarti 600 orang. Angka itu dikalikan hasil infaq Rp 200.000,- per orang menjadi Rp 120.000.000. Ini yang dari guru.

Anggota DPRD gajinya tiap bulan 8-jutaan. Dikali infaq 2,5% sama dengan Rp 200.000,-, kali 35 orang sama dengan Rp 7.000.000. Dari 25 pejabat misalkan rata-rata sebulan memperoleh gaji plus yang lain Rp 15 jutaan per bulan , dikali infaq 2,5% sama dengan Rp 375.000,- . Dikali 25 orang menjadi Rp 9.375.000,- . Pendapatan 100 pengusaha muslim rata-rata Rp 10.000.000 , dikali 2,5% dikali 100 sama dengan Rp 25.000.000,- . Jika ditotal Rp (7.000.000 + 9.374.000 + 25.000.000 ) = Rp 41.375.000 (empat puluh satu juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) per bulan. Kali satu tahun 12 x Rp 41.375.000,- = Rp 496.500.000,- . Ditambah dari infaq sertifikasi guru Rp 120.000.000, menjadi Rp 562.500.000 (Setengah milyar lebih ).

“Yes! Anak-anak miskin kita bisa melanjutkan sekolah dan kuliah!” Teriak keduanya bersamaan. Namun keduanya bengong ketika sadar bahwa uang-uang itu masih ada di rekening orang kaya yang belum mau berinfaq. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun