Mohon tunggu...
Didik Agus Suwarsono
Didik Agus Suwarsono Mohon Tunggu... Cah Angon -

"Khoirunnas anfa'uhum linnas"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tuhan Izinkan Aku Melacur (1)

6 Mei 2011   05:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:02 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyusuri dunia malam ibu kota di tengah dentuman musik yang terus berderap, wewangian parfum yang semerbak terbawa angin malam yang menusuk tulang, pemandangan dara-dara manis dengan balutan busana minimalis adalah sebuah pengalaman jurnalistik remang-remang yang begitu memacu adrenalin (saya juga lelaki normal,he..3x). The capital city always be crowded life, seakan menjadi patronase di tengah himpitan hidup yang mereka alami. Keramahan, kehangatan dan keintiman ditawarkan hampir di setiap sudut ruang-ruang remang ini. Saya harus menghela nafas yang cukup panjang dan butuh kearifan yang luar biasa rasanya untuk memahami “tawa dan cubitan nakal” mereka yang sedari tadi berharmoni bersama irama musik yang rancak terdengar.

Hidup adalah sebuah pilihan tapi menjual diri dengan “melacur” rasanya bukan sebuah jalan yang mudah untuk dilalui siapapun, termasuk oleh Mawar (18 tahun) pada usianya yang masih begitu belia. Di saat teman-teman seusianya tengah mendesain model masa depan dan merajut mimpi mereka melalui perjuangan menuntut ilmu. Ia justru harus lebih dini mengalami gerhana kehidupan, Menjadi Wanita Tuna Susila (WTS). Sekali lagi kalau ini adalah sebuah pilihan (tanpa bermaksud memberikan pledoi) maka butuh kebesaran hati dan jiwa untuk bisa mengambil keputusan untuk melewati jalan “hitam” itu.

Ini adalah fenomena kontradiktif. Di mata masyarakat ia dan mereka adalah sampah, benalu sosial yang ingin diberangus dalam tatanan sistem nilai. Mereka diburu, dikejar-kejar untuk dilenyapkan. Tapi tahukah anda, Mawar is “Hero”, Pahlawan bagi keluarganya. Denyut nadi bagi masa depan tiga adik-adiknya yang masih bersekolah, aliran nafas untuk memperpanjang usia ayahnya yang tengah terbaring lemah. Terlepas dari jalan yang akhirnya dia pilih, apa yang dilakukannya menurut saya adalah keputusan heroik yang tak semua orang bisa melakukannya. Sekali lagi bukan hal yang mudah untuk menjadi lilin, “Menerangi orang lain meskipun dengan membakar diri kita sendiri”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun