Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kurikulum 2013 Tidak Dihentikan

7 Desember 2014   13:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:52 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_381175" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi (Sumber Foto: Kompas.com)"][/caption]

Euforia Sekejap

Sejak kemarin pagi (Sabtu 6 Des 14. Pen) - (diprediksi di seluruh wilayah Indonesia) topik utama para guru adalah : Kurikulum 2013 dihentikan. Berbagai macam respon muncul dari rekan-rekan guru. Ada yang kaget. Ada yang wajahnya berbinar. Ada yang teriak. Ada yang melongo. Ada yang garuk-garuk kepala (nggak habis pikir – atau pikirnya sudah habis). Ada yang apatis : emangnye gue pikirin? (kata guru yang melaksanakan kurikulum 2013 tetapi teguh pada pendirian dengan metoda ceramah nan dominan siswa tak berani menyela). Ada yang ketinggalan info : Ada apa sih ribut-ribut? (tanya guru yang sejak tadi bergerombol membahas burung muray dan kacer bersama komunitas guru pecinta burung).

Sebagaimana biasa saya lebih sering mengupdate berita dari bukan akun berita  akun facebook P4TK Matematika. Mungkin akun grup ini memang ada ikatan emosional dengan kegiatan saya sehari-hari, jadi ya tidak ada salahnya. Benar dugaan saya, tadi pagi ada anggota grup yang telah mengirim tautan surat edaran yang membuat pagi menjadi begitu hingar bingar.

1417908270527851129
1417908270527851129

Kegembiraan dengan bentuk bermacam-macam ekspresipun dimunculkan. Ada yang ngelus dada (sambil bergumam : Alhamdulillah), ada yang mentraktir temannya karena sudah punya nadzar kalau kurikulum 2013 dihentikan akan mentraktir, ada yang manggut-manggut puas, ada yang segera menelpon saudaranya yang punya putra terlibat kurikulum 2013. Mereka menyatakan ekspresi kegembiraan dalam euphoria yang berlebihan, bahkan ada yang berteriak “Merdeka!” (lihat hasil screenshot di bawah) yang diwakili oleh kartun. (Tapi kocak juga sih .Pen) dengan maksud untuk memberikan refreshing bagi yang merasa terkungkung dengan implementasi kurikulum 2013.

14179086331255821614
14179086331255821614
1417908659792715249
1417908659792715249

Sifat Dasar Manusia “Selalu Mengingat Kejelekan Orang / Pihak Lain”

Kita (atau sebagian dari kita) yang telah dewasa dan telah mengenyam banyak pengalaman hidup, bisa mengamati sifat-sifat manusia. Dari sekian sifat manusia yang paling mencolok adalah suka mengingat kesalahan orang lain. Kita kadang-kadang melihat persahabatan dua orang yang terjalin lama hingga berpuluh-puluh tahun, tetapi karena hanya satu buah kesalahan persahabatan bubar, bahkan keduanya saling bermusuhan.

Demikianpun seorang siswa yang pernah dihukum (bentuk apapun) oleh guru, walaupun hanya sekali, biasanya siswa ini akan selalu teringat kejadian ini (yang dianggapnya sebagai kejelekan guru), sementara pengetahuan yang telah diberikan atau nasehat-nasehatnya tak ada yang ingat sama sekali.

Jika kurikulum 2013 dianggap sebagai sebuah paket yang di dalamnya ada “kejelekan”, maka pasti akan dibahas kejelekannya dulu. Analogi yang saya sampaikan di atas, satu kejelekan saja dibahas nggak habis-habis, apalagi jika kejelekannya lebih dari satu. Tentu akan semakin banyak diungkap tidak kunjung selesai. Jika kurikulum 2013 dianggap memiliki kejelekan lebih dari satu, maka wajarlah jika banyak pihak yang mengkomplain-nya.

Pendidikan Karakter Tanggung Jawab (terbesar) siapa?

Dalam implementasi kurikulum 2013 terdapat metode saintific yang merupakan trade-mark kurikulum 2013. Metoda ini tampak melibatkan keaktifan siswa. Ini sangat berpengaruh bagi daya ingat karena siswa secara emosional ikut aktif dalam pembelajaran. Kreativitas dan sifat inovatif dapat dibangun di sini. Dua faktor ini merupakan salah unsur-unsur  yang dapat membangun karakter siswa.

Pembangunan karakter yang lain tampak dikemas dan disimpan di tempat secara khusus dalam mata pelajaran tertentu yakni pendidikan agama dan akhlak mulia. Durasi mata pelajaran ini ditambah dari 2 jam menjadi 3 jam per minggunya. Asumsinya dengan penambahan waktu belajar semacam ini, pendidikan agama dan akhlak mulia akan mampu meningkatkan makna hidup beragama dan peningkatan (atau mungkin pemunculan) akhlak mulia para siswa.

