Lagi-lagi persoalan klasik, minimnya infrastruktur, perhatian, dan follow up dari pihak terkait dalam hal ini birokrasi di bawah Kementrian Pariwisata dirasa masih belum optimal, apalagi birokrasi lokal yang tentu masih ogah-ogahan memberikan apresiasi terhadap peran masyarakat yang begitu massif dan kreatif menyelenggarakan acara semacam ini.
Pola manajemen kepariwisataan yang berbasis budaya akan lebih mempunyai daya tarik sekaligus berfungsi adukatif terhadap masyarakat pariwisata dan wisatawan itu sendiri, pengemasan kreatifitas dan perwujudan seni dan budaya dalam beragam bentuk carnival harus linear terhadap faktor ekonomi daerah setempat.
Modifikasi semacam inilah harus direspon secara pro aktif oleh jajaran pemerintahan dan pelaku wisata. Sebelum semua hanya sekedar acara, pesta hura-hura yang tidak mempunyai dampak positif secara budaya dan ekonomi, yang pada akhirnya mencapai titik jenuh yang justru akan mematikan acara tersebut diatas secara perlahan.
Dari situ, dengan pemerintahan baru dengan kabinet kerja terutama Kementrian Pariwisata di bawah Arief Yahya, pria kelahiran Banyuwangi ini harus segera memberikan wujud nyata, berupa apresiasi, pendampingan, pembinaan, perhatian secara berkelanjutan agar acara-acara carnival ini makin selaras, berkembang dan berdaya saing yang berujung pada bergairahnya kepariwisataan nasional. Dan secara langsung maupun tidak langsung bermuara pada kesejahteraan masyarakat setempat dengan tetap berakar pada budaya lokal.
Menjadi tugas dan kewajiban stakeholder agar semuanya berjalan secara harmonis dan berkelanjutan, agar beban menjadi hasil, kegembiraan menjadi warna dan kesejahteraan menjadi kenyataan bukan lagi impian dan harapan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI