Selepas subuh dengan berat hati saya menurunkan bendera setengah tiang yang terpasang selama tiga hari. Masih berat rasanya. Rasa haru, kehilangan, bangga dan ikhlas silih berganti mengoyak relung hati. Bagi bangsa ini sosok BJ. Habibie begitu lekat. Ketika saya masih kecil beliau adalah idola karena kejeniusannya. Hanya itu. Karena dunia anak-anak begitu terpukau dengan sosok seorang ahli pesawat terbang. Berpuluh-puluh tahun hanya itu yang saya tahu dari beliau.
Sampai pada suatu waktu setelah saya lulus kuliah dan bekerja, tiba-tiba dikejutkan dengan peristiwa politik yang membuat negeri ini hampir runtuh. Demo mahasiswa semakin riuh. Desakan mundur terhadap untouchables Jenderal Besar Soeharto semakin berani.Â
Waktu terus bergulir, sosok yang identik dengan teknokrat murni pasrah ketiban sampur menggantikan Sang Mentor politiknya. Kala itu tak pernah terpikirkan bahwa perubahan politik negeri ini akan sedemikian cepat berubah. Ketika undang-undang membuatnya beliau menggantikan posisi sang Jenderal yang berkuasa lebih dari tiga dekade, bayang-bayang Sang Mentor rupanya tak memuaskan bagi kalangan elite yang sedang gencar menjajakan menu baru. Menu yang begitu seksi kala itu bernama suksesi.Â
Bagi para politisi yang sedang bermasa puber di Senayan kala itu, sosok Presiden baru begitu sulit lepas dari Soeharto. Meskipun pada kenyataannya dalam masa kepemimpinan yang sangat singkat sosok Presiden baru tersebut telah berbuat begitu banyak. Sangat berbeda dengan pendahulunya. Keran demokrasi dibuka lebar-lebar, kebebasan pers, melahirkan ratusan produk undang-undang yang kesemuanya bertujuan untuk menuju negara demokrasi seperti yang digembar-gemborkan. Konsekuensi dari sikapnya yang demokratis membuat referendum Timor Timur yang dikemudian hari alasan sebagian kelompok marah.
Sekalipun sudah banyak yang dilakukan, sayangnya perih pedih kerja kerasnya sungguh tak bersambut manis. MPRÂ menolak pertanggungjawabannya. Masih begitu segar dalam ingatan, bagaimana beliau diperlukan begitu hina, disoraki diruang sidang. Demokrasi yang ditancapkannya justru seperti menikamnya dengan dingin angkuh dengan congkak dan sinis.
Setelah peristiwa itu BJ. Habibie menepi. Beliau sadar sesadar-sadarnya bahwa panggung politik bukanlah dunianya. Kesempatan untuk bertarung meraih puncak kekuasaan terbuka lebar, tapi tak membuatnya silau. Sungguh seorang Demokrat sejati telah lahir dibumi Pertiwi. Seorang demokrat sejati bukan lahir dengan omong besar, tapi dengan tindakan nyata. Beliau minggir dengan anggun dan terhormat, tentu jika kita menggunakan kacamata nurani dengan hati bersih. Bukan dengan keangkuhan kacamata politik yang penuh muslihat.
Kepergian Eyang, begitu panggilan sayang dan hormat kepada beliau dimasa sepuhnya begitu mengharukan. Komentar-komentar dari para tokoh semua memujinya sebagai sosok suri tauladan bangsa ini. Rasanya belum pernah ada tokoh dinegeri ini yang kepergiannya dilepas dengan keharuan dan keikhlasan sekaligus. Haru karena kita begitu kehilangan sosok luar biasa yang mencintai dan berkarya begitu hebat untuk negerinya. Ikhlas, karena kita begitu faham tentang sosok rendah hati dengan ketulusan cinta yang begitu agung. Rasa cinta kepada pasangan hidupnya sungguh membuat kita jatuh tersungkur dalam kekaguman. Cinta sejatinya yang tak terpisahkan walau dengan maut sekalipun membuat kita ikhlas mengantarnya dalam keabadian. Andai saja pujangga besar William Shakespeare masih ada, mungkin tokoh Ainun Habibie akan menginspirasinya sebagai drama cinta sejati paling agung dijaman kehidupan modern abad ini.
Sosok Habibie sungguh telah menjungkir balikkan logika. Dengan kecerdasannya, keahliannya akan teknologi pesawat terbang yang diakui dunia, dengan kekayaan 46 hak paten yang dimilikinya sebenarnya kita sebenarnya maklum dan menganggap wajar jika ada kesan sedikit angkuh seperti kebanyakan orang yang mempunyai banyak kelebihan. Tapi sosok shalih yang begitu faham dengan keyakinannya memilihnya menjadi seorang yang sangat rendah hati. Tak ada kesan keangkuhan sedikitpun. Beliau memang berbicara dengan semangat dan meledak-ledak, tapi itu hanya menunjukkan visi dan motivasinya untuk negeri yang begitu dicintainya.
Dalam hari-hari terakhirnya beliau masih begitu sibuk dan produktif memberikan sumbangan pemikiran. Tak perlu orang tahu begitu berharga sumbangsihnya. Jalan sunyi, sepi dari hiruk pikuk pemberitaan lebih sepertinya lebih membuatnya nyaman.
Jikapun tampil di televisi, beliau lebih menempatkan diri sebagai orang sepuh yang ingin berbagi pengalaman. Tak ada kesan sama sekali sebagai tokoh yang ingin diperlakukan istimewa.
Dia telah melewati batas-batas itu. Tak perlu mencari perhatian dengan pernyataan-pernyataan yang menggurui yang mengesankan paling benar, paling pintar, paling relijius dan paling hebat. Tapi rakyat Indonesia dan seluruh alam semesta melihat, dia adalah pejuang negeri yang tak tergantikan.
Sang idola telah pergi dalam keabadian, dengan keprasahan cinta yang agung kepada Sang Khalik dan belahan jiwanya.
Andai boleh meminta,ingin sepenggal saja mencontohnya. Menjadi seorang yang mencintai pasangan hidup dan keluarganya. Itu saja. Karena dia telah memberikan contoh bahwa cinta sejati memang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H