Masyarakat kembali menyoroti Direktorat Jenderal Pajak. Dan lagi-lagi bukan berita yang positip. Maka DJP ibarat pelari sprint yang selalu dicurangi lawan, untuk dijatuhkan. Dan ketika kita mulai berlari lagi penuh semangat, selalu saja yang berusaha dengan segala cara untuk menjatuhkannya. Dampaknya adalah pada institusi, bukan pada pelaku individunya yang bermasalah. Bagaimana cara menghilangkan stigma negative dimasyarakat? Reformasi birokrasi yang dimotori DJP ternyata belum cukup. DJP harus kembali menjadi pioneer untuk revolusi birokrasi.
Waktu itu menjelang Ramadhan. Cuaca begitu panas, kering dan sesekali angin bertiup kencang. Sebagai orang Jawa, ini merupakan tradisi menyambut bulan penuh berkah untuk nyadran. Saya memaknainya untuk menengok kampung halaman. Bersilaturahim dengan sanak family, juga teman-teman sepermainan masa kecil yang masih tinggal di kampung. Dan tentu berziarah kemakam kedua orang tua.
Lepas subuh, pada pagi yang hangat saya pamit pada anak-anak dan istri. Mobil tua satu-satunya kebanggaan kami sudah bersiap di garasi. Sedan tua buatan Perancis berlogo singa. Alhamdulilah akhirnya kesampaian juga memiliki mobil idaman ini meski harus bersabar menunggu 20 tahun. Dengan sabar selama itu, harga mobil bekas ini menjadi terjangkau untuk ukuran kantong saya. Mungkin setara harga dua motor bebek baru buatan Jepang.
Kalau saja boleh memilih, sebenarnya saya selalu bermimpi ingin mempunyai Ninja RR- 150. Tapi itu sangat egois. Karena sama saja membiarkan anak-anak kehujanan jika musim hujan tiba. Tidak masalah tak memiliki sepeda motor idaman. Ternyata ada hikmahnya, sebab saya jadi berkali-kali memuji-muji asma Allah Subhanallah dan Allahu Akbar. Itu selalu terjadi ketika motor tua saya disalip oleh motor idaman ketika berangkat ke kantor, di jalan aspal yang lebar dan mulus menuju Boyolali. Jika tak mampu memiliki kenapa tak berubah pikiran untuk sekedar mengagumi?
Lagi pula rasanya terlalu egois untuk bersenang-senang di Jawa, sementara masih banyak sekali teman-teman yang berjuang jauh lebih keras di pelosok-pelosok negeri ini. Mereka adalah orang-orang tangguh yang sepatutnya mendapatkan apresiasi. Bayangkan, untuk bisa bertemu dengan keluarga saja itu merupakan kemewahan yang luar biasa. Perlu perjuangan biaya dan waktu.
Waktu terus merambat. Sambil menunggu mesin panas, kami menikmati kopi. Melihat anak kedua kami yang lagi senang-senangnya sekolah di “play group”. Sepagi itu dia sudah melukis, padahal hari itu sekolah libur. Jarum jam tepat di angka lima. Perlahan saya meninggalkan komplek perumahan yang berada disebelah barat kota Solo yang masih sepi.
Perjalanan lancar. Juga acara inti, berziarah dan bersilaturahim. Tapi ada satu peristiwa yang selalu saya ingat, dan selalu menjadi pendorong motivasi yang luar biasa. Nasehat sederhana dari orangtua bersahaja, seorang ayah dari teman lama. Saya selalu mengingatnya, terutama ketika institusi tempat saya bekerja diserang dan banyak diberitakan negative di media.