Dalam model penilaian sikap, guru dibekali dengan “ini lho, indikator sikap yang harus anda nilai!”. Penilaian otentik terus menerus sangat memberatkan siswa. Sampai-sampai teman (teman sekelas) juga diminta untuk menilai temannya sendiri, kemudian hasil penilaian ini diserahkan kepada guru. Sedemikian gawatnya sehingga di dalam ruangan kelas temanpun diminta untuk menilai teman lain.

Jika karakter negatif yang terjadi dalam diri siswa, kemudian disemai dan terbawa menjadi karakter negatif di masa dewasa dan tua, apakah memang ini tanggungjawab guru sepenuhnya? Rasanya tidak adil jika membebankan pendidikan karakter kepada guru. Kita lihat saja, siswa belajar di sekolah (rata-rata untuk SMA) pukul 07.00 – 14.00 per hari. Setelah itu ke mana para siswa ini? Jika pulang ke rumah pukul 15.00 sore – 05.00 pagi mereka ada di pendidikan informal (yang semestinya penuh kehangatan dan kasih sayang hakiki) bersama keluarga.

Jika pada rentang yang demikian panjang para siswa tidak berada di rumah, siapa yang bertanggung jawab? Bukankah ini mutlak tanggungjawab orang tua? Siswa mungkin bisa bermain dengan pacar ke mana ia suka, bergaul bebas dengan pacar, bergaul dengan kelompok negatif lain, hura-hura, berombongan bermotor ria, membuat kelompok negatif merancang tawuran, menyulut solidaritas sempit, pamit belajar kelompok padahal mungkin mereka jingkrak-jingkrak mengikuti irama music tertentu, menonton tayangan TV yang tidak mendidik, yang mengedepankan guyon norak dan tidak bermutu (tapi anak-anak muda sangat suka). Dari lingkungan seperti inilah anak-anak belajar secara langsung, bukan dari nasehat seperti yang dilakukan guru di ruangan kelas. Masih tegakah untuk mengatakan ini tanggungjawab mutlak guru yang harus membangun pendidikan karakter?

Jika kemudian ada orangtua datang dan mengatakan : Gurunya tidak becus mendidik anak-anak! Sebenarnya ia sedang menunjuk hidung sendiri, karena porsi yang lebih besar justru di tangan orang tua yang seperti ini. Tapi jika tuduhan dikembalikan, akan ada jawaban : kami orang tua jarang bertemu dengan anak-anak karena kami harus bekerja siang malam untuk mencari nafkah, untuk menjaga asset, menjaga perusahaan dan sebagainya.

Memang makin panjang buntutnya jika membahas yang seperti ini. Forum kecil semacam ini tentu sangat kurang.

Kurikulum 2013 hanya ditunda “Tidak dihentikan!”

Apapun sisi kekurangan kurikulum 2013, kita kesampingkan dulu. Pernyataan Pak Menteri Anis Baswedan telah memberikan angin segar bagi beberapa orang, tetapi kita yang patut kita mecermati pertanyaan  : Apakah benar kurikulum 2013 dihentikan?

Mari kita lihat kutipan dalam http://news.detik.com/read/2014/12/05/200449/2769275/10/mendikbud-anies-baswedan-putuskan-kurikulum-2013-dihentikan

1417908954310594148
1417908954310594148


Cepat atau lambat sekolah-sekolah yang sekarang diijinkan kembali ke kurikulum 2006, nantipun harus tetap melaksanakan kurikulum 2013 yang telah disempurnakan. Jika sekarang bagi sekolah-sekolah yang kembali ke kurikulum lama, para gurunya bersorak menujukkan euphoria yang berlebihan, rasanya kurang tepat.

Kurikulum 2013 tidak mungkin dihentikan, sebab bagi sekolah yang telah melaksanakan sejak 3 semester yang lalu (yang sekarang telah memiliki siswa hingga kelas XI) tidak mungkin akan dihapus nilai-nilai yang telah diraih, serta dihapus peminatan-peminatan yang telah dipilih. Sekolah-sekolah tersebut tidak mungkin berjalan sendirian.

Bagi sekolah-sekolah piloting (semacam sekolah tempat saya bekerja) tetap menggunakan kurikulum 2013, sambil tertatih-tatih dalam langkah, dan terbata-bata dalam kata, akan lebih baik memperbaiki diri sambil melangkah, daripada nantinya setelah kembali ke kurikulum 2006 kembali ke kurikulum 2013 kaget lagi, mengeluh lagi.

Apakah bagi sekolah-sekolah yang diijinkan kembali (bukan harus kembali) ke kurikulum 2006 lebih baik tetap menggunakan kurikulum 2013 sambil selalu bersinergi dengan sekolah-sekolah pilot dalam implementasinya? Sebab tidak mungkin sekolah-sekolah piloting itu dilepaskan begitu saja. Pasti akan selalu dalam pengawasan dan pengarahan.

Saya tidak membela siapa-siapa, tapi mencermati pernyataan Pak Menteri, rasanya memang tidak perlu euphoria berlebihan dengan ditundanya implementasi kurikulum 2013 di sebagian sekolah, sebab nanti toh akan kembali ke kurikulum 2013 yang disempurnakan. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun