Mana yang lebih efektif? Menulis dengan pena dan kertas atau tablet dengan stylus?
Perubahan senantiasa terjadi, baik itu yang terputus (discontinuous change) atau yang bertahap (incremental)Â di dalam kehidupan kita. Tidak terkecuali dalam cara kita menulis baik untuk menyimpulkan suatu pemikiran atau hanya mencatat suatu hal penting.
Sejak dulu sampai sekarang pena dengan kertas adalah yang paling lama dipakai untuk menulis pemikiran, baik dalam rapat, merangkum informasi maupun dalam mengikuti pelajaran untuk pelajar dan mahasiswa. Karena ada kaitan dengan kecepatan dalam menulis, para sekretaris atau notulis zaman dahulu mempelajari cara menulis menggunakan steno. Steno adalah cara menulis dengan menggunakan kode-kode yang cepat ditulis dan bermakna kata-kata. Teknik menulis steno ini dulu dianggap skill tersendiri yang harus dimiliki oleh seorang sekretaris. Sekarang steno hampir sudah tidak dipakai lagi.
Pena dan kertas saat ini masih banyak dijual dan dipakai di sekolah dan kantor. Namun perubahan secara bertahap terjadi dan semakin banyak alat yang dirancang menggantikan pena dan kertas (notebook), yang menggunakan alat elektronik yaitu layar dan pena digital (stylus). Layar dan pena digital ini terus berkembang dengan kemampuan menulis yang mendekati, kalau tidak menyamai pena dan kertas dalam hal tampilan dan juga rasa menulisnya.
Manakah yang lebih efektif menulis menggunakan pena atau stylus.
Pembelajaran mobile (m-learning) atau mobile-assissted language learning (MALL) yaitu pembelajaran menggunakan alat seperti smartphone atau tablet elektronik telah mendapatkan perhatian besar dan penelitian dalam 20 tahun terakhir. Namun sampai saat ini hasil penelitian dengan bukti-bukti empiris belum berhasil membuat semacam kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan tentang pembelajaran model ini.
Bradford K. Lee Pengajar dari Fukui University of Technology ( https://orcid.org/0000-0001-9833-5631) tahun 2020 menulis paper sebagai hasil penelitiannya berjudul Smartphone tapping vs. handwriting: A comparison of writing medium. Dia melakukan penelitian yang melibatkan 1449 responden dari murid-murid di sekolah di Jepang membandingkan model pembelajaran menggunakan gawai dan alat tulis yang biasa digunakan. Murid-murid diminta membuat tulisan dengan topik-topik yang ditentukan dan harus menjawab pertanyaan menggunakan gawai dibandingkan dengan menggunakan alat tulis pensil atau pena.
Hasil perbandingan tersebut adalah yang menulis menggunakan pena biasa cenderung lebih panjang dan elaboratif ketimbang mereka yang menggunakan stylus atau pensil elektronik (gawai). Diperkirakan bahwa menggunakan pensil biasa memiliki keuntungan karena ada pembahasan tentang tulisan secara langsung dengan melihat yang ditulis. Namun signifikansi perbedaan ini semakin mengecil untuk murid-murid dengan tingkat kemahiran yang sama sama tinggi baik dalam aspek berbahasa maupun penguasaan topik.
Dengan pemahaman bahwa panjang pendeknya suatu tulisan tidak menentukan kualitas, mereka yang menggunakan alat tulis elektronik (stylus dan tablet) lebih lambat karena ada kendala penguasaan alat dan juga kebiasaan. Jadi tetap belum ada hasil yang jelas mana yang lebih efektif menulis menggunakan pena atau menggunakan stylus.
Stylus dan Pensil biasa, penulis menentukan asumsi bahwa yang menentukan tingkat efektivitas adalah penguasaan alat yang dipakai. Berkaitan dengan Perubahan Terputus (Discontinuous Change) dimana ada banyak perubahan yang terjadi yang sifatnya sangat berbeda dengan yang ada sebelumnya dan tidak ada proses perubahan bertahap, maka penggunaan stylus dan tablet akan tidak menjadi masalah untuk generasi Milenial dan generasi Z apalagi generasi Alpha. Artinya terlepas dari kualitas isi pemikiran, kecepatan dalam menggunakan alat elektronik akan sangat cepat dan mudah bagi generasi Milenial ke atas. Tidak demikian untuk Baby Boomers dan generasi X yang dalam banyak hal akan kesulitan dalam memanfaatkan gawai. Bagi generasi Baby Boomers dan Generasi X dan Generasi Milenial awal yang terbiasa menggunakan pensil dan kertas, akan lebih lambat atau kurang efektif menggunakan gawai ketimbang generasi di depannya. Â
Dari penelitian yang dilakukan di atas dan juga dari penelitian lainnya yang tidak dapat menentukan garis yang jelas tentang efektivitasnya antara menggunakanKesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa efektifitas penggunaan alat atau medium penulisan ditentukan oleh semakin terbiasa atau tidak kita menggunakan alatnya. Perihal isi atau bobot pemikiran, bukan pada area alat, namun pada area pendidikan yang didapatkan suatu generasi. Semakin berbobot pemikiran, berarti semakin baik pendidikan atau lingkungan pembelajaran yang dialami.Â
Penulis pernah menyusun suatu thesis strata dua di The University of Warwick yang pada awalnya terdiri dari sekitar 95 halaman. Ketika dibahas bersama dosen pembimbing, penulis diminta untuk menyusun ulang dan jumlah halaman thesisnya tidak melebihi 45 halaman. Awalnya penulis tercenung, namun setelah didiskusikan ternyata penulis menulis banyak hal yang tidak atau kurang relevan. Penulis waktu itu merasa ada sedikit saja kaitan dengan topik utama, informasi apapun dimasukkan ke dalam thesis. Setelah dipahami maksud dari pembimbing, dapatlah 43 halaman thesis yang isinya relevan dengan topik utama. Yang kurang apalagi yang tidak relevan, penulis hapus. Waktu pengumuman kelulusan, thesis penulis mendapatkan angka A-.Â
Kuncinya adalah kualitas pendidikan dan pembelajaran untuk suatu generasi. Karena tulisan berbobot tidak ditentukan oleh jumlah halaman yang dihasilkan, namun yang menentukan adalah sesuai kebutuhan atau tidak, serta kualitas yang didapatkan selama pendidikan, pelatihan dan lingkungan pembelajaran yang dilalui. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H