Dalam perjalanan pulang menuju Solo, saya sempatkan mengunjungi rumah seorang sahabat. Sebenarnya sahabat lama tersebut tak lagi tinggal di kota kecil itu. Ia telah sukses menjadi pengusaha dan tinggal berpindah-pindah di kota-kota besar. Ia begitu bersuka cita ketika saya kabarkan akan menyempatkan bersilaturahim ke Ayahnya. Ia bahkan bercanda…..”Jangan Insya Allah dong……yang pasti-pasti saja, Bapak pasti akan senang sekali jika kamu datang, itu sangat surprise……” katanya penuh harap. Tapi saya wanti-wanti kepada teman saya, untuk tidak usah mengabari ayahnya bahwa saya akan mampir. Bukan untuk surprise dan sejenisnya, tapi ada rasa sedikit khawatir, kalau tiba-tiba “Singa Tua” saya ngambek dan merubah segalanya.
Ketika saya utarakan alasan sesungguhnya, teman saya tertawa diujung telefon “ah……kamu jangan bercanda , mana ada temannya Gayus miskin macam kamu….. Kamu pasti bercanda, atau kamu punya club mobil-mobil lama yang suka touring kan?”. Ketika saya diam saja, teman saya baru sadar dan buru-buru minta maaf. Dia pasti ingat betul bagaimana kalau saya marah dan tersinggung. Dia sampai tiga kali meminta maaf.
Cuaca tiba-tiba gerimis. Alhamdulilah si Singa Tua ternyata sangat tangguh, sehingga janji untuk mampir ke rumah orang tua sahabat terpenuhi.
Rumah tua itu masih kokoh seperti puluhan tahun lalu. Halamannya luas. Pohon rambutan dan belimbing jawa juga masih ada. Bahkan yang membuat saya tersenyum sticker “The Rolling Stones” dengan logo lidah menjulur masih menempel diteras depan. Disitu biasanya kami menikmati kopi. Ayah teman saya tersebut kala itu sudah menduda. Istrinya meninggal. Beliau selalu menyuruh pembantu setianya menyuguhkan kopi. Diruang tamunya banyak sekali koleksi buku, menandakan dia sangat hobi membaca. Sangat hebat untuk seorang sederhana pemilik beberapa kios kelontong di los-los pasar. Pengetahuannya sangat luas. Seringkali beliau gabung berdiskusi. Menghabiskan puluhan batang rokok filter merek ternama kala itu. Energinya untuk mengkritisi Orde Baru kala itu seperti tak pernah habis. Kebiasaanya yang tidak terlupakan waktu itu yaitu selalu menyuruh saya membeli 2 bungkus rokok dan sebungkus kopi bubuk local yang dibungkus kertas payung.
Ketika memasuki halaman rumahnya, seketika memori masa lalu terulang. Seperti yang saya angankan di perjalanan tadi. Benar saja lelaki tua yang intelek itu hampir tak berubah. Padahal sudah tergerus waktu 25-an tahun. Hanya janggutnya yang memutih. Tapi tatapan mata cerdasnya tak lekang dimakan usia. Sangat prima untuk lelaki mendekati 80 tahun.
Dia menyambut dengan hangat. Koran yang sedang dibacanya dilepas begitu saja. Tak henti-hentinya menepuk-nepuk pundak saya. Dia langsung memanggil nama saya tanpa ada tanda-tanda lupa sedikitpun. Beliau segera memanggil pembantunya untuk membuatkan kopi. Suaranya memang tak lagi selantang dulu. Juga yang tergopoh-gopoh keluar bukan lagi bibi yang dulu. Belum sempat saya bertanya menanyakan Yu Mini, bibi yang dulu selalu menyuguhi kami kopi yang sangat nikmat, lelaki tua cerdas itu sudah bisa menebak. “Mini sudah meninggal, itu mantunya, mengantikan ikut disini”
“Jangan gemuk-gemuk kamu, nggak baik buat kesehatan” Beliau memulai percakapan hangat pada Minggu siang yang penuh nostalgi.
Dia bertanya banyak sekali. Sedikit protes saya bertanya dalam hati, kok pertanyaannya banyak sekali. Apa anaknya nggak pernah cerita sama sekali tentang saya.
Yang membuat kesal waktu bertanya tentang pekerjaan. Ketika saya ceritakan bahwa saya pegawai pajak, dia kaget lalu mengatakan bahwa pegawai pajak itu hampir semuanya maling, seperti juga polisi. Menjadi pegawai pajak jujur atau tidak jujur itu sama saja. Kaya atau tidak kaya juga sama saja. Kalau kebetulan miskin dianggap pura-pura, atau dicibir orang sebagai bodoh yang bisa memanfaatkan situasi, tetapi kalau kaya pasti dianggap karena korupsi. Masyarakat tidak mau tahu, apakah karena mempunyai penghasilan sampingan. Itulah penilaian umum masyarakat. Masyarakat kadung meniali bahwa orang pajak tidak jujur alias maling.
Tentu saja saya protes, tapi beliau sangat yakin dengan pendapatnya. Saya bahkan divonis tak layak menjadi pegawai pajak. Pegawai pajak identik dengan tukang ancam, tukang nego dan tidak jujur. Sedangkan saya dianggap jujur oleh beliau, hanya dengan pengalaman masa lalu beliau yang selalu meminta tolong saya membeli rokok, dan saya selalu pas mengembalikan sisa uang beli rokok. Naif.
Tetapi pendapat bahwa kita harus menghormati orang tua dan orang tua cenderung berpikir lebih arif dan bijak ternyata benar adanya. Sebab pada akhirnya beliau juga berpendapat dan member motivasi yang luar biasa. Jauh lebih hebat dari para motivator komersial yang sering diundang dengan biaya tinggi. Atau bahkan motivasi dari para pejabat yang hanya pandai berteori tapi tak peduli dengan keadaan yang nyata yang sesungguhnya.
Dia katakan bahwa jika kita berada pada situasi yang tertekan dan mempertaruhkan reputasi dan berjuang untuk sesuatu kebaikan, maka tidak ada pilihan lain kecuali bermental baja dan sabar. “Kamu sudah memilih jalan hidupmu menjadi pegawai pajak, maka kamu harus siap dengan risikonya. Pekerjaan apapun yang dipilih, cintailah pekerjaan itu dengan ketulusan dan jadilah yang terbaik. Kebetulan saja kamu memilih pekerjaan itu. Seandainya saja kamu bernasib menjadi tukang sapu sekalipun, kamu juga harus mencintai dengan tulus dan berusaha menjadi tukang sapu yang terbaik. Karena pada hakekatnya pekerjaan itu adalah ibadah, dan kelak kamu akan mempertanggung-jawabkannya dihadapan Tuhan.
Ketika institusi DJP kembali disorot masyarakat, wajah lelaki tua yang kini telah tiada itu selalu melintas, mengingatkan untuk bersabar, bahkan ketika kita diolok-olok, dan dihina serta digeneralisir digebyah uyah bahwa pegawai pajak identik dengan koruptor. Tidak dipungkiri dimanapun tempatnya selalu saja ada pegawai atau pejabat yang melakukan korupsi, maka sudah sepantasnya hukum diberlakukan adil.
Barangkali memang sudah saatnya DJP harus berani untuk revolusi birokrasi. Menjadi sebuah institusi yang lebih independen. Kita bukanlah budak pemerintah untuk diperas tenaganya mencari uang untuk membiayai negara, tapi disisi lain selalu dicerca dan dihinakan. Jerih payah mengumpulkan rupiah demi rupiah lebih banyak dihamburkan untuk biaya politik, tetapi kesalahan-kesalahan pegawai DJP selalui di blow-up sangat dahsyat untuk menutupi kebusukan-kebusukan yang lain. Masyarakat seringkali diprovokasi agar memusuhi pajak, padahal dibalik itu semua ada sebuah kepentingan besar para pengusaha nakal, konglomerat hitam yang selalu berusaha mengemplang pajak. Dan ketika masyarakat terprovokasi, mereka bersorak sorai kegirangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H